Siapa sih yang tidak mau punya buku solo? Bahkan satu buku saja seumur hidup itu sudah lebih dari cukup. Saya pun, saat baru mulai meniti karier di dunia literasi, rasanya punya buku solo itu serba mustahil dan sulit. Impian punya buku solo rasanya hanya milik mereka yang sudah cemerlang dan tenar. Sedangkan saya? Bahkan menulis cerpen saja masih belepotan.
Tapi, ternyata anggapan seperti itu tidaklah benar. Meskipun buat memulainya tidaklah mudah, tetapi siapa pun yang berniat dan berusaha pastinya bisa banget punya buku solo. Terutama saat ini banyak banget penerbit mayor dan indie yang ramah buat para penulis pemula.
Waktu masih di pesantren, dengan hanya menulis di buku, saya berhasil menyelesaikan beberapa novela dan kumpulan cerpen. Cerita ini sering saya ulang karena saya mau menunjukkan, ini, lho saya yang dulu, yang nggak punya fasilitas cukup, tetap bisa menyelesaikan beberapa buku hanya bermodalkan buku tulis dan pena. Dan sekarang? Teman-teman bahkan punya lebih dari apa yang saya punya. Terutama sekarang akses internet bisa sangat membantu, kelas-kelas menulis online bisa diikuti dengan mudah baik yang berbayar mapun yang free, dan lagi, banyak komunitas menulis yang bisa menjaga nyala dalam hati kita, supaya impian itu tetap hangat dan segera menemui jalannya.
Rasanya malu kalau sekarang saya malas-malasan, betapa impian bertahun-tahun lalu begitu sulit saya capai, tetapi tak sedikit pun saya ingin menyerah. Sekarang saya sudah punya laptop buat menulis, akses internet begitu mudah dan membantu, tapi kadang saya masih malas buat memulai, rasanya malu banget pada ‘saya’ sepuluh tahun silam. Menulis tema ini serasa menampar diri sendiri. Duh, malu banget.
Belakangan banyak sekali penulis yang ingin mewujudkan impian menulis buku solo. Senang mendengar dan ikut mendoakan semoga mimpi itu segera terwujud dengan izin Allah. Dan kira-kira apa saja yang perlu kita lakukan supaya bisa merampungkan sebuah buku?
Tentukan Ide dan Carilah Referensi Sebanyak-banyaknya
Saat akan menggarap sebuah novel, Tere Liye mengatakan dia butuh waktu lebih banyak untuk mengumpulkan referensi ketimbang saat menulis naskahnya. Dan itu memang benar sekali. Jika ide sudah ditentukan, dan referensi sudah kamu dapat sebanyak-banyaknya, kamu akan lebih mudah menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Referensi bisa kamu dapatkan dari mana saja, buku, obrolan dengan teman lama, dari internet, film, dan banyak sekali sumber lain yang bisa kamu ulik. Jadi, jangan malas mencari sumber atau referensi, ya. Cari sebanyak yang kamu bisa, jangan malas dan cobalah kumpulkan apa pun yang kamu temukan untuk bahan tulisanmu nanti.
Buatlah Outline dari Naskah yang Akan Kamu Kerjakan
Outline itu apa? Rancangan. Jika kamu mau membuat sebuah buku, cobalah tentukan ide dan tema apa yang akan ditulis. Setelah ide itu matang dan telah mencari referensi cukup, maka saatnya kamu membuat outline supaya naskahmu bisa dikerjakan dengan lebih mudah dan nggak berantakan.
Outline itu penting dan akan sangat membantu, lho. Jadi, sebaiknya buat saja oulitne ini. Bikinnya gimana? Buatkan mulai dari bab pertama, kemudian berikan sub judul pada masing-masing bab. Begitu seterusnya sampai bab terakhir. Itu jika bukumu termasuk nonfiksi. Jika fiksi? Buatlah bab per bab juga dengan jalan cerita sesuai keinginan kamu. Jika kumpulan cerita anak? Sebaiknya kumpulkan cerita per tema, misalnya khusus dongeng fabel atau yang lainnya.
Buat Jadwal dan Terget Harian
Setelah outline kamu selesai, saatnya kamu mengerjakan naskah kamu. Buatlah jadwal harian, berapa bab bisa kamu kerjakan dalam sehari? Jika kamu sanggup menyelesaikan satu bab per hari, berarti dalam sebulan kamu bisa menyelesaikan 30 bab. Wah, keren banget, ‘kan?
Jadi, sebaiknya kamu perhitungkan jangan terlalu memaksa, karena aktivitas lainnya pun harus tetap berjalan. Hidupmu bukan hanya sekadar tentang buku solo saja. Ada cucian menumpuk, ada setrikaan menjulang, duh jadi ingat kerjaan saya belum beres…hihi.
Satu bab dalam sehari itu sudah lebih daripada cukup. Yang masalah jika kamu sama sekali nggak mau memulai, tetapi pengen punya buku. Itu masalah banget. Jika sudah ketahuan dalam sehari berapa bab yang bisa kamu selesaikan, berarti kamu juga akan tahu, kapan buku solomu bakalan rampung. Bisa sebulan, dua bulan, atau lebih.
Berikan Hukuman Jika Kamu Melanggar
Jika dalam sehari kamu harus menyelesaikan satu bab, kemudian kamu tidak menepati, baik karena malas ataupun karena alasan lain yang tidak bisa ditinggalkan, maka hari berikutnya kamu harus membayar itu. Itu hukuman buat kamu karena kamu telah melanggar targetmu sendiri.
Memangnya harus, ya? Harus dong kalau kamu mau bukumu beres dan beneran jadi. Itu selalu saya lakukan setiap membuat buku. Ketika membuat buku tanpa bimbingan orang lain, maka kita sendirilah yang harus pandai-pandai menjaga komitmen itu. Kalau ada yang mengingatkan mungkin bakalan lebih mudah, tapi kalau hanya kita saja yang tahu? Satu-satunya jalan ya kita sendirilah yang harus belajar menepati dan menghukum diri sendiri jika melanggar.
Konsisten Itu Tidak Mudah, Tetapi Bukan Tidak Mungkin
Jangankan untuk membuat buku solo, untuk belajar menulis saja kita harus konsisten sejak awal. Harus menulis setiap hari itu keharusan banget buat penulis, menurut saya. Kalau lama nggak nulis, keahlian itu bakalan memudar, bikin malas, jadi bosan, susah semangat, dan banyak hal negatif yang bakal menghinggapi.
Karena itulah, konsisten itu amat sangat diperlukan. Kalau kamu konsisten mengerjakan satu bab setiap hari dan membayarnya ketika terpaksa tidak mengerjakan, maka bukumu bakalan lahir dalam waktu yang tepat seperti yang sudah kamu tentukan. Kalau kamu nggak konsisten, bisa jadi waktu setahun pun nggak akan pernah cukup buat kamu menyelesaikan buku itu. Jadi, konsisten dan komitmen itu wajib banget hukumnya.
Jangan Malas Mengedit Naskahmu Sendiri
Setelah naskah kamu selesai, cobalah tinggalkan sebentar. Lupakan dulu naskah itu, seminggu kemudian kamu bisa mengedit dan membacanya kembali. Setelah mengendapkan naskah, kamu bisa menemukan kesalahanmu dengan lebih mudah.
Meski terkesan remeh, tetapi hal ini cukup penting. Jadi, jangan terburu-buru, endapkan dulu naskahmu sebelum mengeditnya. Setelah itu, kamu edit sebisamu dan semampumu. Kenapa harus diedit, bukannya penerbit juga punya editor yang nantinya akan mengedit naskah kita?
Ada beberapa orang beranggapan seperti itu. Tapi, berbeda dengan saya. Editor itu kerjaannya nggak sedikit. Dan tahukah kamu berapa jumlah naskah yang masuk ke penerbit? Pasti banyak banget. Kalau kamu mengirimkan tulisanmu yang acak-acakan itu pada penerbit, kira-kira sanggup nggak sih bersaing dengan naskah lain yang lebih rapi? Kalau saya pribadi akan menjawab tidak.
Sejak membangun Estrilook dan mulai me-review artikel teman-teman, saya jadi lebih peka dan mengerti, betapa beratnya tugas seorang editor. Pantas saja editor Estrilook sering ngeluh kalau kebagian naskah dari penerbit yang cukup berantakan, karena bikin pusing banget. So, ada baiknya kamu memperbaiki tulisanmu sebaik mungkin sebelum memutuskan mengirimkannya pada penerbit baik indie ataupun mayor.
Biarkan Naskahmu Mencari Jodohnya
Jodoh itu adalah sebuah misteri. Sudah ditentukan, tetapi susah banget ditebak oleh manusia. Begitu juga dengan jodoh naskah kita. Saya, punya naskah yang berhasil saya rampungkan tahun 2014. Naskah itu sudah masuk antrian cetak dan sudah ber-ISBN. Sebulan, dua bulan, naskah itu tak kunjung ada kabar. Setahun kemudian, tetap saja tak ada kemajuan. Dan akhirnya saya mencoba mengikhlaskan.
Tahun 2017, saya kembali menanyakannya pada salah satu penulis senior yang bertanggung jawab menerima naskah itu. Kamu tahu apa katanya? Naskah itu gagal terbit dan dia tak pernah berusaha mengabari saya. Sakit? Luka? Mungkin jika rasanya seperti sakit fisik, ngilu dan perihnya seperti luka yang dikucuri air jeruk nipis dan ditaburi garam. Naskah pertama saya, impian terbesar saya gagal terbit setelah bertahun-tahun menunggu.
Kemudian saya biarkan. Saya kembali menulis naskah baru. Satu buku solo berhasil lahir dan terbit indie. Kemudian menyusul buku solo berikutnya yang dipinang oleh penerbit mayor. Kemudian terpikir untuk mengirimkan naskah lama yang gagal terbit ke penerbit lain. Dan tahukah kamu? Dua bulan setelah mengirimkan naskah, ternyata naskah itu di-acc dan sedang dalam proses editing saat ini. Saat menerima kabar itu, saya menangis dan rasanya hampir tak percaya. Dua hari yang lalu menyusul kabar bahagia lagi, naskah nonfiksi saya kembali lolos seleksi dan akan diterbitkan. Padahal awalnya akan saya terbitkan sendiri karena merasa naskah itu tak pantas terbit di penerbit lain, nggak pede aja. Tapi, editor Estrilook lebih maksa, dia suruh kirim ke penerbit lain. Dan Alhamdulillah, karena Allah buku itu lolos seleksi.
Dan seperti itulah perjalanan mencari jodoh dari naskah kita. Jika kamu sudah berhasil merampungkan, kamu kirim ke penerbit yang sesuai dengan naskah kamu, kemudian jangan pernah berpikir untuk menunggunya apalagi menanyakannya ke penerbit. Biarkan saja dia mencari jodohnya sendiri. Jika dalam 3-4 bulan belum ada kabar, kamu bisa kirmkan surat penarikan dan kirimkan kembali naskahmu pada penerbit lain. Selama menunggu, kamu harus menulis lagi di sela kesibukanmu yang lain. Dan jangan lupa, banyakin doanya, banyakin sedekahnya sambil menunggu bukumu di-acc.
Berat nggak sih ceritanya? Apakah cukup memotivasi atau justru bikin kamu jadi takut? Hihi. Jangan pernah takut bermimpi, bermimpi itu gratis, tapi buat mewujudkannya memang kamu harus membayarnya dengan proses yang kadang tidak selalu mudah, tetapi itu tak pernah mustahil.
Semoga cerita ini bisa membuat kamu lebih semangat dan percaya diri, setelah ini buku solomu akan rampung dan berbaris rapi di rak toko buku kesayangan kamu. Senang banget kalau bisa melihat buku sendiri dipajang di sana.
Jika kamu telah berhasil menyelesaikan naskahmu, kasih hadiah dong buat diri kamu sendiri. Kalau saya? Saya membeli dua buku Tere Liye, ‘Pergi’ dan ‘Pulang’. Itu hadiah karena saya berhasil menyelesaikan sebuah buku beberapa bulan lalu. Dan sekarang, insya Allah akan memulai outline baru. Kamu bisa memberikan hadiah berupa apa pun pada dirimu sendiri.
Yuk, ah semangat. Ngapain sih malu-malu bermimpi, toh kita tidak sedang mencuri hak orang lain, kita sedang membangun rumah kita sendiri, impian yang bakal bikin senyummu semanis gula batu…hihi. Selamat berjuang!
Saya juga pengen punya buku solo, Mbak. Tapi belum PD, nulis artikel pendek2 dulu, siapa tahu nanti bisa dibukukan. Hehehe...
ReplyDeletememulai itu memang yang paling sulit. Padahal, kalau sudah memulai, kadang saya sulit berhenti. hehe
ReplyDeleteBabat kemalasan... Masyaalloh memang kudu nih... Duh malu
ReplyDeletesaya belum kepikiran nulis buku mbak, fokus berlatih nulis dulu di blog hehehe...
ReplyDeleteSaya bikin artikel dulu yang bagus-bagus, baru bikin buku.
ReplyDeleteSaya dulu, dari kecil dari belum bisa nulis udah pengen banget jadi penulis. Setelah beranjak dewasa dan bekerja kok jadi lupa dan tulisannya mbak muyas bikin semangat saya langsung boom....
ReplyDeleteMeroket tiba-tiba...
Makasih mbak....ngebet mau nulis lagi nih.😊😊
makasih sharingnya
ReplyDeleteSetuju mbak, utk memulai sesuatu yg baru merupakan salah satu hal yg tersulit.
ReplyDeleteTerimakasih mbak Muyasaroh. Tulisannya sangat menginspirasi.Konsisten dan mengumpulkan referensi ini masih susah...
ReplyDeleteSudah ke abad rasanya enggak main ke sini hihihi
ReplyDeletePa kabar Mbak Muyass
dirimu ya..bener, batrenya apa...juaraaa semangatnya. Semoga makin sukses dengan kegiatannya ya
Dan..semoga saya bisa mengikuti jejaknya bisa nulis buku solo juga:)
Ciri khas kalimatnya mba Muy itu ada lucunya, legitnya, gemesinnya, mirippp banget kayak wajahnya Dhigda 😍
ReplyDeletepingin jadinya menerbitkan buku, tapi kapan ya?
ReplyDeletehehehe
konsisten itu tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin
ReplyDeleteini nih...bener banget..
Saya juga pengen bikin buku tentang bahasa jepang mba..
ReplyDeleteDuuuhhh tapi stop ditengah jalan...
Saya pusing ngatur waktunya plus ngelawan malasnya juga sih. Salut bgt yang bisa nerbitin bukunya sendiri.
Saya juga pengen lanjut nulis lagi...
wah. wah.. selamat ya mba..
ReplyDeletemembuat buku bagi saya tidak pernah ada dalam pikiran. boro-boro punya buku sendiri, tesis saya aja belom rampung sampai sekarang. ckckckck... semangat buat saya.. :)
Iya, Mbak..semangat, Mbak... :)
ReplyDeleteBetul, Mbak...kalau udah dimulai susah mah berhenti.. :D
ReplyDeleteKudu bun..kudu :D
ReplyDeleteHehe, tulisannya udah banyak bisa mulai nulis buku mas :D
ReplyDeleteSemoga lekas tercapai yaa mbak... :)
ReplyDeleteSama-sama, Mbak..semoga lekas tercapai mimpinya yaa
ReplyDeleteSama-sama, Bunda
ReplyDeleteSama-sama, Mbak..semangat yuk
ReplyDeleteHai, Mbaak...Terima kasih masya Allah..aamiin. Mbak Dian lebih kereen dan pasti bisa segera punya buku solo :)
ReplyDeleteHihi..ini napa bawa-bawa anak yess :D
ReplyDeleteKapan hayooo
ReplyDeleteBetul, Mbak
ReplyDeleteLanjutin yuk mbaak..
ReplyDeleteHaha, semangat, Mas :D
ReplyDelete