Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Mengharapkan anak berhasil meraih nilai akademik terbaik di kelasnya merupakan hal yang wajar. Sebagai orang tua, siapa sih yang nggak pengin anaknya menjadi juara?
Waktu saya sekolah dulu, orang terdekat pernah bilang, “Masa kamu nggak bisa seperti si A yang dapat peringkat pertama?”
Padahal, peringkat saya nggak buruk-buruk amat. Masih tiga besar. Entah alasan apa tepatnya, saya jadi lebih serius belajar dan bisa dikatakan mati-matian. Belajar sampai tengah malam, sampai sarapan pun di kamar karena sambil menghafal materi pelajaran.
Tahun-tahun berikutnya, waktu masih SMP, saya berhasil mendapatkan nilai terbaik, bahkan sampai kelulusan. Sampai-sampai kepala sekolah ngasih saya uang karena nilai UN saya terbaik di antara dua sekolah dalam satu yayasan. Namun, jangan kira saya tetap jadi orang yang pintar dengan nilai akademik terbaik. Waktu SMA, saya sudah nggak sesakti itu…kwkwk.
Setelah punya anak, saya juga senang ketika anak saya dapat juara. Saya senang dia mau belajar tanpa harus capek-capek diminta. Namun, makin ke sini saya makin santai. Apalagi sudah banyak yang bilang, nilai akademik bukan segalanya. Nggak pandai Matematika bukan berarti bodoh. Setiap anak punya potensinya masing-masing. Jika si A pandai Matematika, bisa jadi anak kita justru lemah dalam berhitung, tapi bagus di bidang seni. Ada juga yang unggul justru di bidang olahraga.
Anak saya juga begitu. Saya memaklumi kalau dia harus bekerja lebih keras untuk menghafalkan perkalian karena dia nggak terlalu unggul dalam berhitung. Tapi, saya bersyukur dia mau berusaha. Ketika ada orang yang bilang, "Anakmu enak bisa Matematika." Dia nggak tahu, anak saya pernah sampai bolak balik video call sama walasnya, sampai mau nangis karena belum paham, dia juga pernah belajar Matematika sama ayahnya sampai larut malam karena merasa belum bisa-bisa. Saya suruh tidur nggak mau. Orang-orang nggak lihat yang begini kecuali kita orang tuanya.
Tapi, si sulung ini senang kalau ada kelas IT. Di rumah, dia suka bikin game sendiri sampai ada level-levelnya. Anak-anak saya nggak ada yang main games di handphone. Mereka bukan pecandu game, tapi karena dibatasi itu, karena kata Bunda main game nggak baik apalagi kalau keseringan, mereka jadi bikin permainan sendiri, entah itu dibikin di laptop atau di buku yang digambar dengan begitu detailnya.
Sampai di sini mestinya kita sudah paham, setiap anak itu cerdas dan pintar sesuai bidang yang dikuasainya. Nggak perlu membandingkan anak kita dengan anak orang. Apalagi memaksanya berkompetisi mati-matian dengan teman-temannya. Hingga ada anak yang kecewa berat ketika nilainya tidak sempurna. Sampai-sampai ada yang mendoakan nilai si sulung jelek, bukan dengan nada bercanda, diucapkan beberapa kali, di depan putra saya langsung. Agak kaget, tapi saya jadi tahu, ada anak yang seambis itu pada nilai.
Biarkan Mereka Menikmati Prosesnya
Dikutip dari id.quora.com, ada satu artikel menarik yang ditulis oleh Zhaza Afililla yang merupakan dokter hewan, dia membahas tentang banyaknya orang tua yang selalu terpaku pada nilai akademik. Masih banyak orang tua yang nggak paham dengan proses belajar putra-putrinya. Mereka selalu berorientasi pada hasil. Pokoknya kamu harus juara. Pokoknya nilai kamu harus sempurna kalau mau berhasil. Kira-kira seperti itu gambarannya.
Ada cerita dari teman saya tentang teman anaknya yang selalu dimarahi ketika tidak mendapatkan nilai sempurna. Makannya dia suka nangis kalau dapat nilai 90. Anaknya masih kelas 4 SD. Masih kecil, tapi mesti dapat tuntutan seberat itu dari orang tuanya.
Usia sekolah apalagi masih usia SD mestinya adalah masa belajar yang menyenangkan, santai-santai. Meskipun tuntutan dari sekolah cukup berat, tapi jangan sampai orang tua menambahkan tuntutan yang lebih berat lagi pada anak.
Seorang dosen psikologi pernah mengatakan, anak usia segitu jangan ditambah les macam-macam. Capek. Apalagi yang sekolahnya full day seperti anak saya. Pagi berangkat, sore sampai rumah. Dia hanya punya waktu sedikit untuk istirahat, belum lagi kalau diberi PR banyak dari gurunya. Bukannya pintar, malah stres.
Kita tahu banget kalau semua hal itu nggak bisa tercapai dengan sekali kedipan mata. Semua itu butuh proses. Sedikit saya ceritakan tentang anak saya yang paling kecil. Semua anak saya memang belajar mengaji di rumah bersama saya.
Namun, si bungsu nggak sama seperti si sulung. Dia butuh waktu lebih banyak supaya bisa menamatkan buku Iqro'. Satu halaman kadang diulang sampai seminggu lebih. Karena dia masih terbata-bata, kadang juga lupa materi sebelumnya. Setiap pindah halaman baru, dia selalu suntuk karena merasa itu sulit dan nggak mampu. Saya nggak pernah maksa dia harus bisa. Nggak pernah marah juga. Saya ikuti maunya apa. Kalau hari ini dia hanya mau baca setengah halaman, itu nggak masalah. Kadang satu baris juga sudah cukup. Kadang juga nggak jadi ngaji. Besoknya ketika merasa sudah lebih mengerti, lebih tenang, dia akan minta membaca sampai selesai.
Ketika dia harus mengaji dengan metode berbeda seperti saat di TK ataupun SD, tidak banyak perubahan yang mesti dibenahi karena mungkin dasarnya sudah benar.
Orang-orang melihat hasilnya. Dia sudah cepat bisa. Dia sudah hafal dan lulus banyak surat. Sekali lagi, kebanyakan orang hanya mau melihat hasilnya tanpa melihat prosesnya. Padahal, dia kadang sampai nangis waktu belajar ngaji karena merasa kesulitan mengikuti, tapi dia mau belajar dan tekun. Dia rela nggak main dulu biar bisa menghafal surat-surat pendek. Tanpa harus saya temani, dia mengulang-ulang hafalannya sendiri. Saya nggak pernah memaksa. Saya pikir, mungkin karena sudah ada contoh dari kakaknya yang setiap hari menambah hafalan, dia jadi punya semangat buat menghafal juga.
Apakah saya memberi anak-anak reward besar ketika mereka berhasil mencapai suatu target? Nggak sama sekali. Tapi, untuk menghargai usaha mereka, saya selalu ngasih sesuatu. Misalnya buku bacaan kesukaan mereka setelah ujian meskipun mereka nggak dapat nilai terbaik di kelas. Saya bilang, ini hadiah karena kalian sudah berusaha dan mau belajar. Dan memang saya juga tidak pernah menanyakan peringkat anak-anak selama ambil rapot. Lucunya, kadang mereka malah tahu dari temannya di kelas :D
Ambisi Akademik Tak Sejalan dengan Kebutuhan Anak
Kenapa sih tiba-tiba saya bahas tema ini? Sebenarnya ide ini muncul waktu parenting kelas atas kemarin. Walas si kakak bilang, nilai akademik itu bukan segalanya, bukan yang utama. Jangan bebani mereka dengan belajar di bimbel khususnya di kelas 6 karena mereka sudah sangat capek. Kecuali memang anaknya mau, ya.
Jadilah saya pengin cerita lebih banyak soal ini. Tentang ambisi akademik, memberikan tekanan pada anak, tapi orang tua menikmatinya sebagai kompetisi.
Namun, terkadang ambisi akademik tidak sejalan dengan kebutuhan anak seperti ditulis oleh Zhaza Afililla. Iya, kita mau anak pintar, tapi kita nggak pernah mendampingi dia belajar. Kita mau dia jadi anak hebat, tapi kita nggak ngasih kasih sayang sama mereka.
Kepala sekolah di sekolah si kakak pernah bilang, ketika orang tua menyerahkan anak-anaknya di sekolah, jangan serahkan tanggung jawab mendidik seluruhnya kepada sekolah. Orang tua juga masih punya tanggung jawab dan kewajiban untuk mendampingi anak-anaknya di rumah. Bahkan, sudah jelas, anak-anak yang di rumahnya jarang diperhatikan dan didampingi, dia cenderung ketinggalan. Kasihan, katanya.
Jika kita mau nilai anak-anak bagus, pelan-pelan kita juga mesti usaha supaya anak-anak mau belajar dengan happy, tanpa mesti dipaksa. Diberikan pendampingan, dibantu, jangan hanya dituntut. Kita juga mesti ngasih lebih banyak waktu buat mereka. Terutama anak yang masih usia kelas 1 SD. Benar-benar harus didampingi pake banget.
Suasana Rumah yang Kondusif
Masalah terbesar bagi orang tua dan anak-anak di zaman sekarang adalah gadget, nonton televisi, dan main games. Siapa sih yang nggak punya masalah soal ini? Anak kecanduan gadget sejak usia dini, kencanduan main games, sampai lebih parah sudah terpapar pornografi.
Anak-anak yang kesulitan belajar di rumah mungkin disebabkan oleh kecanduan main gadget atau nonton kartun di televisi dan kurangnya pendampingan dari orang tua. Sedikit cerita, si sulung dulu pernah sangat senang nonton kartun di televisi sampai-sampai ketika dimatikan kita mesti ribut dulu…kwkwk. Saya nggak mau ini terulang karena capek banget mengatasinya.
Tahun-tahun pandemi ketika semua anak hampir seluruhnya malah jadi senang main gadget, anak saya malah nggak terpapar itu. Televisi di rumah tiba-tiba mati saking lamanya nggak dinyalain. Ya Allah, pengin ngakak sih kok bisa sampai rusak begini? Beberapa tahun kemudian saya belum mengizinkan suami membeli televisi lagi. Alhamdulillah, semua menurut...kwkwk.
Anak-anak pegang hp sekadar buat zoom, cek jadwal, dan sebagainya. Anak-anak boleh kok nonton, tapi saya batasi ketika hari libur dan kami sepakat nontonnya juga hanya 2 atau 3 kartun pendek. Benar, ini kesepakatan kami bersama. Ketika mereka melanggar aturan di rumah, misalnya bertengkar antara kakak adek, hari libur nggak boleh nonton. Alhamdulillah mereka sadar diri kalau salah.
Di rumah, handphone, laptop, ataupun tablet nggak pernah disembunyikan. Mereka tahu tempatnya di mana. Apalagi pekerjaan saya memang membutuhkan gadget. Letaknya di atas meja, kadang di kamar. Mereka bisa ambil dan pakai ketika mau, tapi saya bersyukur mereka selalu minta izin dulu dan memakainya sesuai kebutuhan.
Anak-anak yang nggak kecanduan Hp biasanya cenderung lebih kreatif. Ketika anak-anak saya nyandu nonton mulu seperti dulu, mereka selalu ngeluh bosan, mau ngapain lagi, nih? Keponakan saya juga begitu.
Ketika mereka sudah nggak kecanduan gadget, mereka bisa melakukan banyak hal. Idenya jadi banyak. Main lego jadi nggak membosankan. Baca buku jadi menyenangkan. Hari-harinya penuh semangat. Mulai dari bikin game sendiri di laptop sampai bikin permainan di buku semacam ular tangga. Ada aja idenya :D
Supaya anak belajarnya nyaman, kita juga mesti menciptakan suasana yang baik buat mereka. Ngasih perhatian, ngasih waktu, ngasih apresiasi dan menghargai usaha mereka. Paling penting, jangan membandingkan anak kita dengan anak orang lain. Saya sudah tahu rasanya dan itu nggak enak, bestie :D
Dear Ayah dan Bunda, yuk nikmati peran kita mumpung anak-anak masih di dekat kita. Mereka masih mau curhat ke kita, mereka masih senang kita cium dan peluk, mereka masih menjadikan kita sebagai tempat bertanya itu hal luar biasa, lho. Jangan bikin mereka benci sama temannya hanya karena nilai akademik :)
Salam hangat,
Anakku baru 2 tahun mbak, tapi aku yg suami udah sepakat ga mau nuntut nilai akademik yg bagus, bukannya cuek dan ga mau anaknya pinter, kami pasti akan support semampu kami, tapi kami paham benar kalau setiap anak memiliki talenta masing2 dan talenta itu nggak melulu tentang akademik, nggak ada yg tau kalau ternyata talenta anakku di jadi atlet, seniman, atau hal lain yg nggak mengharuskan nilai akademik yg bagus hihihi, gampang amat ya aku ngomongnya, ga tau nanti realisasinya gimana hahahhaa
ReplyDeleteMasya Allah beb, bener banget sbg orang tua cukup mendukung dan mendoakan anak ya beb karena anak kita punya kelebihan masing-masing
ReplyDeletetopiknya seru, dan memang banyak banget terjadi disekitar kita.. alhamdulillah ( insyaAllah ) kita ( saya dan semua yang membaca artikel ini ) nggak akan jadi tipe orang tua yang seperti itu...
ReplyDeleteproses, memang ngga mudah, istighfar terus kalau saya. selalu refleksi diri.. berusaha mengingat seingat-ingatnya, ketika saya seusia anak, apakah saya sebaik mereka.. justru yg saya ingat, mereka lebih baik dari saya ketika di usia yang sama.. bukan bermaksud membandingkan, hanya sebagai pengingat.. agar tidak menuntut anak sempurna di semua bidang, karena saya juga bukan orangtua yang sempurna.. impian saya adalah terbang bersama mimpi anak-anak saya, bukan mengajak mereka ke dalam mimpi saya.. ah jadi mellow... semoga kita dimampukan menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kita masing-masing. terima kasih tulisannya mba Muyass..
Masya Allah.. Anaknya Bunda Muyas manis-manis seperti bundanya.. hihiii...
ReplyDeleteIya sih, zaman sekarang kita yg harus pinter-pinter mengontrol diri agar gak mudah dikomporin oleh orang tua lain yg hobi berkompetisi. Semoga anak kita tumbuh bahagia dalam kesehariannya ya, Mbak. Aamiin.
Ah iya nih, jadi inget dulu ibuku menekankan buat dapat hasil terbaik di sekolah. Zaman SD sih berhasil tapi di tingkat SMP agak susah apalagi SMU. Sekarang anakku yang baru masuk SD, Aku engga mau terlalu memaksakan dia harus dapat yang terbaik sih. Yang penting dia menikmati proses belajarnya
ReplyDeleteAku tidak menekankan nilai sama Anak Mba yang penting dia paham. Tapi, memang sebagai orang tua jangan menyerahkan semuanya pada guru. Dari pengalaman, Orang tua bisa mendampingi anak belajar saat di rumah, karena anak lebih senang saat bisa menunjukan hasil belajarnya pada orang tua.
ReplyDeleteSulungku saat penaikan kelas kemarin, peringkatnya terlempar jauh, tapi yasudahlah saya lihat kok usaha dia seperti apa, nilai-nilainya juga gak buruk amat bahkan naik juga sebenarnya, Alhamdulillah masih naik kelas. Jadi bilang ke dia untuk berusaha lagi lebih baik. Sekarang kalau dia belajar cukup diingatkan aja, udah gak mau juga menekannya. Biar dia nikmati prosesnya, biar tahu juga kalau gak serius belajar ya gak bakalan bisa dapat nilai baik.
ReplyDeletesaya masih belum tahu nih, mbak apakah nanti bakal mementingkan nilai akademik anak atau nggak karena dia masih TK. saya sendiri juga di waktu kecil nggak pernah sih dibebani oleh orang tua dengan masalah nilai ini cuma kadang saya berharap anak saya bisa memiliki nilai yang baik atau berbakat di bidang tertentu yang nantinya bisa jadi keahliannya
ReplyDelete