Ziyad mungkin saja tidak menyadari, sejak obrolan tanpa sengaja dengan Raifa, gadis berparas manis itu pun sempat merasa gugup setiap kembali ke rumah yang sama.
Mungkin lelaki yang sempat salah tingkah di hadapannya telah membuat perubahan besar. Sepanjang jalan pulang, Raifa tak henti-hentinya tersenyum mengingat kejadian itu. Banyak hal menggelikan, termasuk bagaimana Ziyad tak bisa menjawab pertanyaannya, benar-benar serupa anak kecil yang ketahuan mencuri. Ya, tepatnya mencuri pandang ke arahnya.
Tapi, Raifa cukup tahu diri. Ibu Ziyad telah berbaik hati padanya selama ini. Keluarga Ziyad yang terpandang dan dikenal kaya raya itu selalu menawarkan bantuan, bahkan tanpa perhitungan. Jika Raifa jatuh hati pada pemuda tampan itu, bisa jadi keluarganya justru sangat membencinya, menganggap dia tidak tahu diri bahkan seperti orang yang diberi hati tapi malah meminta jantung.
Raifa pun menyimpan rapat-rapat perasaannya. Sayangnya, wanita lima puluh tahun yang biasa dipanggilnya ibu itu tiba-tiba memanggilnya ke ruang tamu, tepat setelah Ziyad kembali ke Jakarta.
Hati Raifa melompat tak beraturan. Bisa jadi pertanda buruk atau justru sebaliknya. Meskipun telah berbaik sangka, tapi gadis desa dengan penampilan sederhana itu tak bisa menyembunyikan ketakutannya.
Ibu hanya berpesan, jika Raifa dan keluarganya butuh sesuatu, beliau akan selalu membantu. Tapi, saat ini ibunda Ziyad merasa tidak lagi membutuhkan tenaga Raifa.
“Mungkin kamu bisa mencari pekerjaan yang jauh lebih baik,” jelas ibunda Ziyad sambil menyerahkan sebuah amplop berukuran sedang.
Sebenarnya Raifa tak bisa menebak, apakah alasan yang sebenarnya disimpan rapat oleh ibunda Ziyad. Bisa jadi beliau memang berkata jujur dan apa adanya, meskipun masih terdengar aneh dan sangat tiba-tiba. Tapi, gadis manis itu tak perlu menanyakan terlalu banyak, bisa-bisa dia dianggap lancang.
Setelah membereskan semua tugasnya, Raifa segera pamit. Meskipun cukup kaget dan sedih, tapi Raifa mencoba menerima semuanya dengan lapang dada. Rezeki dari Allah, yang menjaga dan memberi juga Allah. Raifa tak perlu mengkhawatirkan lebih banyak tentang sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi urusannya.
Raifa pulang ke rumah tanpa bisa meninggalkan pertemuan manisnya dengan Ziyad. Entah kenapa, lelaki itu selalu saja muncul dalam pikirannya. Tidak di rumah, di jalan, bahkan ketika dia menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah pemuda itu.
Harapan beterbangan serupa bunga kering di musim kemarau. Ada sesuatu yang janggal. Setiap kali Raifa mengingat rumah itu, yang terlintas bukan lagi soal keluarga Ziyad yang telah berbaik hati membantu keluarganya, melainkan lelaki berhidung mancung itulah yang selalu melempar senyum penuh rasa gugup ke arahnya.
Pantaskah gadis desa dan tidak punya apa-apa menyimpan rasa kepada sarjana muda dan berwibawa seperti Ziyad?
Raifa menggelengkan kepalanya berkali-kali. Dia bahkan mengetuk kepalanya sambil memejamkan mata. Membuat pandangan aneh ibu dan bapak tertuju padanya.
“Kamu kenapa?” tanya bapak.
Raifa menggeleng, “Tidak ada, sungguh hanya sedikit pusing.”
Meskipun kabar buruk tadi siang sudah sampai di telinga bapak dan ibu, tetapi keduanya memilih pasrah dan tidak mengumbar rasa sakit serta kecewa. Sebagai manusia, mereka hanya bisa pasrah dengan apa yang telah ditakdirkan, mungkin ada rencana lain yang jauh lebih manis untuk Raifa, putri mereka satu-satunya.
****
Apa yang kamu lakukan ketika tiba-tiba hati dan pikiranmu hanya tertuju pada satu orang? Jika saja semua kisah itu berjalan mulus, pastinya tak perlu ada rasa sakit menusuk hati. Sayangnya, hampir sepanjang hari, Ziyad tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Entah kalimat ibu yang terlalu menyentak, ataukah gadis manis itu yang mengetuk hatinya tiada henti.
Membahagiakan orang tua merupakan kewajiban. Dan kalimat itulah yang selalu terpatri di dalam hati Ziyad selama ini. Jika mencari pasangan, bukan hanya untuk membahagiakan dirinya saja, tapi juga demi menjaga hati kedua orang tua. Jika ibu tidak merestui keinginannya meminang Raifa, lalu apa lagi yang harus dia perjuangkan?
Jika memaksa, pastilah akan ada hati yang tersakiti. Dan Ziyad merasa tidak pantas melakukannya terutama kepada orang yang telah berjasa membesarkannya selama ini.
Ziyad menekan sebuah nomor, tetapi urung dan dengan kasar dia melempar handphone ke tempat tidur. Untuk kedua kalinya, Ziyad menekan nomor yang sama. Sayangnya, dia pun tak cukup berani melakukannya. Hanya ingin, kemudian urung. Seperti itu hingga dia pun merasa kepalanya cukup pening.
Ketika Ziyad mengambil handphone-nya kembali entah untuk keberapa, tiba-tiba dering telepon mengagetkannya.
Ibu?
Ziyad menjawab telepon dengan nada sewajar mungkin. Ibu pasti tahu dia sedang memikirkan sesuatu. Termasuk masalah kemarin yang sempat disinggungnya.
“Ibu minta maaf,” kalimat pertama yang Ziyad dengar dari ibunya membuat hatinya gelisah, bahkan semakin gelisah.
“Jadi, kapan kamu mau melamar Raifa, Nak?”
“Apa? Ibu bercanda?” Ziyad terperanjat, nyaris tak bisa dipercaya.
“Kapan ibu pernah bercanda denganmu?”
Ziyad tersenyum. Mungkin rona kemerahan di wajahnya tak bisa dilihat oleh sang ibu. Tapi, Ziyad merasa pipinya menghangat. Gadis itu mungkin saja akan terkejut mendengar kabar itu. Sama terkejutnya ketika Ziyad mendengar hal yang sama.
Niat baik tentu akan menemukan jalannya. Tidak baik mengorbankan rasa hormat serta baktimu kepada orang tua hanya karena sebuah rasa. Doa dan kebahagiaan orang tualah yang menghantarkanmu pada kebahagiaan yang sesungguhnya.
Salam hangat,
Pernah dengar sebuah pepatah yang mengatakan : Jika cinta memanggilmu, maka ikutlah dengannya, walau jalan yang kan kau tempuh terjal dan berliku.
ReplyDeleteNamun bagaimana jika jalan terjal penuh liku tersebut adalah keluargamu atau bahkan ibumu?
Cerita ini menjawab pertanyaan tersebut. Thanks for sharing kak ^-^
Cakeeeep! tetep ya, orang tua adalah prioritas, anak soleh nih tokoh utamanya
ReplyDeleteAlhamdulillah jodoh tak kemana
ReplyDeleteAkhirnya Happy Ending ya
ReplyDeleteAllah sudah mengatur segalanya
Sama2, terima kasih juga sudah membaca :)
ReplyDeleteTerima kasih, mbak..iya mbak..hehe
ReplyDeleteBenar, Mbak.. :)
ReplyDeleteBenar, Mas..
ReplyDelete