Kemarin, seorang teman sempat bertanya, “Apakah Mbak pernah mengirimkan satu naskah pada lebih dari satu penerbit sekaligus?”
Jujur aja pas ditanya saya nggak nyangka obrolan selanjutnya bakal lebih jauh daripada itu. Awalnya saya pikir itu pertanyaan pribadi, maksudnya bukan sebab ada pendapat yang membolehkan kita mengirimkan satu naskah kepada beberapa penerbit sekaligus. Ternyata saya salah.
“Katanya lebih baik kita mengirimkan satu naskah pada sepuluh penerbit sekaligus. Setelah itu, misal diterima kita bisa pilih penerbit mana yang terbaik dan menolak sisanya. Jika tidak diterima, ya sudah, Alhamdulillah saja.”
Memangnya itu pendapat siapa? Karena beliau menyebut itu kata penulis senior. Lha, masa, iya? Hihi. Ternyata benar, itu kata Bang Tere Liye, Gaes...kwkwk. Mak jleb kalau beliau yang bilang lantas saya mau menyanggah macam apa lagi?
Penulis Juga Harus Punya Etika
Meski saya suka dengan karya-karya Bang Tere Liye, namun bukan berarti saya memaksakan diri untuk sependapat dengan beliau. Kelas kita juga beda, Broh. Beliau senior super, sedangkan saya? Menuju super...kwkwk. Pasti beliau punya alasan sendiri kenapa bisa sampai mengeluarkan pendapat semacam itu.
Tapi, kembali lagi, semua orang pasti akan berbeda pandangan soal ini. Begitu juga dengan saya. Saya pernah diceramahi teman editor, berkisah tentang pentingnya menarik naskah di satu penerbit meski itu jelas akhirnya ditolak atau gagal terbit dan semacamnya. Perlu ada konfirmasi dan surat penarikan resmi. Jika tidak, kita bisa kena masalah setelahnya.
Sama halnya ketika kita hendak mengirimkan naskah pada penerbit, mustahil kita menawarkan dagangan (naskah) kita pada beberapa orang sekaligus yang mana kita nggak tahu berapa orang yang bakal nerima? Rasanya kurang beretika. Kayaknya nggak sopan banget. Gimana tanggung jawab kita andai naskah itu diterima oleh beberapa penerbit sekaligus? Gimana kita mau menjelaskan? Pastinya nggak ada muka kalau saya *dedemit kali mukanya rata...haha.
Apalagi saya belum siapa-siapa, baru banget masuk ke dunia penerbitan dan mengenal beberapa editor. Mungkin setelah itu kena tinta hitam, nggak bakal dilirik meski naskah bagus karena ya itu, nggak ada sopan-sopannya saya bilang...hihi.
BTW, Gaes, sebenarnya dalam surat perjanjian atau surat kontrak dengan penerbit, saya juga menemukan poin yang membahas hal semacam ini. Di mana disebutkan bahwa penulis dilarang mengirimkan naskah yang sama pada penerbit saat sebelum atau sesudah kita menawarkan pada penerbit tersebut. Jadi, memang nggak boleh dan melanggar jika kita melakukannya. Hanya saja, saya kurang tahu apakah semua penerbit membahas ini dalam serat perjanjian atau tidak.
Menunggu ACC dari Penerbit Adalah Proses yang Harus Dijalani Oleh Penulis
Mau sehebat siapa pun, kita tetap harus menunggu dan melalui proses ini. Saya pikir, nggak ada negatifnya, kok. Biarkan saja kita belajar sabar, karena nggak ada yang instan di dunia ini. Begitu juga saat menunggu naskah setelah dikirimkan. Meski kalau kelamaan nunggu kadang nyebelin, ya? Haha. Tapi tetap saja itu adalah proses yang mesti kita jalani, nggak pake ngedumel, nggak boleh marah meski akhirnya ditolak tanpa pemberitahuan. Itu proses yang suatu saat bikin kamu tersenyum.
“O, ya. Dulu aku pernah menunggu naskah sampai bertahun-tahun, buruknya ternyata gagal terbit. Dulu aku juga pernah ditolak berkali-kali, malah setelah itu naskahku diterima berkali-kali juga. Amazing bangetlah pokoknya.”
Hal kayak gini nggak bisa kita remehkan, biarkan jadi pembelajaran. Biarkan kita tahu bahwa untuk mencapai sukses, prosesnya memang tidak mudah.
Perkenalkan Diri dan Tetap Santun Meski Naskah Ditolak
Jangan lupa perkenalkan diri kamu saat mengirimkan email serta lampiran naskah. Perkenalan singkat biasanya kita tulis langsung di badan email. Biarkan editor tahu bahwa kamu layak dapat kesempatan. Katakan kamu berharap banget bisa diterima dan sebagainya.
Saat akhirnya naskah kamu ditolak, berterima kasihlah apalagi jika editor ngasih masukan dan bilang apa yang menjadi sebab naskah kamu ditolak. Karena setelah itu kamu bisa membenahinya, kan?
Perjalanan menjadi seorang penulis itu memang tidak mudah, meski saat ini ada orang-orang tertentu yang bisa dengan mudah menulis buku karena dia punya ‘sesuatu’. Tapi, buat yang melaluinya secara normal, ya butuh kerja keras lebih daripada yang lain jika ingin berhasil.
Buat saya, meski kita pengen banget kirim naskah dan ingin diterima, bukan berarti kita bisa seenaknya. Malah justru di sinilah kita harus buktikan bahwa kita memang layak mereka beri kesempatan. Jadi, jangan rusak kepercayaan penerbit misal dengan mengirimkan pada beberapa penerbit sekaligus. Sampai sekarang meski yang bilang udah senior, saya masih belum menerima. Dan masih tetap sabar kirim naskah pada satu penerbit dulu, baru ketika jelas ditolak akan saya tawarkan pada penerbit yang lain.
Ingatlah, saat ini semua orang memang sudah pandai-pandai, Gaes. Tapi, sedikit saja yang punya adab. Jangan sampai kita menjadi orang seperti kebanyakan, namun jadilah yang sedikit, tapi mengerti sopan santun dan etika. Kamu bisa pertimbangkan mana yang mesti kamu ikuti atau tinggalkan. Saya percaya, semua penulis itu pandai dan pasti paham apa yang mesti dilakukan.
Salam hangat,
Pict: Pexels.com/Ylanite Koppens
Wah, saya belum sampai level menulis buku solo. Pengin juga sih, suatu hari nanti. Tapi saya setuju, Kak. Baiknya kita terima penolakan atau kita tarik dulu, baru pindah ke penerbit lain.
ReplyDeleteMba Muyass ini inspirasiku buat bisa produktif telurkan buku hahaha..nah iya mba aku juga pernah dapat wejangan itu kirim satu naskah ke semua penerbit tapi so far aku lebih setuju dengan pendapat mba hehehe rasanya gimana gitu yah
ReplyDeleteSemoga suatu saat bisa terwujud, ya, Mbak... :)
ReplyDeleteKwkwk...jadi malu saya tuh :D
ReplyDeleteIya, dalam surat perjanjian juga sebenarnya disebutkan poin di mana kita nggak boleh kirim naskah yang sama baik sebelum atau sesudah kita tawarkan kecuali ya emang ditolak dan kita tarik tuh naskah...
Saya, harus berdiri, acungi berjempol-jempol buat para penulis di manapun mereka berada yang rajin menelurkan buku.
ReplyDeleteSaya sendiri, baru sekali ikut antologi, itupun nggak nyangka bisa dipilih.
Kedua kalinya malah setengah dipaksa, baru mau ikut hahaha.
Saya suka menulis, tapi entah mengapa, kalau buat menulis buku, ada banyaaakk banget sejak dulu kala tulisan saja numpuk baru bab 1 doang wakakakak.
Saya lebih suka menulis di blog, entah mengapa.
Atau mungkin karena saya belum merasakan nikmatnya punya buku solo kali yak? :D
Btw lagi, kalau si Bang Tere Liye mah wajar-wajar saja kalau menurut saya.
Karena dia sudah punya nama besar, di mana karya-karyanya laku keras di manapun.
Jika udah punya modal seperti itu, kita bebas memilih, bukan lagi dipilih hehehe.
Tapi kalau saya pribadi, memang lebih memilih punya etika dengan memilih 1 dulu, kasih jeda waktu, jika nggak ada kabar atau ditolak, baru deh kirim ke penerbit lainnya :)