Kemarin, hastag 10 years challenge muncul di mana-mana. Ramai-ramai orang mengunggah foto sekarang dan 10 tahun silam. Ramai-ramai juga mereka yang sudah menikah posting foto berdua. Sedangkan bagi seorang jomblo, sekarang dan 10 tahun lalu apa bedanya sih kalau kenyataannya masih tanpa si dia? *eaa…haha.
Apakah saya ikut mengunggah foto juga? Nggak. Karena foto sekarang sama 10 tahun lalu sama aja. Sama-sama bulatnya…kwkwk. Belum tertarik aja ikutan mengunggah foto seperti yang lain. Tapi, selain mengunggah foto, rupanya para netizen juga cukup cerdas dan jeli, lho. Mereka yang tidak mengunggah foto juga turut mengunggah postingan menarik dengan tagar serupa. Misalnya saja, aku vs sekarang dan 10 tahun lalu sama aja dalam hal ibadah. Shalat lima waktu bacanya masih 3 surat Qul aja.
Meski terdengar lucu dan menggelikan, tetapi postingan itu benar adanya. Berapa orang dari kita yang masih seperti itu? Saya nggak akan nunjuk orang lain, saya tunjuk diri sendiri yang hapalan suratnya malah lebih sedikit daripada si sulung *tutup muka pakai teflon.
Ada banyak postingan menarik di balik tagar 10 Years Challenge itu. Tapi, apa yang akan saya ceritakan saat ini pun tak kalah menariknya*semoga. Ini tentang impian dan kerja keras. Tentang 10 tahun silam_saat saya berani bermimpi dan sekarang_ketika satu demi satu impian terwujud nyata *elap mata yang basah.
Saat masih kecil, apa impian kamu? Menjadi dokter? Polisi? Tentara atau guru? Saya ingin menjadi pelukis. Ya, itu impian saya saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kemudian setelah masuk SMP, impian itu berubah. Komikus menjadi salah satu impian masa kecil. Ya, umur segitu masih labil banget, ya. Sering baca komik dan hobi menggambar menjadi padu padan yang sangat pas sehingga impian menjadi seorang komikus pun terlintas saat itu.
Saat masuk SMA, qadarallah orang tua ingin saya masuk pesantren meski awalnya saya ingin masuk sekolah lain. Nggak ingin mengecewakan, saya pun memilih salah satu pesantren di Bululawang pada saat itu. Yup! An-Nur III menjadi salah satu pesantren yang saya pilih pada akhirnya. Adakah teman atau saudara yang dikenal saat itu? Jujur saja, nggak ada.
Jadi, waktu itu sendirian aja, sok pede padahal ya nggak banget…kwkwk. Sempat menangis saat awal-awal baru tinggal di pesantren. Teman baru dan kegiatan yang lumayan padat membuat saya pelan-pelan menikmati aktivitas menjadi seorang santri. Bangga nggak sih waktu jadi santri? Jujur saja, bangga banget karena merasa diri sudah lebih mendiri. Pisah dari orang tua bukan perkara mudah pastinya.
Apa yang membuatmu selalu ingat dan rindu pesantren?
Sebab di sana awal mula saya berani bermimpi. Bermimpi lebih serius. Impian yang benar-benar ingin terwujud. Mimpi jadi apa? Seorang penulis.
Semua orang bisa jadi menertawakan saya waktu itu, hanya saja saya mungkin kurang bisa mendengar karena merasa olok-olokan semacam itu tidak penting dimasukkan ke hati. Ya, lebih penting apa yang jadi impian saya. Lebih penting mengusahakan bagaimana supaya impian itu tidak lebur jadi abu.
Saya masih ingat betul, waktu masih di Aliyah, ada dua penulis novel islami dari Yogyakarta datang ke sana. Satu hal yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya, mendengar penulis novel sharing tentang dunia literasi secara langsung. Jangan tanya bagaimana perasaan saya saat itu, bahagia banget dan merasa impian menjadi penulis semakin wajib dan kudu tercapai. Mimpi itu meletup-letup. Nggak peduli saat itu ada laptop atau nggak. Pokoknya saya harus menulis!
Untuk jadi penulis itu nggak gampang. Zaman sekarang, bikin blog aja langsung kalau ingin tulisan dibaca oleh teman-teman. Kalau dulu, komputer hanya milik ustadz, laptop dan koneksi internet malah belum kenal…haha. Perjuangan banget kalau mau belajar menulis.
Eits, tapi saya tidak mau menyerah. Karena terbatas fasilitas, bukan berarti mustahil mencapai impian menjadi penulis. Masih ada buku tulis, maka itulah kali pertama karya saya dibaca oleh teman-teman. Kok pede banget nulis novella dan kumpulan cerpen sebanyak itu dan boleh dibaca oleh teman-teman satu kamar? Bagi saya, nggak ada alasan buat minder. Itu bukan hal memalukan meski tulisan saya lebih mirip tulisan dokter apalagi kalau sudah pegel jari. Belum lagi kalau tinta pulpennya mbleber ke mana-mana…haha.
Di pesantren, saya suka banget membaca majalah Annida atau Horison. Antri buku kemudian mencatat bagian-bagian yang perlu supaya ketika ingin membaca lagi, saya nggak bingung mencari pinjaman lagi. Asal kamu tahu, kalau ada buku baru, antriannya panjang banget, asli!
Di antara penulis cerpen yang sangat saya kagumi saat itu adalah Asma Nadia dan Afifah Afra. Cerpen-cerpennya bagus banget. Dibaca bikin merinding karena kalimat yang ditulis begitu hidup dan nyata.
Selain menulis cerpen di buku, kadang saya menulis cerpen untuk teman-teman yang kebagian tugas di mading Al-Fikri. Saya bukan anggotanya, tapi sering banget menulis di sana karena permintaan teman-teman. Dan saya senang mengerjakannya.
Dan malam itu, impian menjadi seorang penulis telah selangkah lebih dekat
Di antara rinai hujan yang berdentum di atas genteng, para santri An-Nur III ramai berkumpul di jerambah sambil menahan dingin. Saya tidak tahu persis, di antara ratusan santri yang datang, berapa orang yang serius dan antusias dengan kedatangan tamu spesial malam itu. Tapi, buat saya, malam itu menjadi begitu istimewa, bahkan sampai sekarang saya masih ingat detail kejadiannya, malam di mana hujan turun dan aliran listrik sempat padam. Serta malam di mana saya melangitkan impian.
Saya masih ingat, alm Ratna Indraswari Ibrahim datang dengan kursi roda bersama mas Ragil. Tidak hanya berdua, ternyata keduanya diajak oleh dua guru jurnalistik kami yakni ustadz Heru Edy Purwanto dan ustadz Solihin. Keduanya adalah wartawan senior yang mengabdikan hidupnya di pesantren.
Kedatangan mereka menjadi motivasi tersendiri bagi saya. Setelah malam itu berakhir, saya pun sempat menelepon alm Ratna Indraswari Ibrahim yang merupakan seorang penulis senior. Ngobrol dan tanya-tanya soal dunia literasi. Sayangnya, nggak bisa ngobrol lama. Mana enak ngobrol di telepon. Nggak menyerah sampai di situ, ketika liburan, saya sempat datang langsung ke rumah beliau. Dan disitulah saya juga mulai mengenal mas Ragil yang pada akhirnya berjasa banget mewujudkan impian saya menulis buku *elap air mata.
Saat masuk STIKK (Sekolah Tinggi Ilmu Kitab Kuning), saya diminta menulis beberapa cerpen oleh mas Ragil. Cerpen itu nggak diketik di komputer, melainkan ditulis di buku. Buat apa? Untuk antologi bersama beberapa penulis senior dari Malang.
Masya Allah, baik banget mas Ragil mau mengajak saya menulis. Padahal saat itu saya hanya remahan rengginang di dalam kaleng Khong Guan *eits sebut merek..haha. Seingat saya, buku itu akhirnya saya titipkan pada ustadz Heru. Sambil malu-malu menitipkan impian itu. Berharap semoga buku berisi cerpen itu nggak ketlisut di antara tumpukan koran…haha.
Tak sampai setahun, buku antologi pertama saya itu pun terbit. Dan inilah penampakan buku pertama saya yang terbit pada 2009 tepat setelah saya menikah dan diboyong oleh suami ke Jakarta. Nggak banyak yang tahu, kalau suami saya juga alumni An-Nur III bahkan dulu kerja jadi TU sambil sekolah…kwkwk *nggak perlu dibahas, ya…hihi.
Bertemu Asma Nadia
Tahun 2009, mencari komunitas menulis itu sangat susah. Akhirnya saya malah jarang menulis saat itu. Justru mengusir sepi selama suami ngantor dengan membuat banyak kerajinan tangan seperti menyulam atau merajut. Rasanya impian jadi penulis benar-benar sudah ditelantarkan tanpa paksa.
Tapi, rencana Allah lebih indah. Tahun 2013 saya mulai menulis kembali. Saat itu, awal mula bikin blog dan sering banget ikutan kompetisi menulis. Sekitar tahun 2014, saya berhasil memenangkan sebuah kuis yang diselenggarakan oleh Asma Nadia sehingga saya diberi hadiah untuk ikut seminar kepenulisan bersama beliau.
Mimpi apa bisa ketemu Asma Nadia, penulis favorit saya sejak zaman masih di pesantren? Nggak hanya sampai di situ, cerpen saya pun sempat dibacakan di depan para peserta seminar dan sempat ditertawakan juga. Bahkan saya ikut tertawa karena memang cerpennya ‘maksa’ minta ditertawakan…haha.
Rasanya impian jadi penulis semakin cerah aja kalau dibayangkan. Bahkan pada tahun yang sama, saya berhasil menyelesaikan satu buku. Sayangnya, saya harus menyerah dan mundur secara teratur. Hamil anak kedua membuat saya benar-benar menghilang dari dunia literasi. Dan itu adalah pilihan yang sangat buruk!
10 tahun itu bukan waktu sebentar
Meninggalkan dunia kepenulisan membuat saya amat rindu. Ternyata saya mulai merasa bahwa hobi masa lalu itu sudah jadi passion. Kalau baca buku, saya nggak akan berhenti sekadar suka dengan ceritanya, tetapi saya juga ingin menulis cerita yang serupa. Itu artinya saya belum benar-benar ikhlas mundur dari dunia kepenulisan.
Maka, pada tahun 2017, setelah merasa keadaan jauh lebih baik dan bisa diatasi, akhirnya saya pun kembali menulis dari nol lagi. Membangun blog saya dari nol. Ikut kelas-kelas menulis dan belajar bersama para senior.
Buku yang sempat saya selesaikan pada tahun 2014, rupanya gagal terbit dan baru dikabari setelah hampir 4 tahun berlalu. Itu pun karena saya menanyakannya berkali-kali. Sempat kecewa berat dan pengen nyerah. Tapi, yaudahlah, mungkin belum rezeki. Mentor menulis saya bilang, anggap saja itu jamu pahit yang menyehatkan.
Dan itu juga bukan kesalahan saya. Karena pihak agensi dan penerbit pun tak bisa menjelaskan kenapa buku itu bisa gagal terbit bahkan setelah punya nomor ISBN. Nggak mau berlarut-larut, saya pun kembali menulis sebuah buku, yakni Rahasia dalam Semangkuk Sup.
Buku pertama yang berhasil diterbitkan di penerbit indie dan menjadi awal mula saya kembali bersemangat melanjutkan impian yang sempat saya tinggalkan.
Selama 2017 hingga 2018, masya Allah, ada puluhan antologi yang terbit baik di penerbit mayor dan penerbit indie. Beberapa naskah solo pun di-acc oleh penerbit mayor dan menjadi pelecut semangat tersendiri bagi saya. Nggak mau berada pada zona nyaman, saya pun mencoba menulis artikel dan mengirimkannya ke media online. Hingga saat ini, ada seribu lebih artikel terbit dan dibaca oleh jutaan orang.
Dari hanya menulis artikel, kurang dari setahun saya berhasil mendapatkan fee hingga ribuan dollar. Kadang satu artikel bisa dihargai hampir setengah juta. Wah, itu menggiurkan banget memang. Sayangnya, melulu mengejar materi itu capek. Kata Dilan itu berat…haha. Aktivitas baru itu membuat saya jadi kurang menikmati. Memang, tidak ada yang salah jika ada orang yang menulis karena inginkan materi, seperti kata Kang Ridwan Kamil, “pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar”, tapi, saya pribadi pun menyadari, tujuan awal saya menulis bukan karena materi, tapi karena saya suka dan ingin berbagi.
Satu dua pengalaman menjadi pembelajaran. Karena aktif menulis artikel di salah satu platform, saya pun berkumpul dalam satu grup yang sama bersama Afifah Afra yang tulisannya dulu sering saya baca saat masih di pesantren. Grup khusus dengan member pilihan sebuah platform itu membuat saya sering nggak percaya dengan semua yang terjadi. Mimpi apa kamu, Muy?
Jika dulu lebih sibuk menulis artikel, sekarang lebih senang ngeblog dan menulis buku* meski masih satu bab aja dari kemarin…haha. Sebab kedua hal itu sepertinya sangat cocok bagi saya saat ini. Karena keduanya membuat saya menikmati asyiknya jadi penulis tanpa takut siapa yang akan membaca tulisan saya dan berapa fee yang akan saya dapatkan.
Tahun 2019, kabar baik pun menghampiri. Naskah yang dulu sempat gagal terbit karena alasan yang tidak jelas kini sudah dalam proses terbit di salah satu penerbit mayor. Pada akhirnya saya menarik naskah itu dan mengirimkannya ke penerbit lain. Siapa sangka, ternyata naskah saya pun di-acc.
Tahun 2018, tepatnya pada bulan September, saya pun memberanikan diri membuka Estrilook.com sebagai salah satu media yang bersedia menerima artikel penulis dan membayarnya. Saya dan tim Estrilook pun berusaha semaksimal mungkin membantu para pemula dengan membuka kelas-kelas menulis gratis. Meski nggak pantas disebut senior, tetapi saya bahagia bisa membersamai mereka, kami tumbuh bersama dan maju bersama tanpa ingin manjatuhkan.
Insya Allah saya tidak akan pernah lupa, jika dulunya saya berawal dari mana. Insya Allah saya akan mengenangnya lekat-lekat bahwa saya pernah bermimpi menjadi penulis ketika semua orang bahkan hati kecil saya menganggap itu mustahil. Insya Allah saya pun tidak akan melupakan, betapa besar jasa-jasa Kyai Qusyairi dan ustadz-ustadz di pesantren dulu.
Kyai Qusyairi pernah berkata, “Bermimpilah setinggi mungkin. Jika pun kamu jatuh dan gagal, setidaknya kamu masih ada di atas.”
Sebab kalimat itulah, hingga saat ini saya tak pernah menganggap impian setinggi apa pun mustahil buat diraih. Impian dan kerja keras itu saling bertautan. Kamu tak mungkin mendapatkan hasilnya jika sejak awal kamu nggak berani bermimpi. Impian itu menjadi 'pintu ajaib' yang akan mengantarkan semua_keinginan yang menurut orang agak konyol_menjadi kenyataan.
Luaskan hatimu, teman. Jangan pernah takut menjadi seperti orang lain, tetapi jangan pula hanya sekadar ingin tanpa usaha berarti. Sebab impian dan kerja keras itu tak terpisahkan. Allah tak peduli dengan hasil yang kita dapat, Allah hanya ingin melihat apakah kita mau berusaha atau tidak.
Buat kamu yang sekarang jadi santri dan ingin menjadi penulis, jangan pernah patah semangat hanya karena di pesantren minim fasilitas. Mimpi itu harus kamu pupuk hingga tumbuh subur. Suatu saat akan ada masanya ia akan berbuah manis dan bisa kamu nikmati. Keep strong! Impian itu sebenarnya sangat dekat dengan usahamu. Semakin kamu gigih berusaha, semakin dekat pula ia.
Salam,
Baca kisah Mbak Muyass menjemput ini bener-bener bikin saya terharu banget *duh mana tisu... inspiratif sekali, Mbak...
ReplyDeleteMasyaAllah...nah kalau tagar yang ini saya suka..saya suka .. tapi memang bulan Hal mudah mengingat 10 tahun yang lalu itu...yang pasti Karena 10 tahun yang lalu itu lah yang telah membawa Kita ke step ini ...
ReplyDeleteDu nangiiiss😭😭😭
ReplyDeleteWah...keren sekali pengalamannya di dunia penulisan.. Saya malah baru 2tahun belakangan ini menekuni dunia tulis menulis. Itu saja ga sengaja karena tiba2 pengen py blog krn sering baca blog. Masih blogger pemula,
ReplyDeletesmg bisa segera naik kelas. Trmksh sharingnya... 😍
Satu hal yg saya tangkap disini adalah , kalo ingin cita cita kamu tercapai
ReplyDeletememang harus punya proses yg panjang juga buat mencapainya , dan itu tidak mudah
mulai dari ketekutan dan semangat pantang menyerah .
ngedenger bisa dapat ribuan dolar tiap tahun buat saya juga ingin
tapi ingin saja tidak cukup , perlu adanya fokus , meski sadar perlu waktu yg tidak sebentar buat mencapai kesana
terimaksih sharenya , sungguh menginspirasi
Wah.. kalau saya masih baru mbak. Meski mengenal dunia blog ufah cukup lama mulai 2009. Tapi lebih lama vakum nya, dan sekarang mau coba lagi...
ReplyDeleteSemoga kali ini saya bisa bertahan.
Makasih, Mbak sudah berkenan membaca...
ReplyDeleteBener banget, Bubu...Makasih udah baca kisahku ini...
ReplyDeleteHaha, kamu ah, sejak menulis kayaknya bawaannya pengen nangis mulu...
ReplyDeleteMasya Allah..terima kasi, Mbak..semoga bisa terus belajar yaa
ReplyDeleteBanyak sekali ya mba perjalanan mba di dunia tulis menulis selama 10 tahun, salutt deh
ReplyDeleteMasyaAllah mba....super keren, kisah dan perjuangannya luar biasa... Semoga suatu hari nanti saya juga bisa meraih mimpi seperti mba Muy...
ReplyDeleteTetiba adacyang nyautin: "Jangan cuma ngimpi,barengi sama usaha, Mak!"
Ah sungguh aku tertampar, baru segini udah banyak 'malas' nya... 😑🙈
10 years challenge itu saya ga ikutan mbak, karna betul, masih sama aja pun muka saya bulatnya wahaha.. Mungkin nanti ikutan yang 20 years challenge aja 10 tahun kedepan *eh
ReplyDeleteSalut sama perjuangan menulis mbak di Pesantren. Wajar sekarang bisa nulis sebagus postingan ini sekarang.. Terkadang kita perlu bersyukur atas keterbatasan, karena biasanya itu yang bikin otak kreatip jalan..
wahahahaha
Masyaallah mba sangat menginspirasi, memang hobi yang dibayar itu memberikan kepuasan berkali kali lipat, semoga saya bisa tetap semangat menggeluti hobi saya :)
ReplyDeleteJadi pengen nulis tentang 10 tahun yang lalu dan sekarang. Btw...tahniah, dirimu semakin berkibar...
ReplyDeleteKisah nyatanya mb Muy buat tamparan keras nih..tak pernah putus asa dalam 10 tahun ya. Akhirnya sekarang merasakan hasilnya. Makasih mb Muy telah memberiakan ispirasi.
ReplyDeleteInspiratif sekali mba, saya banyak beajar nih bahwa untuk menjadi seorang penulis itu memang prosesnya panjang 😊
ReplyDeletetiap baca ceritanya mbak muyass itu semangat nulis langsung melejit berkali-kali lipat. bener-bener menginspirasi.
ReplyDeletesaya kok malah hitung2an ya Mbak, tahun 2009 menikah, berarti di pesantren tahun... sepertinya saya sudah jadi mahasiswa di Malang saat itu... *saya sudah tua, hihi...
ReplyDeleteKisahnya keren banget Mbak...
saya suka membaca sejak kecil, suka bikin puisi & isi diary, tapi nggak pernah terpikir untuk menjadi penulis, hehe... *belum ada 5 tahun sejak mulai merajut mimpi, hihi
Alhamdulillah ya mbak lika liku kehidupan dan akhirnya semua usaha terbayar sudah jadi penulis ya.. Dlu majalah fav saya Juga Annida sukaaaaa banget. Sayangnya habis itu majalah fisiknua ga terbif dan cuma versi websitenya aja
ReplyDeleteMasya Allah, Mbak. Kerennya sampean :)
ReplyDeleteSudah berani bermimpi sejak di pesantren dan akhirnya (mungkin) semua sudah menjadi nyata. Baarakallah, nggih. An-Nuur III pasti bangga :)
Seneng bisa kenal Mbak Muyass walopun masih di dumay aja. Moga bisa kopdar pas mudik ke Malang, ya. Nanti saya minta tanda tangannya :)
Ya Allah mbak... Masya Allah. Kisah yang memotivasi. Nggak nyangka temen seangkatan di SP ini telah memulai jauh sebelumnya. Barakallah Mbak Muyass. Teruslah berbagi dan mengejar impian. Semoga sukses selalu🤗🤗
ReplyDeleteinspirasi baru bagi saya dalam dunia literasi, mbak Muyazz benar-benar pejuang tangguh ya ...
ReplyDeleteSubhanallah, sukses selalu ya mbak ...
ReplyDeleteInspiratif banget kisah hidup mb Muyass saat ingin jadi penulis. Berliku dan tak.menyersh pada keadaan. Salut dan thx untuk sharingnya. Sukses ya mb Muyass
ReplyDeleteSama2 mbak. Emang saya selalu suka baca tulisannya mbak Muyas😊
ReplyDeletesetuju mbak dengan statement "Pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar" hehehehe
ReplyDeleteMaasyaaAllah mbak muyas keren bisa baca kitab kuning ya...
ReplyDeleteBr tau klu mbk muyas juga anak santri..
MaasyaaAllah..
Pengalaman nya sangat menginspirasi..
MaasyaaAllah mbak muyas keren bisa baca kitab kuning ya...
ReplyDeleteBr tau klu mbk muyas juga anak santri..
MaasyaaAllah..
Pengalaman nya sangat menginspirasi..
Buru-buru ngambil tisu mba Muy. Sku terharu banget-banget sama kisah perjuangan menulis mba, pernah ada d suatu momen untuk selesai dengan ini. Tapi saya suka dan betah berlama-lama menulis, saya urungkan dan ketika membaca ini pun saya semakin merefleksikan perjuangan saya belum sampai berdarah-darah
ReplyDeleteSama-sama, betul sekali, kalau nggk fokus, semua akan berantakan..
ReplyDeleteSemoga bisa konsisten yaa...
ReplyDeleteIya, Mbak... :)
ReplyDeleteMasya Allah, terima kasih...
Masya Allah..semoga terwujud ya mbak...haha, usaha harus seimbang sama mimpi memang...
ReplyDeleteHaha, iyaa...jadi kreatif karena nyari jalan bukan alasan yaa..
ReplyDeleteAamiin, semangat, Mbak...
ReplyDeleteHihi, semoga bisa segera mewujudkannya ya
ReplyDeleteTerima kasih, Bun..ayo tulis bun.. :D
ReplyDeleteMasya Allah...sama-sama, Mbak :)
ReplyDeleteBetul sekali, proses jika ingin terwujud memang mahal...
ReplyDeleteAamiin, semoga trus semangat ya mbak...
ReplyDeleteTahun 2005 kayaknya saya masuk pesantren mbak..nikah dini saya kwkwk...
ReplyDeleteIya, sayang sekali, ya Mbak..padahal itu keren banget...
ReplyDeleteAamiin, insya Allah mbak..nanti cipika cipiki yaa :) Tapi, adanya cap jempol lho..hehe
ReplyDeleteAamiin, terima kasih banyak mbak..:)
ReplyDeleteMasya Allah, semangat terus mbak
ReplyDeleteAamiin, terima kasih.. :)
ReplyDeleteSama-sama, Mbak... :)
ReplyDeleteHaha iya Mbak ..kerja yang menyenangkan memang
ReplyDeleteMasya Allah, terima kasih, Mbak...
ReplyDeleteSemangat terus, Mbak..insya Allah bisa terwujud impiannya..
ReplyDelete