Saturday, March 15, 2025

Pengalaman Mengikuti EBTAQ 2025

Laporan Tahunan EBTA 2025
Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash


EBTAQ merupakan singkatan dari Evaluasi Belajar Tahap Akhir Qiraati. Zaman dulu, kita mengenalnya dengan sebutan IMTAS.


Qadarullah , tahun ini, giliran si bungsu mengikuti EBTAQ di sekolahnya. Lumayan deg-degan, ya karena materinya lumayan banyak atau bahkan memang banyak banget. Sejak awal sudah bisa ditebak bakalan ada nangisnya walaupun hanya sedikit…kkwwk. 


Gurunya pernah khawatir karena si bungsu sempat berkaca-kaca saat try out . Sebenarnya, tidak ada masalah. Nilainya juga masih terbilang lumayan, tapi anaknya terlalu khawatir meski kami tidak menuntut hasilnya harus selalu bagus.


Kedua anak saya tipenya suka belajar. Hobi mereka membaca buku. Nggak ada aplikasi games di gadget bukan berarti nggak pernah main games . Mereka bebas menggunakan laptop ataupun tablet sesuai kebutuhan. Misalnya, pakai tablet untuk membaca buku di Ipusnas, buka Google untuk mendapatkan informasi atau mencari gambar, dan pakai laptop untuk membuat permainan, dll. Sejauh ini, mereka tidak pernah memakai lebih dari itu.


Banyak orang berpikir bahwa hidup kami terlalu serius. Kalau gak main HP, lalu ngapain saja di rumah? Pertanyaan itu sering banget dilontarkan dan saya pribadi malah bingung, memangnya anak orang ngapain setiap hari? Kwkwk. 


Suatu hari, ketika ambil rapot, wali kelas anak saya berkomentar yang menurut saya tidak mendesak  untuk disampaikan terutama di depan anaknya langsung:


“Nilai adek sudah bagus ya, tapi bukan peringkat pertama.”


Saya bahkan tidak pernah menanyakan peringkat anak-anak di sekolah kecuali gurunya menyampaikan langsung. Jika ada nilai yang kurang, kami evaluasi dengan melihat lembar soal yang sudah dibagikan. Masalah pada anak saya biasanya kurang teliti. Itu juga yang saya dapatkan dari hasil psikotes ketika masuk sekolah.


Saya mengasuh anak-anak tanpa bantuan siapa pun kecuali pasangan. Jadi, saya sangat tahu bagaimana mereka sehari-hari. Bagaimana usaha mereka ketika ujian, ketika menghafal, ketika murajaah, dan betapa disiplin mereka tanpa diminta.


Allah itu tidak menuntut hasil, tapi meminta kita untuk berusaha. Namun, hampir selalu terjadi, ketika usaha kita maksimal dan sungguh-sungguh, maka hasilnya juga akan selalu baik. Itulah yang saya lihat dan ajarkan kepada anak-anak.


Karena saya tahu betapa besar usaha mereka ketika mau ujian dan mengerjakan tugas, saya bahkan tidak menunggu pembagian rapot hanya untuk memberikan imbalan . Setiap mau menjemput kakaknya ke pesantren, saya sudah menyiapkan reward  untuk dia yang orang sangka itu kado ulang tahun. Kwkwk. Begitu juga dengan adiknya. Jadi, hidup kami tidak seserius itu, kok. Nggak ada paksaan harus belajar sampai capek demi mendapat peringkat pertama karena saya sendiri tahu rasa nggak enaknya ketika nggak diapresiasi hanya karena menjadi nomor dua.


Ketika awal-awal belajar untuk persiapan EBTAQ, si bungsu sempat nangis karena merasa capek dan merasa tidak mampu. Saya minta dia berpikir baik-baik apakah mau melanjutkan atau mundur. Jika mau lebih lanjut, kita harus berusaha dulu dan jelas itu akan capek banget. Kalau ragu, mending mundur dan menunggu siap.


Akhirnya, dia memilih melanjutkan. Kalau mau lebih lanjut, saya minta untuk tidak setengah-setengah ketika belajar. Kenapa? Karena mau malas ataupun serius akan sama-sama capeknya. Setelah dapat ritmenya, dia mulai lebih santai dan qadarullah semua materi dia bisa hafal.


Sebenarnya, saya merasa terbantu banget dengan pengendalian dirinya dan rasa tanggung jawabnya yang luar biasa. Ketika sudah capek, saya suruh dia berhenti belajar. Istirahat dulu. Nanti bisa dilanjutkan lagi. Kadang, agak merepotkan ketika dia mau hafalan terus padahal kondisinya sudah capek banget. Ujungnya nggak bisa belajar dengan baik dan susah menghafal.


Saya mempelajari hal yang sama dari kebiasaan para ulama salaf. Ketika jenuh, mereka mengubah posisi atau mencari angin segar dibandingkan paksaan terus belajar. Buat saya, hal seperti ini sangat membantu supaya anak nggak gampang stres.


Gagal Merupakan Bagian dari Proses Belajar

Materi tentang EBTAQ bisa teman-teman pelajari sendiri. Materi yang diujikan biasanya tentang wudu dan salat, tajwid, gharib, serta doa-doa harian. Saya lebih tertarik membahas lebih jauh tentang cara menyikapi dan menerima kegagalan pada anak-anak kita.


Hidup tidak melulu tentang kesuksesan dan jalan yang semulus tepung. Gagal juga bagian dari proses yang harus dilalui. Ketika anak-anak kita ternyata gagal, gak lulus, tolong jangan patahkan hati mereka dengan menyalahkan, berkomentar buruk, atau diamkannya. Terpilih menjadi peserta EBTAQ saja sudah hebat banget lho. Nggak semua anak terpilih. Prosesnya juga berat banget, bahkan orang tuanya saja belum tentu mampu.


Ketika gagal, mereka sudah patah hati duluan bahkan sebelum kita berkomentar. Bayangkan setelah capek-capek berusaha, ternyata hasilnya tidak sesuai harapan? Mereka pasti pengin dirangkul dan didengar, bukan dihakimi apalagi diomeli.


Gagal juga bukan aib, kok. Nggak harus malu dengan hasil yang telah dicapai apalagi jika kita tahu proses mereka juga tidak mudah. Belajarlah untuk menerima agar anak kita juga merasa dikuatkan.


Persiapan EBTAQ saat ini memang jauh lebih matang dibandingkan zaman kakaknya dulu. Ujiannya juga dilaksanakan sampai dua kali. Lebih capek, tapi ternyata jauh lebih siap.


Sudah tahu kan kalau ini capek banget. Jadi, kalau hasilnya tidak sesuai harapan, gapapa banget, kan diterima karena anak-anak kita sudah berusaha mati-matian?


Tips Belajar Untuk Persiapan EBTAQ

Usahakan setiap hari ada materi yang dihafalkan dan dimurajaah. Kuncinya sering latihan dan menghafal. Orang tua harus banyak membantu di rumah. Jangan memaksa anak untuk belajar terus karena mereka pasti jenuh. Beri pengertian agar mereka bisa disiplin. Tahu kapan waktunya belajar, tahu kapan waktunya istirahat dan bermain.


Waktunya saya dan si bungsu ngobrol, sempat saya tanya, pengin dikasih apa setelah ujian nanti? Tolong digarisbawahi, pengin dikasih apa setelah ujian , bukan setelah lulus, ya…kwkwk. Dia minta dibelikan hewan peliharaan, tapi bundanya jelek kalau hewannya besar-besar…kwkwkw. Jadi, kami memilih hamster.


Saat belajar, entah kenapa saking penginnya, dia sering membayangkan mengelus hamster…kkwwk. Nggak tega, diam-diam saya belikan hamster sak kendang-kandangnya kwkwk. Ternyata, malah jadi jeda yang bagus banget buat dia ketika jenuh. Setelah ada hewan kecil ini, dia kayak bahagia terus. Kalau capek lari ke hamsternya. Main-main kemudian belajar lagi.


Ketika ujian, dia sempat sakit bahkan muntah-muntah, tapi anaknya bahagia. Akhirnya pasrah saja, toh sudah belajar, kan?


Alhamdulillah hasilnya sesuai harapan. Capeknya terbayar. Stresnya juga hilang. 


Capek ikutan EBTAQ? Capek banget walaupun ujian cuma anaknya…kwkwk. Tidak ada usaha yang sia-sia. Nggak lulus pun tetap banyak manfaatnya. Sudah punya ilmunya yang nantinya akan dipakai sampai tua…huhu.


Berterima kasih dan meminta maaf kepada anak-anak tidak akan mengurangi wibawa kita sebagai orang tua. Justru anak akan belajar untuk menghargai dirinya sendiri jika sering diapresiasi. Hidup ini tidak mudah, jadi jangan memperkuat anak-anak kita dengan merusak  mental mereka yang terlihat. Kita juga pernah menjadi anak-anak, tapi mereka belum pernah menjadi orang tua. Apa salahnya jika kita belajar memahami mereka dibandingkan meminta mereka selalu memahami kita?


Salam hangat,