Bukankah hidup memang senantiasa mengajari kita supaya bisa mudah melepaskan, supaya lebih ringan mengatakan ikhlas tanpa embel-embel lain di belakangnya? Ya, hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan, bukan tentang seberapa banyak yang kita terima, tetapi tentang seberapa banyak yang bisa kita ikhlaskan, kita lepaskan, dan kita relakan.
Bukankah dunia ini hanya persinggahan dan apa yang sekarang di genggaman hanya titipan? Begitu juga tentang kematian orang-orang yang kita sayangi. Satu per satu hanya menunggu giliran. Ada yang meninggalkan, dan ada juga yang ditinggalkan.
Tahun 2009, beberapa bulan setelah menikah, saya mengalami pendarahan yang akhirnya membuat saya harus ikhlas melepaskan janin yang masih berusia beberapa bulan di dalam Rahim. Saat itu, ikhlas bagi saya mustahil diucapkan. Gimana sih rasanya pengen hamil, kemudian Allah kasih, tapi Allah ambil lagi tanpa persetujuan saya? Kok rasanya tega banget. Apalagi saat itu nggak ada kejadian aneh sebelumnya, saya nggak jatuh, saya nggak terbentur, saya baik-baik saja. Hanya saja tiba-tiba terasa mulas dan akhirnya keluar darah seperti menstruasi.
Malam saat cek ke dokter kandungan, saya masih diberi obat penguat. Masih bisa dipertahankan. Besoknya saat cek kembali, janin udah nggak utuh, lebih banyak luruh. Napas tiba-tiba sesak. Belum lagi harus menjalani tindakan kuretase. Antara serem sama sedih jadi satu. Ujung-ujungnya seperti orang linglung, aneh aja rasanya. Ibarat orang berdiri, kaki kayak nggak napak di tanah.
Saat itu, sekali lagi masih bertanya-tanya, kenapa sih harus diambil lagi? Kenapa harus keguguran, kan, saya nggak ngapa-ngapain? Salah saya apa?
Pertama kali siuman usai dikuret, saya menangis hebat. Padahal, kondisi setengah sadar. Tapi, tangis menderas begitu saja. Dalam hati menjerit tak terima. Tapi, mengingkari yang terjadi pun tak berani. Belum sembuh luka hati, komentar negatif menghampiri.
“Makannya jangan suka menunda-nunda kalau sudah menikah. Jangan melawan apa yang sudah Allah tentukan. Kamu salah sejak awal.”
Mungkin kalimat seperti itu ada benarnya. Saya khilaf sempat pengen menunda nggak hamil dulu, tapi, nggak ada niat buat melawan apa yang Allah takdirkan, sama sekali nggak ada pikiran seperti itu. Sayangnya, nasihat yang datang di waktu yang salah justru menjadi mata pisau yang mencabik ketenangan hati yang sudah dengan susah payah saya tata selama beberapa hari usai kehilangan.
Andai saya yang dulu adalah saya yang sekarang, pastilah saya buang jauh-jauh komentar semacam itu dari hidup saya. Daripada menyalahkan diri sendiri, lebih baik saya mengambil hikmah atas setiap musibah yang datang menimpa. Allah mungkin memang ingin menegur saya, saya akan perbaiki. Tapi, Allah tidak sedang menghukum saya, Allah mungkin mau saya lebih sabar. Dengan ujian seperti itu, saya belajar menjadi lebih kuat. Bisa juga, Allah ingin menggantinya dengan yang lebih baik, tapi memang bukan sekarang saatnya.
Banyak sekali kemungkinan yang terjadi. Dan untuk saat ini, saya memilih berprasangka baik kepada Allah, pemilik diri yang penuh khilaf ini. Mau sekarang atau kapan pun, milik kita akan meninggalkan kita atau sebaliknya, kita yang pergi duluan. Lantas kenapa harus berlarut-larut menangisi hal yang telah lalu? Memperbaikinya pun mustahil kita lakukan.
Dan saya hampir tak percaya, pagi tadi, saya melihat sahabat saya begitu tegar menghadapi rasa sakit bernama ‘kehilangan’. Bayinya berumus 10 bulan, beberapa minggu lalu meninggal, mendadak pula. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.
Berdamai dengan Rasa Sakit
Saat baru sampai, bahkan sebelum-sebelumnya pun saya tidak pernah berani bertanya, kenapa putranya meninggal. Saya khawatir dia bersedih mengingat kejadian menyedihkan itu. Sepertinya pertanyaan semacam itu tidak patut saya lontarkan demi menjaga hati keluarga yang ditinggalkan.
Tapi, dia memulai cerita terlebih dulu. Mengalirlah cerita menyedihkan itu. Allah, kenapa jadi saya yang menangis, sedangkan dia masih bisa menahan?
Dia mungkin sudah kehilangan, tetapi dia begitu legowo menerima itu. Wajar jika hari-hari pertama dia menangis, dia seorang ibu, dia yang mengandung dan melahirkan, kemudian apa yang dia sayangi diambil oleh pemilik-Nya, bagaimana nggak sedih?
Tapi, dia bisa berdamai dengan rasa sakit itu. Dia sudah memberikan yang terbaik, dia sempat melarikan bayinya ke rumah sakit, qadarallah memang tidak tertolong. Dia justru lega, mungkin yang demikian jauh lebih baik melihat kondisi bayinya diketahui terjadi komplikasi dari paru-paru dan ginjal. Dengan begini dia minim merasakan sakit. Ya sudah, mungkin ini sudah jalannya. Dia katakana itu dengan ringan, Masya Allah.
Kehilangan, jika dilawan akan semakin menyakitkan. Sebaliknya, ketika kita menerimanya, justru ia memberikan pembelajaran dan mengajari kita lebih kuat. Kehilangan tidak selalu negatif maknanya bagi yang mau mengambil hikmahnya.
Di dunia ini, seharusnya kita memang belajar banyak melepaskan. Supaya kita tidak terlalu lekat dengan dunia dan sadar semua yang kita punya hanya sebatas titipan saja. Semoga kita bisa memetik hikmahnya. Semoga kita bisa mengambil pelajaran berharga darinya.
Salam,
Comments