Photo by Zhenzhong Liu on Unsplash |
Akhir-akhir ini, banyak sekali kasus penusukan oleh orang-orang misterius. Salah satu yang cukup banyak menarik perhatian yakni penusukan anak SD usia 12 tahu sepulang dari mengaji bersama teman-temannya. Motifnya hanya karena ingin mengambil HP korban yang menurut beberapa sumber sebenarnya korban nggak bawa apa-apa.
Belum lagi kasus yang terjadi di depan rumah saya. Ada orang tak dikenal yang merebut atau menjambret HP anak usia SD yang saat itu memang sedang dimainkan sambil berjalan.
Ada juga anak usia SD yang kecanduan gadget setelah diberikan HP sendiri oleh ibunya. Setiap disuruh belajar, dia menolak. Jika HP miliknya diambil, dia malah menyembunyikan HP ibunya.
Lagi-lagi, ini soal HP.
Banyak kasus lain yang membuat saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya idealnya anak diberikan HP pada usia berapa, sih?
Kebetulan, saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak meskipun di rumah ada beberapa HP nggak dipakai. Statusnya mereka tetap pinjam sesuai kebutuhan. Misalnya untuk komunikasi ketika saya sedang pergi, dipakai murajaah dan hafalan Alquran karena di beberapa HP dipasang aplikasi baca Alquran yang biasa mereka gunakan, searching di Google sesuai kebutuhan, cek jadwal sekolah, dan nonton film kartun pendek setiap akhir pekan sesuai perjanjian. Selama mereka pakai, selalu izin dulu apalagi kalau nggak sebentar butuhnya.
Kenapa saya belum ngasih HP pada anak-anak terutama untuk si sulung yang sudah lumayan besar? Sedangkan hampir semua temannya sudah punya HP masing-masing.
Tidak Terlalu Butuh
Alasan pertama kenapa saya belum memberikan HP sendiri pada anak-anak yakni karena memang mereka belum terlalu butuh. Anak-anak pun sepakat dengan alasan tersebut. Mereka boleh pinjam ketika butuh, tapi bukan untuk dimiliki. Jadi, statusnya masih milik orang tuanya. Dengan begitu, mereka bisa lebih hati-hati dan kami bisa lebih mudah membatasi penggunaan gadget.
Anak usia SD memangnya butuh buat apa sih? Waktu pandemi kemarin pun mereka nggak punya dan semua berjalan baik meski pembelajaran dilakukan secara daring. Meskipun nggak punya, mereka tetap bisa pinjam dan pakai sesuatu kebutuhan. Ketika sudah saatnya, kami sebagai orang tua juga nggak akan melarang.
Dampak Negatif Penggunaan Gadget yang Berlebihan
Saya pribadi takut jika anak-anak diberikan HP sendiri justru membuat mereka lupa waktu. Bikin mereka kecanduan main gadget.
Kesepakatan yang sekarang berjalan di rumah memang tidak dipaksakan. Meskipun anak-anak punya tabungan sendiri dan sangat bisa membeli HP, tapi mereka merasa nggak butuh juga. Jadi, kami merasa sangat lega karena nggak perlu adu jotos dengan mereka.
Meski teman-teman si sulung banyak yang sudah punya HP sendiri, dia nggak pernah terlihat pengin. Apalagi selama ini ketika ada chat dari temannya yang masuk ke HP saya, justru saya yang lebih sering balas. Lucunya, teman-temannya nggak ada yang sadar kalau itu emaknya…kwkwk. Saya pakai bahasa anak-anak untuk merespon. Sampai ngobrol agak panjang pun pernah. Saya juga sampaikan ke sulung setiap ada temannya kirim pesan. Tetap saja, kadang saya juga yang mesti balas karena dia malas :D
Pemberian gadget terlalu dini pada anak tanpa edukasi sebelumnya lebih sering menimbulkan dampak negatif ketimbang positif. Hal yang paling ditakutkan tentu saja pornografi dan kecanduan game, ya. Edukasi mestinya diberikan sebelum mereka punya gadget. Namun, yang terjadi sekarang, anak-anak masih kecil sudah punya gadget, tapi nggak paham dampak negatif dan positifnya pakai gadget. Rata-rata mereka juga belum paham mana yang baik dan buruk sehingga sangat mungkin asal meniru video-video yang sedang viral.
Padahala, di dunia maya itu serem banget, kan. Nggak aman sama sekali apalagi tanpa pengawasan orang tua.
Biar Fokus dengan Pendidikan
Kenapa saya dan suami belum mau ngasih gadget ke anak-anak? Salah satu alasan lainnya karena khawatir mereka jadi nggak fokus sama pendidikan. Misalnya, si Kakak sebenarnya senang bikin konten-konten kreatif dan suka share di media sosial. Namun, ketika dia sudah bikin konten itu apalagi rutin, dia jadi lupa untuk lebih fokus pada tugasnya yang lebih penting yakni sekolah.
Hal-hal lainnya bisa dikejar kemudian. Saat ini, mending fokus saja dengan pendidikan. Saya nggak mau dia jadi keteteran karena pelajarannya makin berat. Bukan dia nggak boleh main sama sekali, tapi saya memilih mengizinkan dia main selain yang berhubungan dengan gadget kecuali hari libur.
Jangankan anak kecil, kita saja yang sudah dewasa sering lupa waktu kalau sudah main gadget, apalagi anak-anak.
Poin-poin di atas merupakan pendapat pribadi saya dan suami. Saya juga tidak menyalahkan orang tua yang memberikan gadget pada anaknya terlalu dini. Juga yang mengizinkan anaknya bermain game. Jika tidak berlebihan, mestinya teknologi mendatangkan manfaat, kok. Jadi, sah-sah saja, kan?
Kapan Waktu Ideal Anak Punya HP Sendiri?
Menurut beberapa sumber, sebenarnya nggak ada pedoman baku yang menjelaskan kapan tepatnya orang tua boleh memberikan HP atau gadget pada anaknya. Namun, katanya, semakin lama menunda pemberian gadget pada anak maka akan semakin baik.
Pastinya, ini berhubungan juga dengan kesiapan mereka. Anak-anak memang terlihat sangat lihat bermain gadget, bahkan mengalahkan kita sebagai orang tua, tapi apakah mental mereka siap? Apakah tidak mengganggu perkembangan mereka ke depannya nanti? Inilah yang mesti kita pahami baik-baik sebelum memutuskan memberikan HP pada anak.
Sebagian ahli mengatakan bahwa nggak ada masalah berarti ketika ada anak yang tumbuh tanpa gadget atau HP. Nggak akan mereka jadi kuper dan nggak tahu apa-apa.
Saya pribadi merasa bahwa pendapat ini memang betul. Meskipun anak-anak nggak punya gadget, tapi mereka tetap bisa mendapatkan informasi dan berbagai macam pengetahuan, terutama karena mereka juga sebenarnya tahu dan pakai gadget hanya saja waktunya terbatas. Juga, senang membaca buku yang bisa membuat mereka tahu segala hal.
Dengan tidak memberikan gadget, apakah saya benar-benar melarang anak-anak nggak main game dan membiarkan mereka nggak tahu apa-apa? Nyatanya nggak begitu juga, kok.
Mereka pernah memainkan beberapa permainan meski hanya sesekali. Mereka tahu beberapa game yang dimainkan temannya dan kami sering membuka diskusi apakah itu cocok buat anak-anak atau nggak.
Game nggak melulu negatif, tapi ketika dimainkan secara berlebihan, apa pun itu akan jadi negatif dan buruk. Anak-anak harus tahu beberapa dampaknya. Juga ketika mereka memainkan permainan yang nggak sesuai sama usia, juga yang menggambarkan adegan kekerasan.
Saya bukan orang tua yang sempurna, saya juga nggak pandai yang namanya ilmu parenting. Saya hanya berusaha menjadi orang tua yang baik buat anak-anak, berusaha berkomunikasi yang baik dengan mereka, sesekali saya juga melakukan kesalahan. Nggak ada orang tua yang sempurna.
Di rumah, kami sepakat nggak ada main game. Anak-anak masih boleh nonton beberapa film kartun pendek di akhir pekan. Di rumah, nggak ada televisi menyala. Bukan kami nggak punya, tapi karena kelamaan nggak dinyalain, tiba-tiba mati sendiri dua-duanya pula. Saya memutuskan nggak mengizinkan suami membeli lagi…kwkwk. Kejam nggak, sih? :D
Kenapa sih saya nggak berani ambil keputusan untuk lebih longgar, misalnya ngasih game biar mereka bisa seperti teman-temannya yang lain? Ngasih nonton televisi?
Saya capek kalau ujungnya malah kecanduan. Saya capek mesti adu debat dengan anak sendiri. Kelihatannya, saya memang main aman, kan? Untungnya, anak-anak memang sudah kecanduan membaca buku. Main-main lebih ke permainan biasa seperti main lego, main sepeda, bikin-bikin mainan sendiri, atau si kakak suka bikin game sendiri di power point.
Gimana dengan orang tuanya? Saya dan suami biasa saja main HP di rumah. Sesuai kebutuhan. Apa anak-anak nggak protes? Alhamdulillah sejauh ini nggak. Mungkin karena mereka sudah punya kesenangan sendiri juga.
Pernah saya membaca di Instagram tentang anak kecil yang nggak kecanduan gadget, padahal ibunya pegang HP biasa saja. Kok bisa anaknya nggak minta? Dia menjawab, mungkin karena anaknya sudah terlanjur kecanduan baca buku. Masuk akal dan saya merasakannya juga.
Setiap pergi, anak-anak bingung mesti bawa buku yang mana untuk dibaca di jalan atau di tempat tujuan. Ketika anak kita sudah punya kesenangan sendiri seperti ini, sebisa mungkin kita support dengan memberikannya buku-buku yang menarik dan tentunya baik isinya.
Benar, butuh modal besar untuk membeli buku-buku anak karena harganya mahal bingits. Solusinya, cicil beli sedikit demi sedikit sesuai kemampuan dan kebutuhan. Anak-anak di rumah nggak harus selalu baca buku baru, buku lama pun bisa mereka baca berulang-ulang. Ini benar-benar ngebantu berhemat sih…kwkwk. Itulah alasan kenapa sampai sekarang saya belum bisa nge-preloved komik-komik Plant Vs Zombies yang jumlahnya sudah puluhan :D
HP dan Pornografi
Beberapa bulan lalu saya sempat sangat kaget ketika si sulung cerita tentang teman-temannya yang sering mengisyaratkan beberapa simbol hubungan seksual. Kalau ngacungin jari tengah sepertinya sudah terlalu biasa, ini lebih dari sekadar itu yang akhirnya membuat kami membuka diskusi berdua saja.
Kami akhirnya membahas sebuah buku dari Mba Dian Kristiani yang membahas tentang pubertas. Bukunya bisa teman-teman akses di Ipusnas, ya. Isinya bagus dan sesuai dengan anak-anak yang segera memasuki usia akil balig.
Sungguh menakutkan pergaulan anak zaman sekarang. Ketika di rumah kita merasa mereka aman sepenuhnya, tapi kita nggak pernah bisa mengontrol teman-temannya. Padahal, sekolahnya sudah sekolah Islam. Anak-anaknya sudah belajar Alquran setiap hari bahkan sebagian besar sudah hafal beberapa juz. Namun, tetap saja mereka melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan sebagai bahan bercandaan.
Dikutip dari id.theasianparent.com, Weinberger yang telah meneliti 70.000 anak menemukan fakta bahwa rata-rata anak mulai melakukan sexting di usia 5 SD, sejak usia 8 tahun sudah mulai konsumsi pornografi, dan kecanduan di usia 11 tahun.
BTW, menurut Wikipedia, sexting merupakan aktivitas mengirim atau mengunggah foto yang tidak senonoh ataupun kalimat-kalimat yang menimbulkan birahi.
Menurut study yang dilakukan oleh Common Sense Media menyebutkan bahwa 66 persen orang tua merasa bahwa anak-anak terlalu sering menggunakan HP, 36 persen orang tua berdebat setiap hari dengan anak-anaknya tentang penggunaan HP.
“HP terooooos.”
Mungkin, kira-kira begitu kalimatnya, ya :D
HP memang bisa memberikan dampak positif pada anak-anak kita, tapi ingat juga, dampak negatifnya jauh lebih besar ketika digunakan dengan tidak bijak. Saat anak kecanduan HP, mereka cenderung nggak punya kontrol impuls yang akhirnya justru membuat mereka lebih sering bertindak berdasarkan emosi.
Coba perhatikan anak-anak sekarang, lumayan bar-bar dibanding teman-teman si sulung di zaman kelas 1 SD dulu. Anak sekarang kalau marah bisa langsung main kasar yang menurut saya nggak sesuai sama usia mereka. Memang nggak melulu karena HP, tapi pastinya salah satunya bisa dari HP juga.
Pada akhirnya, kembali lagi pada masing-masing orang tua. Ketika ada orang tua memberikan HP pada anak-anaknya, mereka juga mengambil risiko besar mengenai dampak negatifnya. Kita mesti siap dengan semua kemungkinan, termasuk mesti ribut-ribut mengenai kedisiplinan.
Salam hangat,
Salut deh sekeluarga kompak soal hp ini, ya. Kalau aku pribadi baru izinin anak punya hp pribadi di usia 12 tahun karena di usia itu juga google kasih izin buat punya akun sendiri.
ReplyDeleteSi Hilyah suka protes karena teman-temannya sudah memiliki hp pribadi, sementara dia hanya bisa meminjam hp abah atau ummi. Sebenarnya, saya juga tidak melarang anak-anak main hp, hanya saja, sepertinya memang belum waktunya Hilyah punya hp sendiri. Mungkin, nanti kalau sudah besar dan paham aturan-aturan yang harus ditaatinya.
ReplyDeleteAlhamdulillah, anak2ku juga hanya boleh pinjam sesuai kebutuhan dan ada jatah di akhir pekan untuk nonton film anak dengan batasan waktu.
ReplyDeleteAnak2 juga suka baca, dan belakangan saya belum bisa memenuhi kebutuhan mereka dengan buku2 judul baru secara fisik.
Akhirnya saya bacakan mereka buku digital setiap akan tidur melalui ipusnas.
Makasih Mba Muy, masukannya 🙏🙂
sexting sejak kelas 5 SD ??!! what the ***** seserem itu fenomena sekarang ya ? Jaman sekarang, bertahan tidak memberikan HP ke anak sampai cukup usia, bener-bener sebuah perjuangan, dimana rata-rata teman seumurnya sudah punya hp sendiri. harus tahan telinga dengar rengekan anak, juga terpaksa mengikhlaskan berbagi pakai hp ( sesekali ) dengan anak.. tapi bagaimanapun, mengingat efek negatifnya, kuat-kuatin deh..
ReplyDeleteanak-anakku belum saya kasih HP sendiri juga, semua masih milik mama walau si Kakak udah claim kalau tablet yang sering dia gunakan miliknya tapi saya tetap bilang itu punya Mama,Kakak cuma boleh pinjam saja dan itupun sekarang pada boleh main di weekend aja meski kadang longgar juga sih kalau mereka berbuat baik atau emaknya lagi sibuk dikejar deadline *upsss
ReplyDeleteiri bangeeet deh Mbak, anak-anaknya bisa kecanduan buku seperti itu.. anak-anakku mah boro-boro, pengennya dibacain aja mereka huhuhh
Saya memberikan HP sejak anak saya masih TK. HP jadul tulat tulit hamya untuk komunikasi di saat saya sedang di kantor. Kelas 3 SD baru minta HP dan alhamdulillah hingga usianya 20 tahun saat ini saya tidak merasa kewalahan kalau anak saya kecanduan HP. Memang itu gimana orang tuanya aja. Mengenai sexting, cukup mengerikan juga yah. kami beberapa kali nonton drakor bersama dengan adegan ranjang, so far fine2 aja
ReplyDeleteSaya baru kasih Lubna HP sendiri sekarang pas masuk SMP, soalnya Kurikulum Merdeka itu harus belajar dan kerjain soal lewat HP. *emak kesel juga, tapi mau gimana lagi kwkwk...
ReplyDeleteRibut soal HP itu pasti, tapi masa terberat waktu dia kelas 6 sih, Mbak karena semua bestie-nya punya HP dan suka kirim aneh², sedangkan saya termasuk ibu yg ketat dan berbeda dengan ibu2 temannya dalam soal pendidikan karakter. :D
Aku pribadi juga masih belajar jadi orang tua, anak-anakku pun masih kecil paling besar 7 tahun. Sulit rasanya menemukan anak yang dibatasi menggunakan gadget masa kini. Aku melihat bahwa daripada keuntungan, lebih banyak mudhorotnya jika anak memiliki hp sendiri. Kalau soal pornografi, paparannya kencang mulai dari video horisontal yang joget-joget seperti tiktok, reels dan shorts itu tanpa sadar juga memberikan pancingan-pancingan ke arah sana. Mulai dari musik, pakaian dan trend joget-joget. Belum lagi peluang paparan iklan dari games, hiks sedih deh. Maka dari itu sampai anak blm akil baliqh lebih baik dampingin terus deh
ReplyDeletekalau ngasih anak hape pribadi saya juga masih belum kasih, mbak. tapi kalau di rumah kadang anak pinjam hape orang tua buat nonton video gitu. jujur nih saya masih berjuang biar mereka nggak terlalu ketergantungan sama hape. harusnya sih dimulai dari orang tuanya dulu yaa yang nggak sebentar-sebentar nengok hape
ReplyDelete