Saat menjadi orang tua, saya percaya, tanggung jawab lebih besar menanti bukan hanya soal bagaimana cara kita mendidik mereka dan mendampingi tumbuh kembangnya dengan tepat, tapi juga soal menjaga kesehatan mereka terutama di usia balita.
Ketika anak-anak masih balita, ada saja kepanikan yang saya alami terutama ketika mereka sakit. Misalnya saat si sulung berusia dua tahun, dia mulai alami demam tinggi dan kejang demam pertama kali. Panik? Tentu saja. Bahkan hampir pingsan saking paniknya. Tapi, saya bersyukur bisa mengontrol kepanikan itu dan tahu harus apa ketika kejang demam itu muncul.
Begitu juga ketika si bungsu lahir. Drama bolak balik sakit itu masih terjadi, bahkan mungkin lebih heboh. Hampir sebulan dia alami demam dengan diagnosa tidak jelas di usianya yang masih enam bulan. Bolak balik ambil darah untuk diperiksa sampai hampir putus asa saya memeriksakannya ke dokter. Hasilnya, masih nihil. Nggak tahu penyebab demamnya apa saat itu.
Saya memang panik, tapi kepanikan itu bisa diatasi karena sejak hamil anak pertama, saya memutuskan untuk menjadi calon ibu yang ‘lebih pintar’ daripada saya yang sebelumnya. Iya, keputusan untuk bergabung dalam sebuah milis kesehatan mengubah hidup saya.
Dulu, buat saya, belajar tentang kesehatan harusnya hanya buat dokter dan kalangan medis. Namun, sejak hamil anak pertama, saya memahami bahwa konsumen kesehatan pun mestinya juga mengerti dan turut belajar minimal hal-hal sederhana saja seperti tentang penyakit yang sering terjadi pada balita.
Karena banyak mendengar sharing dan penjelasan dari para dokter baik di milis, website, hingga dari buku, saya pun punya bekal menghadapi hari esok. Saat anak kejang pertama kali, saya panik, tapi saya tahu tidak semestinya meletakkan sendok ke dalam mulutnya karena itu bisa menggangu pernapasannya. Saat dia kejang pertama kali dan berulang hingga usia enam tahun, saya tidak gegabah melakukan banyak tindakan apalagi gampang rawat inap.
Sebab kejang demam sebenarnya tidak memengaruhi otak anak. Kejang demam pun tidak bisa dicegah dengan obat kejang. Obat kejang yang saya sediakan di rumah hanya dipakai saat anak mengalami kejang demam.
Pengetahuan sederhana seperti ini benar-benar sangat membantu ketika saya harus menjaga anak sendirian saat suami sedang dinas ke luar negeri selama beberapa minggu. Saya bersyukur dan sangat beryukur, tinggal jauh dari orang tua membuat saya merasa sendirian. Namun, saya bisa hidup mandiri di usia yang masih sangat muda. Menikah di usia 19 tahun dan memiliki seorang putra di usia 21 tahun. Jika dulunya saya enggan belajar, bisa jadi saya salah mengambil tindakan ketika anak sakit.
Kebanyakan dari kita sering terlalu panik ketika anak sedang sakit. Buru-buru membawanya ke dokter dengan alasan supaya lekas sehat. Padahal, lebih tepat jika dikatakan supaya orang tua lebih tenang meskipun entah apakah tindakannya sudah tepat atau tidak. Sebab, tidak semua penyakit membutuhkan obat. Tidak setiap sakit, kita mesti ke dokter.
Ada saatnya ketika anak demam cukup dirawat di rumah dengan obat penurun panas. Tapi, ada saatnya kita tidak boleh menunda sedetik pun untuk pergi ke dokter ketika terjadi tanda gawat darurat.
Kekompakan dari Orang Tua
Saya bukan orang berpendidikan tinggi. Lahir di sebuah desa kecil dan hanya mengenyam pendidikan pesantren. Ketika saya menikah dan pindah ke Jakarta, kehidupan berubah drastis. Hal paling berat terjadi ketika saya dan suami berbeda pendapat mengenai cara yang tepat menangani anak yang sedang sakit.
Dia bukan orang yang rational use of medicine (RUM). Sedikit-sedikit konsumsi obat. Padahal hanya flu. Sedikit-sedikit minum antibiotik, padahal hanya common cold. Dan itu benar-benar bertolak belakang dengan prinsip yang telah saya pelajari selama masa kehamilan anak pertama.
Saat anak kejang demam pertama kali, saya memutuskan membawanya ke dokter untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Sesampainya di UGD, dokter jaga meminta si sulung dirawat inap dengan alasan mau observasi.
Saat itu, saya tahu anak saya baik-baik saja. Dia bangun dan menangis. Dia mau minum dan tidak sedang hilang kesadaran. Saya menolak rawat inap. Namun, dokter sedikit mengancam dan menakut-nakuti. Gimana kalau penyakitnya berbahaya?
Okay, saya terima. Anak saya boleh rawat inap, tapi tanpa diinfus. Saya tidak mau dia trauma dengan rumah sakit. Dengan membolehkannya rawat inap saja, saya sudah membuka kemungkinan anak tertular sakit lebih parah selama di rumah sakit. Di sana, tempatnya virus dan bakteri, lho. Jika tidak dibutuhkan, saya tidak mau ke rumah sakit.
Dokter menertawakan penolakan saya. Karena merasa dokter kurang jelas memberikan alasannya dan berbekal pengetahuan saya selama belajar di milis kesehatan, sampai-sampai saya membawa sebuah buku yang ditulis langsung oleh seorang dokter spesialis anak, saya memutuskan batal rawat inap. Saya benar-benar mempertimbangkan, tidak asal ambil keputusan.
Saya ingat betul, suami mengatakan bahwa dia tidak bisa membantu ketika terjadi sesuatu karena besoknya harus ke luar kota. Dia melimpahkan semua keputusan besar itu kepada saya seorang diri.
Setelah menimbang dan melihat klinis anak, saya memutuskan menolak saran dari dokter dan mengatakan bertanggung jawab kepada suami saya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan nantinya.
Saya hanya minta diresepkan obat kejang untuk jaga-jaga. Karena obat ini memang wajib dimiliki jika ada riwayat kejang demam pada anak. Setelahnya, kami pulang. Apa yang terjadi? Anak saya yang selama beberapa hari demam, saat itu juga demamnya mulai reda. Dia hanya kena common cold. Hidungnya meler. Dia mau makan dan minum. Dia mulai aktif dan bermain lagi. Dia baik-baik saja!
Perbedaan pendapat antara saya dan suami terjadi hingga beberapa tahun berikutnya. Buat saya, ini berat sekali. Memang, pasti sulit buat dia menerima pendapat saya, karena saya memang bukan ahlinya. Tapi, bukan berarti semua orang tua nggak bisa mempelajari ini.
Perjalanan kami bertemu banyak dokter, baik yang RUM dan tidak, membuat pikiran suami pelan-pelan terbuka. Saya sangat berterima kasih kepada beberapa dokter spesialis anak yang RUM, menjelaskan dengan baik, sehingga kami sebagai orang tua merasa tercerahkan sekali. Kami pun bisa menangani dengan tepat saat anak sakit.
Salah satu dokter spesialis anak di Jakarta Timur pernah mengatakan kepada saya,
“Dokter kadang hanya mengikuti permintaan orang tua. Ada orang tua yang meminta obat macam-macam hingga antibiotik meskipun itu tidak diperlukan. Apa yang ibu lakukan sudah tepat. Obat demam di rumah sudah cukup.”
So, kita sebenarnya punya peran juga membantu dokter supaya tetap RUM. Saat kita memutuskan membawa anak ke dokter, tidak selalu tujuannya untuk mendapatkan obat. Bisa jadi hanya untuk konsultasi dan memastikan diagnosa.
Saat si bungsu demam hampir sebulan dengan begitu banyak tindakan yang kurang tepat dari beberapa dokter berbeda, saya merasa harus segera bertemu dengan dokter yang RUM. Selama ini, kami hanya mendatangi dokter terdekat. Menerima berbagai tindakan medis yang kurang tepat, karena saya sendiri pun kurang memahami penyebab demam si bungsu saat itu.
Setiap selesai periksa darah dan dokter menerima hasilnya, tidak ada diagnosa yang jelas. Hanya virus katanya, hasil cek darah baik. Tapi, saya mendapatkan resep antibiotik. Padahal, virus, kan nggak mempan juga sama antibiotik, ya?
Dokter lain malah meminta anak kami segera rawat inap. Celakanya, suami sependapat. Akhirnya, saya memutuskan mengajak suami pergi ke rumah sakit yang jaraknya lumayan lebih jauh dari rumah, hanya demi berkonsultasi dengan dr. Apin. Do you know who dr. Apin? Dr. Arifianto, Sp.A atau akrab disapa dr. Apin ini merupakan salah satu dokter yang ada di milis kesehatan yang saya ikuti. Saya sering berkonsultasi juga via grup waktu itu. Dan saya tahu, beliau pasti RUM.
Saat sampai di sana, beliau membaca semua hasil dari tes darah hingga urin yang dilakukan sebelumnya. Beliau menimang anak saya. Katanya, semua baik-baik aja, kok. Kami pun ngobrol hingga beliau berkata,
“Kayaknya ibu ke sini hanya demi menunjukkan pada Bapak, ya?”
Yess, dokter benar. Saya pengen suami saya sepaham dengan saya. Kalau saya yang bilang, dia pasti menolak. Karena saya memang bukan ahlinya. Tapi, saat dr. Apin yang bicara, setidaknya dia akan sulit menyangkal. Masa iya dokter salah? :D
Dan kami pun pulang dengan perasaan lega. Tanpa obat, tanpa antibiotik.
Panjang sekali perjalanan ini buat saya. Siapa yang mau anak sakit? Mestinya lekas kasih obat dong biar sehat. Logikanya seperti itu, ya? Tapi, kalau nggak tepat dan nggak bijak, itu hanya bisa melegakan kita sebagai orang tua, tapi justru memperburuk kondisi anak.
Karena Tidak Semua Penyakit Butuh Obat
Makanya, tidak setiap sakit kita mesti ke dokter dan menelan antibiotik. Orang bilang saya penganut herbal dan antidokter, padahal, saya hanya berusaha bijak menggunakan obat. Karena, meskipun namanya ‘obat’, pasti ada efek sampingnya ketika diminum. Apalagi kalau dipakai tidak sesuai kebutuhan. Benar, kan?
Saat anak sedang demam misalnya, jangan panik dan buru-buru menurunkan demamnya saja, tapi pikirkan juga penyebabnya. Demam bukan penyakit. Demam adalah alarm tubuh, menandakan sedang terjadi infeksi baik karena virus atau bakteri.
Selama ini, kita sering salah mengartikan demam. Kayaknya, demam ini musuh besar buat kita. Padahal, ia pahlawan, lho. Demam terjadi sebagai bentuk perlawanan tubuh terhadap kuman. Dalam kondisi suhu tubuh tinggi, kuman akan mudah mati.
Kesalahan lainnya, kita sering nggak RUM menangani anak demam. Karena demam terjadi selama lebih dari tiga hari, kita memberikannya antibiotik. Padahal, demam disebabkan virus bisa terjadi lebih dari 3 hari juga, tergantung imunitas anak.
Belum lagi kita hanya mengukur suhu dengan perasaan, memakaikan baju tebal, lupa memerhatikan kebutuhan cairan, hingga salah memberikan kompres dingin saat anak sedang sakit. Hmm, coba koreksi kesalahan kita dengan membaca 5 Pertolongan Pertama Saat Anak Demam.
Ada saatnya anak memang tidak membutuhkan obat sama sekali ketika sakit. Misalnya saat sedang common cold. Apalagi jika tidak disertai demam, masih aktif, mau makan dan minum seperti biasa.
Saya pikir, hal-hal mendasar seputar kesehatan anak sangat perlu dipelajari untuk kita sebagai orang tua. Dan pengetahuan ini benar-benar bisa meredam kepanikan kita saat anak sedang sakit. Panik itu boleh, tapi setidaknya kita tahu harus apa dan kapan mesti membawa anak ke dokter.
Beruntung, kita bisa belajar banyak tentang kesehatan anak, mulai dari hal sederhana seperti penanganan yang tepat saat anak demam hingga penyakit lainnya di theAsianparent Indonesia. Artikel kesehatan anak hingga pengetahuan seputar parenting bisa kita dapatkan di sini. Artikelnya persis pula dengan apa yang telah saya pelajari dan jalankan selama ini. Bahagia ada situs sebaik ini. Menjadikan kita sebagai orang tua lebih 'pintar' menghadapi kondisi-kondisi sulit dan tak terduga.
Di zaman secanggih sekarang, rasanya tidak ada alasan lagi untuk malas belajar, minimal dengan membaca artikel kesehatan yang tepat sebelum memutuskan berkunjung ke dokter. Karena menjadi orang tua belajarnya bukan hanya tentang pola asuh saja, pengetahuan dasar tentang kesehatan anak pun menjadi hal yang tidak bisa dinomorduakan.
Anak Belajar dari Orang Tua
Saya pun merasa bersyukur, karena mereka lebih banyak mengerti. Mereka juga membantu saya supaya lebih bijak menggunakan obat. Kalau anak-anak rewel dan tidak bisa ditenangkan, otomatis orang tua pun akan lebih mudah panik.
Anak-anak melihat bagaimana kita bertindak dan bersikap. Sakit memang tidak nyaman, tapi di sisi lain bisa meningkatkan imunitas mereka. Anak-anak terutama yang sudah masuk sekolah akan lebih sering mengalami episode mudah sakit. Sebab, sekolah memiliki risiko lumayan tinggi menularkan penyakit terutama common cold.
Bolak balik batuk pilek itu biasa. Apalagi, hanya sedikit dari mereka yang memedulikan kebersihan. Ketika anak-anak lain cuek bersin sembarangan saat sedang common cold, saya mengedukasi si kecil supaya selalu pakai masker saat sedang tidak enak badan. Bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah.
Ia harus lebih rajin cuci tangan supaya tidak menularkan sakitnya kepada orang lain. Dan ajaibnya, anak-anak menurut tanpa perlu dipaksa. Dia tahu, sakitnya bisa berpindah jika tidak menjaga kebersihan. Pakai masker bukan hal sulit buat mereka. Teman-temannya pun harus sehat supaya ia tidak tertular sakit kembali.
Edukasi tentang kesehatan baik tentang menjaga kebersihan dan bijak menggunakan obat perlu dilakukan sejak dini. Seharusnya ini bukan hal aneh dan langka. Seharusnya ini lebih familiar buat mereka. Jangan menunggu pandemi untuk memakai masker, sebab yang menular bukan hanya covid-19 saja. Iya, kan? :)
Sayangnya, tidak banyak orang peduli. Ketika pandemi, kita kelabakan mengedukasi. Butuh waktu untuk membiasakan diri. Bagaimana kalau anak-anak mesti masuk sekolah? Bisakah mereka tetap menjaga jarak dan menjaga kebersihan? Rasa tidak percaya pun muncul.
Betapa kita telah abai tentang ini. Padahal, menjaga kesehatan juga merupakan hal penting. Ini juga menjadi investasi jangka panjang. Anak-anak yang pintar juga butuh fisik yang tangguh. Mereka tidak hanya butuh otak cerdas untuk menyelesaikan soal-soal, tapi juga butuh sehat supaya bisa tumbuh dengan baik. Dan, edukasi mengenai kesehatan serta kebersihan mestinya dimulai dari lingkungan terkecil, yakni keluarga.
Salam hangat,
Featured image: Photo by Kelly Sikkema on Unsplash
Aku suka parno kalau si kecil panas Mba. Terutama soal pilek, seperti kemarin-kemarin itu hidungnya mampet tapi tidak meler. Pertama banyak minum air putih dan sering dikasih balsem bayi dadanya. Alhamdulillah, gak perlu ke dokter. Memang betul ya, mba. Kalau pertolongan prtamanya tepat, sakit tidak harus minum obat.
ReplyDeleteKeren banget prinsipnya mbak, masih muda banget ternyata ya. Memang kadang harus ahlinya yang berbicara baru orang lain percaya ya :) Salam sehat buat keluarga.
ReplyDeleteAku sudah 7 tahun ini menghindar dari antibiotik, tetapi kena juga pas ada operasi kuret. Untuk anak yang sakit aku gak memperkenankan antibiotik. Dari kecil aku terbiasa antibiotik, akibatnya ada bebereapa efek ke tubuhku
ReplyDeletePola pikir pada anak memang harus di tanamkan sejak dini seperti yg Mbak sampaikan, agar menjadi kebiasaan di kemudian hari, nggak ke bayang kalau orang tua kurang tepat dalam mengedukasi anak tentang kesehatan pasti nanti berabe.
ReplyDeleteMisalnya sakit sedikit minum obat itu membuat anak menjadi ketergantungan dan menurut saya obat membuat kekebalan tubuh menurun, lebih baik coba di ganti dg jamu.
Saya jadi ingat teman yang anaknya sering sakit dan bolak balik harus rawat inap. Padahal rumah sakit tempat rawat tersebut sudah dikenal masyarakat sebagai RS yang kurang efektif mengobati pasiennya.
ReplyDeleteKetika saya tanya mengapa ia mempercayakan anaknya di RS tersebut secara rutin, ia menjawab, "Saya orangnya aktif dalam mendampingi anak di RS dan aktif juga bicara ke dokter Mbak.. Kalau ada yg janggal, tidak segan saya bertanya dan mengusulkan pendapat. Alhamdulillah lancar terus kok pengobatannya."
Dari situ, saya paham kalau orang tua harus melek kesehatan juga. Jangan terlalu menyerahkan segalanya kepada dokter atau perawat. Karena orang tua lebih paham anaknya.
Lubna termasuk yg sering kejang demam mulai umur 3 tahun sampai 6 tahun. Dokter sempat heran, kenapa anak umur 6 tahun masih bisa kejang saat demam, dan bener banget, selama anak masih mau minum, berarti masih bisa diatasi (gak perlu panik). Alhamdulillah, itu kejang terakhirnya. Tapi sampai sekarang klo dia demam, aku selalu standby gak tidur untuk memastikan suhu tubuhnya gak sampai ke angka 40 derajat.
ReplyDeletesaya termasuk orang yang jarang sekali konsumsi obat mba Muyas. Sebisa mungkin kalau memang sakitnya umum seperti pilek atau batuk atau demam, saya balikin obat-obat alami alias herbal, semisal minum jahe, minum susu lebih banyak, air putih, olahraga yang cukup, konsumsi makanan bergizi dan menjaga pikiran lebih rileks. Jadi betul sekali ga semua penyakitnya harus minum obat. Mungkin hal ini saya akan terapkan juga ke anak-anak saya kelak. Mungkin karena saya lebih banyak berkutat dengan alam ya. Saya lebih memilih mengajarkan anak-anak untuk membiasakan hidup bersih dan sehat, makan banyak sayuran dan buah-buahan, olahraga cukup, tidur cukup, dan mengontrol emosi, karena emosi yang kurang baik juga berpengaruh besar terhadap kesehatan kita
ReplyDeletenah, mbak Muyas kaya ibuku, wkwkwk
ReplyDeletekalau ke dokter selalu ajak ayah biar dengerin apa yang dokter bilang, soalnya kalau ibuku yang bilang ayahku suka abadi. sepakat banget kalau nggak semua gejala penyakit butuh obat, sebisa mungkin kita minimalisir meskipun obat herbal :)
tp kayaknya saking sering sakit, aku udah kebanyakan obat, hihihi.. makanya kudu semangat ubah pola hidup sehat :D
Setuju aku juga nggak mau dikit2 minum obat kalo lagi sakit. Banyakin minum air putih dan istirahat kalo lagi gak enak badan. Dulu aku sudah kebanyakan minum obat sih waktu kecil, hu, hu...Syukurlah sekarang besarnya sehat terus.
ReplyDeleteMenjadi orangtua memang perlu kompak ya, apalagi dalam usaha pengobatan untuk anak, sehingga apa-apa perlu dipikirkan obatnya apa yang memang pas. Ini jadi bekal buat daku saat menjadi orangtua nanti
ReplyDeleteSaat kuliah saya sering depresi. Cara satu-satunya untuk menghilangkan rasa penat di kepala akibat depresi ya minum obat pereda nyeri kepala. Itu terjadi pas awal-awal kuliah. Menjelang lulus meskipun pusing juga saya sudah jarang mengonsumsi obat. Saya sadar bahwa mengonsumi obat terus-terus tak baik bagi kesehatan. Janganlah pusing dikit minum obat, flu dikit minum obat. Minum obat boleh asal rasional alias janganlah terlalu sering. Apalagi untuk mengatasi demam anak. Kita kudu rasional dan bijak dalam memberikan obat baik untuk diri sendiri mauun keluarga
ReplyDeleteIya, Mbak. Betul. Dulu pun saya pernah seenaknya minum obat..
ReplyDeleteIya, Mbak. Semangat, yaa :)
ReplyDeleteIya, Mbak. Jadi, kesannya kalau nggak minum obat nggak bakalan sembuh ya karena sudah biasa minum obat terus. Padahal, ya ada penyakit nggak perlu obat dan bisa sembuh dengan sendirinya.
ReplyDeleteAlhamdulillah, Mbak. Insya Allah gppa ya :)
ReplyDeleteSemangat, Mbak..kalau memang membutuhkan ya kudu diminum obatnya. Yang sering sy temui terutama buat anak-anak ya begitu, cuma flu batuk obatnya sekanting kresek. Kita aja yang dewasa nggak bakalan minum sebanyak itu ya.
ReplyDeleteKalau masih 6 tahun insyaallah masih wajar, Bun kejang. Dokter anak sy bilang kalau lebih dari 6 tahun masih kejang, baru periksa lebih lanjut. Alhamdulillah, insya Allah terakhir kejang 6 tahun dulu, semoga nggak akan lagi yaa. Punya anak-anak dengan riwayat kejang semua, saya pun begitu, nggak tenang dan nggak bisa tidur kalau mereka sakit. Semangat ya, Bunda imut...kwkwk
ReplyDeleteIni bener banget, Mbak. Itulah kenapa kita orang tua harus mengerti juga. Dengan begitu kita bisa membantu dokter juga untuk tetap rasional menggunakan obat. Pengalaman pernah waktu anak dirawat karena DBD dan dokter salah meresepkan obat, saya tegur lewat suster dan Alhamdulillah diganti obatnya :)
ReplyDeleteKalau butuh ya kudu diminum ya, Mbak. Yang bermasalah karena ya banyak yang nggak perlu tapi tetap dikasih..
ReplyDeleteTulisannya mencerahkan sekali Mbak. Pengen nunjukin tulisan ini ke suami biar dia paham langkah yang saya ambil dengan tidak terburu-buru memberikan anak obat bukan hal yang keliru. Pasalnya sampai saat ini juga masih sering terjadi pertentangan di antara kami kalau anak sakit.
ReplyDeleteCoba kalau masih satu daratan juga dengan tempat praktiknya Dr Apin.. biar jauh pasti bakal saya ajak suami periksa ke sana.
Betul, apalagi anak pertama, ya, jadi serba panikan. AKu ingat pas anakku usia 18 bulan dia harus rawat inap karena tubuhnya membiru, nggak bisa kentut. Semua sekeluarga tidur di rumah sakit. Hihihihi.
ReplyDeletePas dievaluasi, semua memang baik-baik saja. Kalau orang Jawa bilang sih hanya masuk angin kasep. Masuk angin yang sudah telanjur. Sehari semalam anakku sudah lincah langsung kucabut pulang, Mbak. Dan nyatanya memang masuk angin biasa.
Wah makasih kak sangat lengkap penjelasannya
ReplyDelete