Dilemanya sekolah online |
Mestinya, bulan ini, sekolah masih full online terutama di Jakarta. Namun, berbeda dengan sekolah si bungsu yang memutuskan tatap muka terbatas mulai minggu lalu. Ini sekolah pertama bagi anak saya setelah tahun lalu batal masuk TK A. Saya tahu, dia sangat antusias untuk sekolah. Ingin bermain di sekolah dan bertemu langsung dengan guru-gurunya. Namun, sebagai orang tua, saya belum siap melepaskan dia ke sekolah walaupun katanya semua sesuai dengan prokes.
Kenapa? Karena anak SD saja masih sekolah online, kenapa TK malah masuk? Rasanya agak aneh mengingat mestinya yang masuk sekolah bertahap mulai dari SMA, SMP, SD, dan seterusnya. Kasus positif baru turun setelah naik sangat tinggi pada bulan Juli lalu terutama di Jakarta. Deg-degannya belum selesai. Khawatirnya belum hilang.
Selain itu, anak-anak mesti diantar oleh orang serumah. Di rumah, hanya suami yang bisa mengantarkan anak-anak ke sekolah di pagi hari sebelum dia pergi ke kantor. Itu pun kalau nggak kerja ke luar kota, ya. Pulangnya nggak mungkin dijemput karena suami saya nggak bisa WFH.
Saya juga masih kenyang banget, selama sekolah terutama saat TK hingga SD, dua anak saya bolak balik saja ping pong sakit. Mulainya dari common cold, tapi keduanya punya riwayat penyakit yang nggak sederhana. Misalnya si kakak, dari batuk pilek aja bisa kejang demam jika sakitnya disertai demam. Ini terjadi sampai dia berusia enam tahun. Sedangkan si kecil, tiap common cold, disertai juga OMA (Otitis Media Akut). Bayangin aja, sudah demam tinggi, pernah kejang demam juga, masih OMA yang menurut dokter dulu nggak bisa sembuh. Qadarallah, Allah angkat penyakitnya.
Dan sekarang, kita berhadapan dengan Covid-19. Andai nggak berbahaya buat anak-anak saya yang nggak punya penyakit berat, tapi ini riskan sekali buat saya dan suami. Kita juga nggak benar-benar tahu bagaimana anak-anak lain dan lingkungan mereka. Daripada saya kepikiran dan panik nggak jelas, mending si bungsu tetap sekolah online. Kemarin dia sempat curhat, maunya sekolah asli, gurunya yang asli. Kalau nunggu corona, keburu jadi tulang. Anak enam tahun bilang begitu, antara sedih dan gemaaas dengarnya...kwkwk.
Negatifnya Sekolah Online
Suatu hari, seorang teman bercerita tentang anaknya yang mendapatkan pesan dengan kata-kata kasar dari temannya lewat handphone. Negatifnya sekolah online kayak gitu, menurut dia. Buat saya, antara setuju dan nggak juga. Karena semua hal memang punya risiko, ada baik dan buruknya. Ada nilai lebih dan kurangnya. Untuk saat ini, sehat adalah yang paling utama. Makanya saya nggak buru-buru pengin anak sekolah offline.
Mari kita lihat cerita lainnya, dari seorang teman yang sering mengeluh tentang anaknya. Dia sudah dibelikan handphone saat masih SD kelas 4. Alasannya supaya tidak nelangsa ketika bermain dengan temannya. Juga karena sekolah online. Jadi, ketika dia bermain dengan teman-temannya di luar rumah, sudah bisa dipastikan dia akan membawa handphone dan bermain game.
Masalahnya di mana? Anak ini ternyata jadi kecanduan gadget pakai banget. Dia jadi malas belajar, dia nggak mau dibatasi saat bermain game, kalau ibunya menyembunyikan gadget itu, dia akan balas mengambil handphone ibunya. Sungguh sangat dramatis, ya? Hihi.
Bagaimana cara orang tua membatasi anaknya saat bermain gadget? Setiap orang tua pasti punya cara masing-masing. Namun, saya mesti bilang, sebelum memberikan gadget kepada anak-anak, edukasi dulu baik dan buruknya pakai gadget terutama untuk bermain game dalam waktu yang lama. Juga dengan bahaya pornografi yang mengintai di zaman sekarang.
Kebanyakan dari kita justru sebaliknya, ngasih gadget dulu, kalau ketahuan ada masalah, baru dimarahin, dll. Akhirnya orang tua sendiri yang stres.
Meskipun saat ini anak-anak sekolah online, saya tidak setuju ketika anak-anak diberikan handphone sendiri. Saya tidak melakukan itu. Bukan berarti cara saya adalah yang paling benar. Ini adalah yang saya lakukan dan terapkan kepada anak-anak. Walaupun handphone di rumah ada lebih dari satu, tapi anak-anak tetap meminjam salah satunya untuk kebutuhan belajar di sekolah atau meminta izin terlebih dulu jika mau bermain gadget.
Di rumah, anak-anak nggak dikasih game. Bukan karena mereka nggak tahu apa itu game, bukan karena mereka polos banget dan nggak tahu apa-apa…kwkwk. Sekali waktu kadang mereka main di rumah saudara dan ikutan main game atau sekadar melihat, kadang main di Google ketika internetnya mati *pernah, nggak, sih? kadang anak saya yang 10 tahun bikin game sendiri di laptop dengan PowerPoint untuk dimainkan dengan adiknya. Namun, semua saya batasi. Di handphone, nggak ada yang pasang aplikasi game online, baik saya ataupun suami.
Jadi, anak saya nggak banyak main gadget dan nggak suka merengek minta handphone bukan karena mereka nggak tahu apa-apa, mereka sangat tahu, tapi mereka paham nggak semua yang dilihat dan mereka tahu boleh dilakukan apalagi kalau berlebihan.
Edukasi Sejak Dini Tentang Penggunaan Gadget
Saya bukan orang tua yang jago banget ilmu parentingnya. Saya hanya melakukan dan mengusahakan apa yang saya bisa. Saya punya banyak trauma masa kecil dan butuh waktu banget untuk sembuh ketika menjadi seorang Ibu. Saat punya anak, saya hanya melakukan apa yang saya pikir baik. Memang, nggak mudah menjadi orang tua.
Ketika anak saya mulai sekolah, saya tahu dia akan bermain dengan teman-temannya yang entah siapa saja dan nggak tahu bagaimana lingkungan mereka. Otomatis, anak saya yang terbiasa di rumah, sekali waktu mungkin akan mendengar kata-kata kasar dari temannya atau hal kurang baik. Dan itu memang terjadi.
Saya mengedukasi mereka sejak dini, melalui buku yang saya tulis dan digambar sendiri. Misalnya untuk penggunaan gadget, saya informasikan kepada mereka bahwa di internet, di handphone, nggak semua isinya bagus dan nggak semua boleh dilihat. Misalnya apa saja yang nggak boleh, alasannya kenapa? Kita mesti menjabarkannya sesuai dengan usia mereka.
Anak-anak yang bicara kasar ataupun mesum bukan semata-mata karena kesalahan sekolah online di masa pandemi. Namun, karena orang tua dan lingkungan mereka. Sekolah online hanya sebagian kecilnya saja. Setuju nggak, sih?
Ketika anak-anak melakukan hal yang nggak seharusnya, yang mesti dipertanyakan bukan sekolah online-nya, melainkan orang tua dan lingkungannya. Ingat, kita sebagai orang tua adalah madrasah pertama buat mereka. Terutama di usia dini, mereka akan lebih banyak bersama kita ketimbang orang lain. Jadi, jangan serta merta menyalahkan orang atau benda-benda elektronik. Karena kalau kitanya nggak ngasih, anak kita juga nggak akan punya.
Ketika Memutuskan Sekolah Online
Saat saya memustuskan memilih sekolah online, artinya saya siap mendampingi anak-anak bahkan mungkin lebih daripada guru mereka. Terutama anak usia TK, jangan harap bisa dapat lebih banyak dari sekolah karena mereka nggak bakalan betah zoom terlalu lama. Tugas kitalah yang membantu lebih banyak.
Anak saya misalnya, sudah belajar membaca di rumah, juga belajar mengaji bersama saya. Belajar menulis pun saya usahakan selalu dilatih walau di luar jam sekolah. Meskipun dia lebih senang menggambar dan membuat komik :(
Tugas kita sebagai orang tua jadi lebih berat, ya? Tapi, memang itulah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab kita dan benar-benar berasa ketika pandemi. Anak-anak yang masuk sekolah, mereka bisa belajar shalat bersama teman-temannya dengan lebih mudah. Mengulang doa setiap hari bersama-sama sehingga hapalan menjadi lebih gampang diingat. Namun, bagaimana sekarang? Jika bukan orang tuanya, anak-anak nggak akan bisa mengejar ketertinggalan. Orang tua mesti punya waktu lebih banyak supaya bisa membantu anak-anak. Bukan hanya sekadar ngasih fasilitas berupa gadget atau laptop, tapi mereka butuh didampingi, butuh juga diedukasi karena mereka generasi pintar, beda dengan emaknya yang pegang komputer aja deg-degan…kwkwk.
Kemarin, saya sempat ngobrol dengan si sulung, dia lagi senang bikin karakter dari buku Plants vs Zombies. Dia punya banyak banget komiknya. Dia gambar karakter dari buku itu sampai jumlahnya banyak banget. Kemudian dia membuat semacam permainan dengan gambar-gambar yang telah dibuatnya.
Bunda: Dapat ide dari mana bikin permainan kayak gitu?
Kakak: Dulu kan, kita pernah lihat di rumah Mas Vero. Memang ada game-nya, Bun.
Bunda: Kenapa kamu mesti bikin? Kenapa nggak main game-nya aja? *mancing banget emaknya...kwkwk
Kakak: Kan, nggak boleh main game kata Bunda.
Bunda: Kenapa nggak minta sambil maksa? Kwkwk
Kakak: Tetap aja nggak bakalan boleh.
Jadi, dia nyari solusi dari keinginannya yang nggak bisa saya penuhi. Saya yakin, jangankan anak-anak, kita saja senang main game. Sampai-sampai banyak bapak-bapak yang kecanduan game. Apalagi mereka. Mereka juga pengin, tapi saya selalu menjelaskan alasan kenapa game itu nggak selalu baik untuk dimainkan. Alhamdulillah, mereka menerimanya. Jadi, nggak ada ceritanya kita ngumpet-ngumpet. Karena hampir nggak pernah main game, si sulung jadi kreatif banget dan senang bikin game-game sendiri.
Apakah main game itu salah? Nggak juga, kok. Saya nggak menyalahkan orang tua yang ngasih akses main game kepada anaknya. Namun, untuk anak-anak saya, kami sepakat itu nggak bagus buat mereka apalagi jika dimainkan terlalu sering. Kami sebagai orang tua pun nggak main itu.
Jadi, gimana? Sudah siap sekolah online atau malah pengin tatap muka di masa pandemi seperti sekarang? Saya pribadi masih memilih skeolah online dengan banyak sekali pertimbangan. Insyaallah, secepatnya kita bisa melepas anak-anak sekolah dengan aman, ya.
Salam hangat,
Comments