Marriage is (not) Scary

Thursday, October 17, 2024

Marriage is (not) Scary


Saya lahir dan tumbuh di keluarga yang masih melegalkan perjodohan, nggak mendukung pendidikan tinggi bagi anak perempuannya karena dianggap buruk, dan kalau bisa banyak-banyak di rumah supaya aman. Jadi, sekalinya keluar rame-rame sama teman, bisa kena silent treatment seharian…hehe.

Perjodohan itu boleh, kan? Yes! Tapi, di keluarga besar kami, perjodohannya itu scary banget gitu, lho…kwkwk. Saya masih bisa mengingat dengan detail yang jelas ketika kakak perempuan saya dijemput dari pesantren. Rumah sudah ramai seperti mau hajatan. Kakak saya diajak ke belakang, diberi tahu kalau dia akan dilamar oleh seseorang yang jelas dia nggak pernah kenal. Nangis? Iyalah. Kamu bayangin aja, lagi senang-senangnya sekolah, tiba-tiba disuruh nikah. Serem banget ya Allah :(

Di keluarga besar kami, anak itu harus benar-benar manut sama orang tua. Nggak ada ruang diskusi. Kalau menolak, dianggap membantah. Jadi, orang tua saya sangat takut kepada nenek saya. Saking takutnya, mereka rela menikahkan anak-anaknya dengan orang yang sebenarnya mereka juga nggak kenal baik. Hanya karena dianggap keturunan Kyai, punya nama, lalu oke saja. Padahal, dalam perjalanannya, pernikahan mereka benar-benar scary :(

Saya nggak akan ceritakan detailnya, tapi buat saya pribadi, pernikahan mereka luar biasa bikin trauma. Kakak saya akhirnya bercerai. Kalau saya jadi mereka, mungkin saya nggak akan sanggup menjalani abusive relationship seperti itu.

Menikah dengan Orang yang Tepat

Ketika saya sudah tamat SMA, mulai ada yang datang melamar, tapi saya bersyukur orang tua mulai memberi ruang untuk saya, mau menerima atau menolaknya. Mungkin, karena tidak ada tekanan dari keluarga besar, nenek sudah tidak ada, jadi, mereka bisa lebih leluasa memutuskan.

Saya juga cukup beruntung karena bisa melanjutkan sekolah meski hanya satu tahun, sedangkan saudara saya yang lain harus berhenti belajar setelah lulus SMA. Kalau diingat, dulu banget pernah menelepon di kantor pesantren dan memohon supaya diizinkan untuk kuliah. Waktu itu, hampir semua teman saya sesama D1 di sana mau melanjutkan sekolah. Saya yang cita-citanya setinggi langit sudah pasti pengin juga seperti mereka, tapi Ibu bilang, nggak bisa.

Mencelos hati rasanya. Apa iya se-enggak bisa itu? Apa iya nggak bisa diusahakan? Apa anak kuliah seburuk itu di mata kedua orang tua saya? Sampai sekarang masih nggak habis pikir, kenapa orang tua nggak memberi kesempatan untuk kuliah. Saya tahu semata-mata ini bukan soal biaya, tapi ya sudahlah :)

Lho, emang ada orang yang berpikir anak perempuan yang kuliah itu bakalan nakal? Ya ada bangetlah…kwkwk. Sepupu saya adalah anak perempuan pertama yang kuliah di keluarga besar kami waktu itu. Habislah dirujak…kwkwk. Untungnya, orang tuanya teguh. Lebaran kemarin, kami bahkan membahas hal itu dan saling menertawakannya…kwkwk.

Ketika keinginan kuliah itu gagal, saya nggak punya banyak pilihan selain ya udah nikah aja, kan? Memangnya mau ngapain lagi? Mudah sekali putus asanya, ya? Kwkwk. Kalian, kalau ada di posisi saya, pasti akan memikirkan hal yang sama. Memangnya saya bisa apa? Mau seberjuang Zenna dalam Novel JS. Khairen? Meski ekonominya kurang, tapi Zenna didukung sama orang tuanya :(

Tapi, mau nikah sama siapa juga? Memang, ya, kalau sudah Allah takdirkan, nggak ada yang nggak mungkin. Sore hari, salah satu ustadz saya di pesantren berkunjung ke rumah. Katanya, mau main aja karena kan lagi lebaran juga. Ternyata, beliau membawa adiknya yang sudah lama merantau di Jakarta dan jarang pulang. Kami satu almamater, tapi sama sekali tidak saling kenal. Bertemu pertama kali waktu itu saja dan hanya sekadar membukakan pintu dan mengantarkan teh. Selebihnya, mereka ngobrol sama Bapak.

Setelah mereka pulang, ada telepon dari ustadz saya yang lain. Katanya, lelaki yang tadi datang mau melamar dan pengin serius menikah. Jeng jeng jeng…kwkwk. Ketika mendengar cerita perjalanan kami, banyak yang bertanya, kenapa tiba-tiba mau sama orang yang baru dikenal, beda usia juga?

Kata Ibu, memangnya mau cari yang seperti apa lagi? Dia anaknya baik dan tekun. Memangnya masih mau menunggu yang gimana lagi? Kwkwk. Tanpa paksaaan, saya mengiyakan. Mungkin, untuk pertama kalinya di keluarga kami, anak perempuan boleh memutuskan siapa calon suaminya.

Kami menikah setelah saya lulus D1. Kalau dipikir, andai pasangannya nggak tepat, pernikahan akan menjadi hal yang sangat menakutkan. Perjalanan kami tidak mudah, baru kenal pula, saya juga banyak tantrumnya…kwkwk, tapi pernikahan kami terselamatkan mungkin sebagian besar karena suami saya sabarnya lebih luas daripada istrinya…huhu. Berasa sempit banget sabar saya…haha.

Menikah Itu Belajarnya Seumur Hidup

Capek, ya nikah itu? Naik turun seperti roller coaster. Lebih capek lagi ketika kita harus jadi orang tua, tapi kitanya masih ada trauma pengasuhan. Jadi, kalau kita belum beres dengan semua ini, sebaiknya jangan nikah dulu. Beresin dulu semua trauma kamu. Karena nikah nggak menyelesaikan masalah.

Setelah menikah, kita nggak bisa hanya mementingkan diri sendiri. Lebih sulit ketika harus memahami pasangan kita. Akan jauh lebih sulit ketika keduanya hanya mementingkan egonya masing-masing.
Menikah itu belajarnya seumur hidup. Sampai punya anak pun rasanya masih harus banyak belajar. Dan benar saja, ujian pernikahan itu nggak sedikit. Nggak ringan. Kalau nggak kuat-kuat, seperti yang kita lihat, alasan sepele bisa menjadi sebab perceraian.

Menikah tidak seperti pacaran yang bisa putus nyambung sesuka hati. Namun, kalau memang pasangan yang ternyata kita pilih nggak tepat, ada KDRT, tidak menafkahi, ya rugilah dipertahankan. Alasan demi anak-anak itu nggak masuk akal sama sekali. Ketika melihat orang tuanya bertengkar hampir setiap hari, justru malah membuat trauma yang lebih besar bagi anak-anak kita.

Dan satu hal lagi, jangan pernah berharap bisa mengubah watak seorang suami yang usianya sudah di atas 20 tahun. Gimana ngubahnya? Kwkwk. Sudah terbentuk sampai jadi fosil itu…huhu. Kenapa saya bisa katakan begitu? Karena saya melihat pernikahan saudara saya sendiri yang berujung gagal semua meski sempat dipertahankan. Alasannya, suaminya aja nggak mau berubah. Sampai anaknya lulus kuliah pun, wataknya masih sama juga…huhu. Nikah, tapi nggak dinafkahi, kalian pikir kami ini apa? 

Sejak Islam hadir, kaum perempuan dinaikkan derajatnya. Sudah nggak zaman perbudakan lagi. Perempuan dihormati haknya, diberi aturan supaya terjaga kehormatannya. Ketika menikah, ia bukan hanya jadi pemuas nafsu pasangannya saja, melainkan benar-benar dijaga, diberi haknya, dihormati, disayangi. Kalau harus apa-apa sendiri lagi, ya mending sendiri aja nggak, sih? Kwkwk

Lelaki di Indonesia rata-rata ya masih menerapkan budaya patriarki. Pekerjaan rumah tangga dianggap hanya tugas istri. Mendidik anak hanya urusan ibunya. Tugasnya suami mencari nafkah. Kalau benar begitu, apa bedanya sama mesin ATM? Kwkwk. 

Nggak setuju banget dengan budaya seperti ini. Jadi perempuan itu lelah, Bang…huhu. Jadi IRT sering dianggap nggak kerja. Sudah mengerjakan semua hal sendiri, masih juga dianggap kurang. Kamu mau nyari pasangan atau nyari ART?

Sebagai perempuan, kita juga mesti punya batasan sejauh mana kita boleh memperjuangkan dan sejauh mana kita mesti udahan. Kalau rumah tangganya sudah nggak normal, kamu doang yang lelah, menurut saya, perceraian bukan hal yang salah. 

Seperti yang kita lihat beberapa bulan terakhir, kasus-kasus KDRT dan perselingkuhan marak terjadi. Sudah dianiaya sampai lebam, diberi waktu beberapa tahun, tapi nggak ada perubahan, lalu apa yang mau diharapkan?

Marriage is not scary jika pasanganmu tepat. Pasangan yang tepat itu adalah yang sama-sama mau berbenah, mau sama-sama belajar, juga yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kita kan maunya punya teman hidup, bukan hanya sekadar tinggal bareng. Sad banget kalau apa-apa masing-masing, kan?

Belasan tahun menikah, saya mulai menyadari bahwa sama-sama dewasa itu juga butuh waktu. Dewasa bukan perihal usia, tapi juga soal mindset kita. Pernah suatu hari saya buru-buru mau jemput si adek di sekolah. Waktu itu, suami saya berjanji akan menjemput. Jadi, saya melarang ojeknya datang. Namun, siapa sangka suami saya meeting dadakan sampai sejam lebih, sedangkan anak saya sudah nungguin sampai hampir Magrib. Qadarullah, jam-jam macet itu mengerikan ya. Waktu mau jemput, suami pakai mobil karena memang kebetulan habis dipakai, tapi melihat kondisi lalu lintas yang padat, suami putuskan balik ke rumah ambil motor. Dan jelas, itu butuh waktu lebih lama lagi.

Di jalan, dia sempat nggak ingat kalau sudah janji sama anaknya mau jemput. Saya kesal juga. Kenapa menyanggupi, tapi sebenarnya nggak sanggup? Setelah saya jelaskan, kami sama-sama diam. Asli, capek banget pikiran. Saya nggak pernah ninggalin anak di sekolah sampai jam segitu masalahnya…huhu.

Dari kejadian itu saya berpikir, ternyata begini ya kalau sama-sama sudah dewasa. Nggak ngajak ribut apalagi tantrum sendiri. Ketika marah dan kesal, lebih baik diam dulu daripada bicara banyak dan membuat masalah tambah sulit. 

Menikah nggak sesederhana kamu suka sama pasanganmu saja, tapi lebih dari itu juga harus ada kesiapan mental, finansial, dan paling penting juga soal agama. Percuma anaknya Kyai, tapi kalau nggak mengamalkan yang dipelajari, ujung-ujungnya hanya zalim sama pasangannya. 

Saya bersyukur bisa bertemu pasangan yang tepat (bukan sempurna). Suami saya selalu support mimpi-mimpi saya, dia juga mau belajar menjadi orang tua yang baik, nggak gampang tantrum seperti istrinya…kwkwk. Masya Allah tabarakallah. Kalau dipikir, memangnya mau cari yang gimana lagi? Pengin dapat spek Nabi Muhammad, tapi mesti sadar diri juga kalau kita bukan Khadijah, kan? :)


Salam hangat,

Comments