Photo on Unsplash |
Rayna
“Kenapa aku harus jatuh hati padamu di saat bersamaan aku mulai mengenal-Nya?”
Ini hari pertama aku tiba di pesantren yang menurut Bokap, ini adalah tempat paling baik buat bocah urakan seperti aku. Namaku Rayna. Kamu bisa bayangkan, anak paling populer di SMA Negeri 1 Jakarta harus dipaksa pindah ke pesantren yang letaknya pun jauh banget dari sudut kota. Ini bukan lagi Jakarta di mana kamu bisa nongkrong dengan santai di kafe favorit kamu. Ini pesantren yang letaknya di pelosok, bahkan bisa jadi nggak banyak makhluk bumi yang tahu keberadaannya.
Aku datang dengan menenteng tas jinjing berisi segala keperluan. Semalam aku sudah mengemasi barang-barang, termasuk smartphone juga sih. Tapi, apa kata Bokap?
“Ngapain ke pesantren bawa smartphone? Kamu mau belajar agama apa main game?”
What? Jadi nanti di pesantren aku ngapain aja nih? Nggak ada musik, nggak ada smartphone juga? Apa kabar teman-temanku di Jakarta yang sedang asyik nongkrong di kafe setiap weekend. Aku sedih banget! Dan juga kesal pada Bokap. Ngapain sih bawa aku ke pesantren? Toh di kota aku nggak nakal-nakal amat. Nggak pernah minum alkohol, nggak juga ke diskotek setiap malam Minggu. Nggak pernah! Aku tahu cara menjaga diri, nggak sembarangan juga jalan sama cowok. Hanya karena kemarin aku bolos tiga hari karena mengikuti keinginan Rachel nginep di Puncak, dan oke aku bohong sih sama Bokap dan bilang kami ada kegiatan dari sekolah. Dan ujung-ujungnya saat Bokap tahu, tanpa tanya ini dan itu, Bokap langsung bawa aku ke sini.
Rasanya asing banget! Bokap masih mengurus pendaftaranku di pesantren sekaligus aku harus pindah sekolah juga. Menurut informasi yang aku dapat dari Bokap waktu di perjalanan barusan, sekolah formal di sini ternyata nggak beda jauh dengan sekolah di kota. Bedanya cuma satu, cowok sekolahnya pagi, sedangkan cewek masuk sekolah formalnya siang hari. Ya, buat aku nggak masalah sih. Selama ini aku juga nggak terlalu peduli kalau soal itu.
“Jadi, jangan harap kamu bisa naksir apalagi pacaran di sini, ya. Nggak ada kesempatan buat melirik cowok, Ray! Kamu harus fokus belajar agama di sini.” Tegur Nyokap.
Tapi, aku nggak bisa terima juga sih, “Kalau nggak ada cowok, ustadznya juga boleh sih, Mah.”
Sontak Nyokap melotot sambil meninggalkan bekas cubitan berupa lebam membiru di lenganku. Ish, aku hanya bercanda, kenapa harus dibuat serius, sih. Lagian sejak kapan aku jatuh hati sama seseorang? Perasaan nggak pernah. Eh, pernah sih waktu masih SMP, cinta monyet. Itu juga aku diam-diam aja sukanya nggak pernah mengutarakan secara terang-terangan pada kakak kelasku. Duh, apa kabar Nyokap kok nggak tahu anaknya seperti apa selama ini?
Dan setelah sampai di sini, aku memerhatikan banyak hal, termasuk gedung sekolah yang berdiri tidak jauh dari kantor pesantren, santri-santri yang kayaknya seusiaku atau malah yang lebih kecil juga lebih banyak. Miris banget! Ngapain masih kecil sudah masuk pesantren? Pasti mereka bakalan kehilangan masa-masa menyenangkan saat masih remaja. Seperti aku yang merasa tiba-tiba dirampas kebebasanku ketika masuk ke penjara ini. Ya, ya. Penjara suci, tapi nggak gini-gini amat sih.
Eits, nggak lama Bokap sudah selesai mengurus semua administrasi dan mengurus keperluanku. Sambil masih kerepotan membenahi jilbab instan yang baru saja kupakai hari ini, sembari kesulitan melangkah karena tiba-tiba harus memakai rok yang super feminim dan nggak banget. Oke, ini hari paling menyebalkan yang pernah ada dalam hidupku. Sebenarnya aku tuh nggak salah apa-apa kok. Di puncak kemarin pun aku nggak ngapa-ngapain selain hanya tidur, makan, dan jalan sama yang lain. Kenapa aku harus dapat hukuman sekejam ini sih, Tuhan?
“Ray! Bengog aja! Tuh kamar kamu.” Celetuk Nyokap sambil mencubit lenganku, lagi.
“Mah, aku pulang aja deh. Beneran, Rayna janji deh nggak akan macam-macam di rumah. Rayna nggak pengen tinggal jauh dari Mamah sama Papah. Rayna pengen pulang aja, Mah. Sita aja deh fasilitas punya Rayna, Ray nggak butuh. Pliss, Mah. Ray pengen pulang aja dan tidur di kasur Ray yang empuk itu. Janji deh nggak akan ke puncak lagi tanpa izin. Mah, pliss!”
“Telat! Kita sudah sampai di sini, ngapain kamu pulang? Mending kamu coba aja deh tinggal di sini, perbaiki salat kamu, ngaji kamu, dan satu lagi, sikap kamu sama orang tua. Jangan cengengesan aja, Ray. Malu!” bisik Mamah tanpa ampun.
Dan ketika kaki kananku melangkah ke dalam kamar berukuran 6x4 itu, mataku memicing dan membayangkan banyak hal mengerikan. What? Kamar sesempit ini harus dihuni oleh 25 orang? Nggak salah, Ray? Terus aku harus tidur di sebalah mana? Kasur-kasur berbaris saling tindih, bahkan tampak nggak terurus. Ih, beneran aku pengen banget kabur kalau nggak ingat sebagai anak itu nggak boleh membangkang sama orang tua.
Baiklah, aku mengalah. Mamah bilang minimal enam bulan aku bisa betah di sini, setelah itu aku boleh memilih, akan melanjutkan atau keluar saja. Tapi, aku jadi berpikir ulang, enam bulan kalau tinggal di rumah sendiri dan bisa keluyuran ke sana kemari sih pasti rasanya cepat banget berlalu. Lha ini kan di tempat berbeda. Penjara, Ray! Penjara gitu. Apa kabar aku selama enam bulan ke depan?
Aku merengek mengajak Nyokap segera keluar, pengen banget lari dan masuk mobil terus ninggalin Bokap dan Nyokap. Sekalian aja mereka yang menginap di pesantren. Kenapa harus aku? Tapi urung.
Tiba-tiba mataku basah. Nggak tahu harus ngomong apa. Nyokap memelukku erat. Rasanya berat banget, nggak pernah Nyokap mendekapku seerat ini. Nggak pernah Nyokap mengusap kepalaku seperti ini. Aku menangis bukan karena aku takut ditinggal mereka pergi atau aku nggak bisa lagi tidur di kamarku yang dingin dan kasurku yang empuk, aku hanya sedih kenapa tiba-tiba aku merasa sayang banget sama Nyokap dan merasa bersalah karena selama ini belum bisa membahagiakan mereka. Sebenarnya, semua yang Bokap dan Nyokap lakuin semata-mata demi kebaikanku. Nggak ada keinginan lebih.
“Udah, Ray. Mama tinggal dulu, ya. Bulan depan Mama datang lagi untuk menjenguk kamu.” Ucap Mama sambil mengusap matanya yang ikut basah.
“Mah, Ray janji bakalan jadi anak yang baik dan penurut. Maafkan Ray udah ngecewain Mamah selama ini. Ray memang nggak bisa nyenengin Mamah sama Papah.”
“Kamu ngomong apa sih. Selama ini kamu sudah melakukan yang terbaik kok.”
“Terus ngapain Ray dibawa ke sini kalau Ray udah jadi anak baik? Apa nggak ada tempat yang lebih layak apa?” Protesku, sewot lagi.
“Hush! Diem kamu. Nanti didenger yang lain nggak enak, Ray. Ini tempat yang tepat buat kamu. Kalau di kota, kapan kamu sempat ngaji?”
“Oke. Ray bakal buktiin kalau Ray bisa jadi anak yang membanggakan buat Mamah dan Papah.” Jawabku penuh yakin.
Setelah memperkenalkan diri kepada semua penghuni kamar baruku, Mamah segera keluar dan menyusul Bapak yang sudah menunggu di mobil. Aku nggak sempat mengantar, segera sibuk dengan teman-teman baruku yang ternyata, nggak terlalu buruk juga kok.
Ah, ini hari pertamaku di pesantren. Aku nggak akan lupa gimana dan kenapa aku bisa sampai ke sini. Selamanya akan aku ingat, dan kalau bisa, aku harus segera keluar sih dari sini. Tapi, Ray, barusan aja kamu baru bilang kalau kamu bakalan jadi anak baik? Itu artinya kamu harus tetap di sini dong. OMG! Rasanya aku pengen pingsan aja deh kalau ingat…hiks.
****
Gus Arif
“Butuh waktu lama untuk mengenal siapa dia dan kenapa dia bisa masuk ke dalam rongga hatiku.”
Hari ini ada murid baru. Karena Abah tidak ada di rumah, terpaksa aku yang menemui orang tuanya. Rupanya tamu dari Jakarta. Aku tahu, setelah mendengar cerita dari ayahnya, gadis yang masih SMA dan bernama Rayna itu bukan anak sembarangan. Ya, dia cerdas dan pintar. Selalu juara dan sangat populer di sekolahnya. Sayangnya, ayahnya sungguh tak ingin Rayna salah dalam bergaul, hingga dengan alasan yang tak masuk akal pun, dia harus dibawa ke pesantren ini supaya bisa belajar agama.
Sepintas aku sempat melihat dia menyeret tas jinjingnya dengan malas. Aku tersenyum. Senyum yang tiba-tiba saja menyungging tanpa persetujuan sebelumnya. Seperti santri baru pada umumnya, dia pun terlihat malas-malasan untuk menuju kamar di mana dia akan tinggal lebih lama di sini.
Aku membayangkan bagaimana nanti dia bertahan di sini? Sedangkan kehidupannya di Jakarta cukup mewah dan semua fasilitas pun ada. Di sini, jangankan mendengarkan musik dan bermain smartphone, menghubungi orang tua sering-sering saja sangat dilarang. Kenapa? Karena itu membuat para santri ingin pulang dan tidak betah di pesantren.
Mungkin Rayna berbeda, entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa ada padanya. Tak perlu dipikirkan, Gus. Kamu harus mengajar santri putra pagi ini. Murid-muridmu sudah menunggu sejak tadi.
Aku terperangah dan segera beranjak, mengambil sepeda dan mengendarainya menuju pesantren putra. Hari ini aku harus mengajar di dua kelas. Jangan sampai aku terlambat hanya karena memikirkan santri baru itu.
Bersambung….
Salam,
Lhah, bersambung. Next nya kapan, Mbak Author? Aq tunggu😍 berasa balik ke dunia pesantren. Hihi
ReplyDeleteYay...cerpen pertama mbak Muyass di tahun ini, saya bener2 enjoy...:f
ReplyDeleteDitungguin sambungannya yaaa...:7
Yaaahhh... bersambung.
ReplyDeleteDinanti kelanjutannya bun😍
Terima kasih sudah membaca kisah Rayna dan Gus Arif, Mbak...Semoga bisa segera dilanjutin nih..hihi
ReplyDeleteIsh, tahu aja, Mbak ini cerpen pertama tahun ini. Terima kasih banyak, Mbak sudah membaca... :)
ReplyDeleteHihi, iya, Mbak..ini cerbung biar panjang... :D
ReplyDelete