Thursday, January 23, 2025
Review Buku We’re Family But We’re Strangers
Photo: Dok. pribadi |
Kita keluarga, tapi kita asing satu sama lain. Kita keluarga, tapi tidak saling peduli satu sama lain. Ternyata, ada ya keluarga yang begini. Ketika anaknya butuh dibantu, orang tuanya tidak peduli. Ketika anaknya butuh dirangkul, orang tua malah menganggapnya hanya beban.
We’re Family But We’re Strangers saya beli tanpa sengaja ketika main ke Gramedia. Buku-buku berkisah tentang trauma pengasuhan belakangan selalu menarik minat saya. Buku ini salah satunya.
Ditulis oleh Won Jung Mee yang merupakan seorang konselor, buku ini berkisah tentang pengalaman hidupnya, tentang ia dan keluarganya, tentang ia dan traumanya, tentang ia dan prosesnya sembuh dari luka masa kecilnya.
Buku setebal 251 halaman ini ditulis dengan bahasa yang nyaman dan mudah dimengerti. Sebagai orang awam, saya jadi tahu kalau trauma pengasuhan itu memang ada dan memengaruhi diri kita ketika sudah dewasa, terutama setelah menjadi orang tua.
Won Jung Mee mengatakan bahwa rasanya tidak nyaman jika harus menceritakan pengalaman masa kecilnya karena secara tidak langsung ia juga telah menelanjangi kedua orang tuanya sendiri, tapi mengingat buku ini akan bermanfaat bagi pembaca dengan pengalaman serupa, dia pun memutuskan untuk menuliskannya.
Bercerita tentang trauma pengasuhan sebenarnya cukup sulit. Terkadang, itu membuat kita jadi serba salah karena tidak mungkin rasanya menyalahkan pola asuh orang tua yang menyebabkan kita sakit. Terlebih di dalam Islam, seorang anak sudah seharusnya berbakti, berterima kasih, dan tidak mencari kesalahan orang tuanya apalagi membandingkannya dengan diri kita.
Namun, trauma pengasuhan itu nyata. Jika kita tidak mau mempelajari ini, saya pribadi berpikir mungkin akan sulit menyembuhkan luka masa kecil yang dampaknya sangat luar biasa bagi anak-anak kita nanti. Ibaratnya, mana mungkin kita bisa menyembuhkan sakitnya jika kita saja tidak tahu sedang sakit apa.
Apa alasan saya menjadi sangat pemalu, takut muncul, dan berbicara di depan banyak orang? Apa alasan saya bahkan tidak bisa menerima diri saya sendiri? Merasa tidak cukup baik, tidak berharga, tidak enakan dengan semua orang, bahkan menganggap kebahagiaan orang lain adalah tanggung jawab saya?
Kenapa ada orang tua yang begitu marah ketika anaknya melakukan satu kesalahan kecil, sedangkan orang tua lainnya bisa santai seperti di pantai? Kenapa ada orang tua harus berteriak dan memukul ketika marah? Semua itu ada alasan dan penyebabnya. Bukan semata-mata karena dia tidak bisa menahan diri, tapi;
“Pewarisan kekerasan pada anak ibarat tabrakan lima kali beruntun. Diawali dengan insiden yang entah dari mana asalnya, diikuti dengan dorongan tiba-tiba dari mobil di belakangnya, dan berakhir dengan tabrakan mobil di depannya.” (Hal. 146)
“Di dalam diri anak-anak yang sering mengalami penindasan dan kontrol berlebih di masa kecil, tersimpan banyak rasa tidak adil dan kemarahan. Apabila tidak ditangani dengan benar, kemarahan itu pada akhirnya akan meledak di sembarang tempat. Saat seseorang menarik pelatuk amarah beserta rasa tidak adil milik si inner child, saat itulah emosi akan meledak. Pelatuk ini biasanya ditarik oleh orang-orang terdekat. Jika itu terjadi, kemarahan akan dilampiaskan pada orang-orang yang kamu anggap tak berdaya, yakni anak dan pasangan.” (Hal. 154)
Sebagai penyintas, saya tahu rasanya ketika sudah nyaris putus asa dan berharap anak kita mati. Saya tahu betapa kebingungannya ketika menghadapi fase ini dan tak seorang pun memahami apa yang kita rasakan.
Namun, sebanyak apa pun orang membantu, saya percaya bahwa kitalah yang memegang peran penting dalam proses penyembuhan luka masa kecil itu. Sebagaimana juga ditulis oleh Won Jung Mee, konselor itu hanya membantu mengarahkan, selebihnya kendali itu ada pada diri kita.
Sebagai manusia normal, mustahil kita mengharapkan keburukan terjadi kepada anak kita. Jangankan disakiti, diomelin bapaknya saja kita kesal bukan main. Rasanya tidak masuk akal ketika ada seorang ibu menyakiti anaknya jika tidak ada penyebab serta trauma pada dirinya.
Pernah mendengar kisah seorang ibu yang membunuh anak-anaknya kemudian ia menyusul bunuh diri? Kebayang nggak sih betapa berisik isi kepalanya sampai-sampai ia berani menghabisi nyawa buah hatinya?
Orang-orang awam sering men-judge hanya dari satu sisi saja. Tidak mau memvalidasi serta mengabaikan orang yang jiwanya terluka.
“Kenapa kamu tidak menerima bahwa semua itu sudah jadi takdir Allah? Kenapa tidak banyak ibadah dan sabarin saja? Hidup sudah enak, tinggal nurut saja sama orang tua, apa susahnya?”
Kalian berharap orang-orang yang jiwanya terluka ini neriman sama takdir Allah, ngaji yang betul, belajar agama yang banyak, tapi kalian lupa bahwa buat makan saja, terkadang mereka kesulitan, gimana mau datang kajian? Bahkan dengan fasilitas yang serba ada, orang tua yang paham agama, seorang anak bisa kabur berkali-kali karena sering disiksa dan dikurung sama orang tuanya. Mereka masih hidup dan nggak berniat bunuh diri saja sudah Alhamdulillah.
Kita sering gagal berempati kepada orang-orang yang hidupnya penuh dengan trauma. Untuk sampai pada fase menerima, mereka mati-matian menjaga kewarasan dirinya. Kita nggak ada di posisi mereka. Jadi, berhentilah menertawakan dan menyebut mereka lebay.
“Emosi harus keluar dan dialirkan. Awal dari kesembuhan akan tampak saat semua emosi yang tak bisa diungkapkan oleh diri yang terluka di masa lalu mulai keluar. Proses ini terbilang sakit dan menakutkan, karena kita diharuskan untuk memanggil kembali ingatan-ingatan masa lalu yang sarat akan penderitaan dan kesulitan…” (Hal. 164)
Betapa tidak mudahnya berdamai dengan trauma masa kecil. Sebagian besar justru tidak akan pernah tahu jika tidak mempelajarinya. Mereka memilih memendamnya dan menjalani hidup sebagaimana air mengalir hingga akhirnya tanpa sengaja telah mewariskan trauma kepada anak-anaknya.
Perbandingan dan Diskriminasi
Pada halaman 43, penulis menceritakan tentang sikap neneknya yang sering membedakan ia dan kakak lelakinya. Diskriminasi gender sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika itu, kaum kafir Quraisy sengaja mengubur anak perempuannya hidup-hidup karena dianggap aib dan hina. Ketika Islam hadir, kaum perempuan diangkat derajatnya dan dihormati haknya.
Dulu, anak lelaki di keluarga besar kami tidak seharusnya mencuci piring di dapur. Tugas mencuci piring adalah tugas anak perempuan, begitu juga tugas memasak dan membersihkan rumah.
Bapak, sudah sejak lama mengharapkan anak lelaki lahir dari rahim Ibu. Jadi, ketika saya lahir, Bapak penasaran dengan jenis kelamin anaknya. Bidan bilang, anak Bapak perempuan (lagi). Bapak tidak percaya dan meminta bidan memeriksanya sekali lagi.
Setelah saya lahir, Bapak masih menginginkan anak lelaki. Makanya, Bapak mendandani saya dengan pakaian lelaki, rambut sangat pendek, pakai celana, dan ke mana-mana dipakaikan peci. Anak bungsu Bapak ini sering mengadu karena teman-teman suka mengatai rambutnya yang tidak seperti anak perempuan pada umumnya, tapi Bapak selalu bilang, mereka hanya iri. Rambutmu keren! Maka, saya tersenyum bangga dan berusaha melupakannya.
Setelah menjadi orang tua, pernah suatu hari, anak sulung saya bertanya, apa Bunda tidak kecewa punya anak lelaki? Karena sebelum melahirkan, dokter selalu bilang kalau anak pertama kami berjenis kelamin perempuan.
“Buat Bunda, lelaki dan perempuan sama saja. Hal yang paling penting, kami bisa menjaga dan mendidikmu dengan baik.”
Makanya, kami tidak memusingkan pengin anak perempuan. Anak-anak kami telah tumbuh dengan baik dan itu sudah lebih dari cukup. Saya pribadi merasa cukup terganggu dengan ucapan orang-orang yang mengatakan, "Kalian harus nambah anak satu lagi biar lengkap. Kalau hanya anak lelaki, itu kurang (bahagia)."
Saya memikirkan perasaan anak lelaki kami yang dianggap tidak cukup membahagiakan kedua orang tuanya. Mungkin, saya terlalu perasa. Saya takut mereka kecewa mendengarnya. Sehingga setiap kali harus mendengarkan itu, saya selalu bilang kepada anak-anak, kalian lebih dari cukup!
“Secara naluriah, manusia memang cenderung suka membandingkan. Anak kecil yang belum bisa bicara pun akan meraih potongan kue yang lebih besar dan memilih mainan yang tampak lebih mencolok. Akan tetapi, seorang anak tidak serta merta bahagia hanya karena memiliki sesuatu yang lebih bagus atau besar. Aku merasa bahagia saat memiliki sesuatu yang kubutuhkan dan kuinginkan. Karenanya, aku bertekad untuk menghentikan segala bentuk perbuatan membandingkan, baik pada diriku maupun kepada orang lain.” (Hal. 44)
Kecemasan Tidaklah Selalu Buruk
“Berulang kali aku mencoba menyembunyikan sekaligus memperbaiki kepribadianku yang pemalu dan mudah cemas. Namun, kini aku tahu. Tahu bahwa kecemasan bukanlah penyakit, melainkan naluri manusia.” (Hal. 190)
Capek rasanya menjadi orang yang mudah cemas. Saya tidak terbiasa pergi ke mana-mana sendiri karena saya terlalu takut melakukannya. Ketika suatu hari saya dan suami harus berbeda gerbong kereta, saya merasa takut dan khawatir akan banyak hal sampai-sampai saya menangis di stasiun.
Namun, akhir-akhir ini, saya pergi bertemu editor di salah satu penerbit hanya seorang diri hingga beberapa kali menjadi pembicara di depan banyak orang. Perubahan bukan hal mudah bagi orang seperti kita, tapi saya belajar untuk mencobanya. Kata orang, manusia yang tidak percaya diri justru adalah orang yang terlalu percaya diri. Dia kira, semua orang memerhatikannya terus menerus sehingga ketika kita salah bicara, orang lain akan mengingat itu selamanya. Padahal, tidak lama, mereka akan lupa. Seperti mereka bilang, dunia ini bukan hanya tentang kamu :)
Tentu saja saya tetap tidak berani belajar naik motor. Saya merasa lebih aman jika tetap di rumah dan menikmati waktu dengan hal-hal yang saya suka.
“Aku masih merasa aman saat berdiri tegak di atas tanah dengan kedua kakiku. Sebagai gantinya, aku merasakan kegembiraan setiap kali mendapat pengalaman dan pemahaman baru melalui buku, mengembangkan imajinasi dengan menggambar, memperdalam hubungan dengan orang-orang dekat, dan menghibur serta berkomunikasi dengan orang-orang melalui tulisan yang kubuat. Karena sesungguhnya, kita semua tidak perlu hidup dengan menyukai hal yang sama.” (Hal.192)
Relate sekali dengan apa yang saya kerjakan saat ini. Ketika ada orang yang menyesali ketidakmampuan saya mengendarai sepeda ataupun motor, saya katakan, saya bisa mengerjakan hampir seluruhnya kecuali satu dua hal itu. Buat saya, itu bukan masalah yang harus dibesar-besarkan. Jika mau yang jago naik motor, kita bisa panggil kang ojol…kwkwk. Saya tidak mau dianggap sebagai orang yang tidak berguna hanya karena tidak mampu melakukan satu hal. Saya berharga dan mencintai diri saya sendiri. Saya tidak harus seperti orang lain dalam semua hal, kan? :)
Memaafkan Sambil Menjaga Jarak
“….Setelah itu, Ibu selalu meminta maaf dan selalu menangis setiap kali menerima panggilan teleponku….
Akan tetapi, Ayah tidak seperti itu. Aku sudah menangis sambil berteriak di depan Ayah, memintanya untuk memahami apa yang aku dan kakakku rasakan di masa kecil. Namun, sayang, beliau tidak mampu membaca hati kami. …. Meneriaki Ayah yang minim empati hanya akan membuat hatiku semakin menderita. Sebagai gantinya, aku memutuskan untuk menerima Ayah sebagai orang yang punya kekurangan dan belum dewasa.” (Hal. 172-173)
Hubungan kita dengan orang tua tidak selalu berjalan baik. Terkadang, kita sakit karena orang terdekat, termasuk karena orang tua kita sendiri. Makanya, cobalah untuk melihat masalah dari dua sisi. Bukan hanya dari sisi orang tua, tapi juga dari anak.
Hubungan dengan Ayah cenderung terasa lebih sulit. Bagaimana rasanya tinggal jauh, tapi nggak pernah ditanyakan kabarnya? Apa kamu sehat? Apakah kamu baik-baik saja? Cucuku sudah bisa apa? Sedangkan Ayah yang lain begitu perhatian dan penuh empati kepada anak perempuannya.
Kita tidak bisa selalu menuntut orang tua mengerti dan memahami kita, terutama di usia mereka yang sudah lanjut. Kita bisa membaca dan mempelajari buku-buku parenting, tapi orang tua kita tidak akan sempat. Mereka sudah bergelut dan kesulitan di waktu kecil dengan pola asuh yang mungkin jauh lebih buruk, berjuang membesarkan kita dengan kondisi ekonomi yang tidak stabil.
Makanya, bereskan luka masa kecil kita supaya bisa menerima dan berdamai dengan semuanya. Jika terlalu sulit, saya memilih untuk menjaga jarak dibanding harus berkonflik dengan orang tua sendiri. Bagaimanapun, mereka tetap orang tua yang harus kita hormati. Seperti itu juga yang dilakukan oleh Won Jung Mee kepada ayahnya.
Karena merasa hubungan mereka tidak membaik seiring berjalannya waktu, ia memilih untuk menjaga jarak. Pilihan yang bijak dibanding harus saling menyakiti satu sama lain.
Buku ini membicarakan banyak hal, tapi beberapa poin membuat saya menangis karena isinya cukup relate. Tidak bermaksud menyalahkan pola asuh orang tua kita di zaman dulu, tapi dari pengalaman itulah kita belajar untuk membenahi pola asuh kita yang sekarang dan tidak mewariskan trauma.
Anak-anak tidak bisa memilih dari rahim siapa ia dilahirkan dan dari Ayah seperti apa ia dibesarkan, tapi kita bisa setidaknya membuat mereka tumbuh sesuai fitrahnya dengan terus belajar bagaimana cara menjadi orang tua yang baik.
Buku-buku parenting tidak selau membantu karena setiap anak itu berbeda dan unik. Kitalah yang paling tahu bagaimana cara mencintai mereka. Hal yang ingin saya garisbawahi, mencintai dan menyayangi anak-anak harus dilakukan dengan penuh empati dan kasih sayang. Ketika tangki cinta mereka penuh, mereka bisa membahagiakan orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarganya nanti.
Salam hangat,