Ini rahasia yang nggak pernah gue ceritain kepada siapa pun, termasuk sama sahabat karib gue sendiri. Dalam kehidupan nyata, ternyata banyak hal nggak bisa diprediksi dengan logika, kadang apa yang loe rencakan matang-matang, tiba-tiba buyar dan berantakan hanya karena satu masalah kecil bernama kecerobohan.
Terkadang, apa yang loe sebut paling buruk, ternyata justru jadi salah satu hal yang pada akhirnya amat loe sesali. Ya, nyesel karena dulu loe pernah menolak dan memilih pergi dari kenangan manis yang sempat loe rajut bersama orang yang pernah berlabuh dan menjadi istimewa di hati loe.
Nggak kebayang, kan, gimana, sih, rasanya meninggalkan orang yang loe sayang dalam keadaan tiba-tiba. Belum lagi alasan yang loe anggap benar ternyata hanya sebuah pembenaran akibat ego yang loe besar-besarkan.
Nama gue Feni. Gue lahir tepat ketika langit mendung sempurna. Malam di mana hujan gerimis menjadi guyuran deras dan menyembulkan kilat-kilat yang berlesatan.
Gue lahir beberapa detik sebelum nyokap pergi untuk selamanya. Melahirkan itu butuh pengorbanan. Dan nyokap gue benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi mengenalkan gue ke dunia.
Jadi piatu rasanya gimana? Loe tanya sama diri loe sendiri, bagaimana rasanya punya separuh hati yang benar-benar loe sayangi, dan sebagian lagi harus berupa serpihan yang wajah serta suaranya aja nggak bisa loe ingat sebab terlalu cepat dia pergi.
Nggak enak hidup kesepian hanya bersama bokap. Belum lagi kesibukannya yang cukup padat membuat gue benar-benar merasa sendiri. Setiap hari hanya bicara sama asisten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun kerja sama almarhumah nyokap. Nggak kebayang, memori gue justru penuh dengan timangan dan nyanyian dari dia.
Namanya bi Surti. Nggak muda dan nggak tua banget buat seumuran dia. Orangnya baik dan tentu saja dia bukan tipe asisten rumah tangga yang galak dan suka nge-bully anak majikannya. Dia sayang banget sama gue, terlebih ketika dia tahu, nyokap udah nggak ada lagi.
Bisa dibilang, bi Surtilah tempat curhat gue selama ini. Ya, mulai dari gimana rindunya gue sama sosok almarhumah nyokap sampai dengan percekcokan kecil dengan bokap yang kadang bikin kepala gue mau pecah!
Gue besar tanpa kasih sayang seorang ibu. Jika selama ini gue nggak berbeda sama berandalan, gue anggap itu wajar terutama jika melihat bokap jarang banget ngasih perhatian. Kalau gue mau cerita, bokap sibuk banget dengan telepon dan berkas-berkasnya. Kalau gue kangen, bokap sibuk keliling ke luar kota. Nggak kebayang, kan, giamana, sih, rasanya jadi orang kayak gue ini?
Bersyukurnya, gue nggak terlalu lama berada dalam masa gelap dan suram itu. Ya, sejak kuliah, gue kenal sama teman-teman yang bukan hanya mau nerima gue apa adanya, tetapi juga membawa gue pada jalan 'kebenaran'. Jika awalnya gue merasa nggak penting banget menutup aurat, maka sejak mengenal mereka_yang awalnya gue anggap aneh_gue jadi peduli dan merasa harus berubah.
Hidup bukan hanya sekarang. Ada hari nanti di mana kita bakal dibangkitkan. Meskipun selama ini shalat gue bolong sana sini, tetapi dalam hati kecil gue percaya banget kalau kehidupan akhirat itu benar-benar ada. Serius, gue masih takut dosa, lho. Meskipun dulu sempat hidup nggak jelas dan nggak keruan.
Teman-teman yang mau deketin gue sejak kuliah nggak cukup banyak. Jika beberapa mahasiswi lain yang berhijab rapat enggan dekat-dekat, sobat karib gue ini beda lagi. Mereka justru sok kenal sok dekat meskipun awalnya gue benar-benar risih sama mereka.
Bayangin aja, gue yang suka berpakaian minim, tiba-tiba diajak ngobrol sama manusia dari planet lain yang berhijab lebar, rasanya gimana coba? Kayak bumi dan langit, kan? Tapi, lama-lama mereka membuat gue betah. Bukan karena mereka yang melulu ngejar-ngejar, tetapi karena mereka menghargai siapa gue apa adanya.
Mereka adalah Alia dan Shela.
Alia yang suka memakai hijab berwarna pastel dengan terusan berwarna senada. Dia berkacamata dan manis banget. Siapa pun suka berteman dengannya termasuk gue.
Shela, meskipun tomboy, tetapi dia tahu batasan. Gayannya berkemeja, tetapi jilbabnya nggak bakalan naik di atas pinggang. Dan gue? Jangan tanya siapa gue sekarang, bahkan dosen dan senior saja nggak ngenalin ketika pertama kali gue kuliah dan memakai hijab.
“Woi!” gue suka mengagetkan teman-teman, termasuk Alia dan Shela. Dan seperti yang gue duga, mereka terkejut dan hampir jantungan.
“Ucapin salam dulu kali, Fen,” Alia membenahi kacamatanya yang tiba-tiba melorot. Nggak kebayang jantungnya pindah ke mana, ya? Hehe.
“Lagian udah secantik bidadari masih aja kelakuan…” Shela berhenti, menutup mulutnya dengan kedua tangan dan buru-buru meminta maaf.
“Gue maafin, loe dan loe!” sahut gue sambil berkacak pinggang.
Keributan kecil memang cukup jadi kenangan manis buat kami bertiga. Selama masa kuliah, kami bagaikan perangko, lengket dan nggak pernah mau jauh. Nggak tahu kenapa, mungkin kami tahu apa yang bisa membuat persahabatan kami sebaik ini.
Dan seperti yang kalian duga, kami tetap berteman bahkan sampai kami bekerja. Itu tahun-tahun di mana gue dan teman-teman sudah bisa memimpikan yang namanya pernikahan. Yup! Kami sudah bisa bercerita gimana sih konsep pernikahan kami nanti. Sayangnya, masalah kami sama, jomlo!
Satu hingga dua tahun bukan masalah berarti. Hingga salah satu dari kami benar-benar telah siap menuju jenjang pernikahan, bahkan udah ngasih undangan!
“Serius, loe bakalan nikah, Li?” Gue hampir nggak percaya. Kita masih dua puluh lima tahun, masih layak, kok, jadi jomlo bahagia…he.
Tetapi, Alia mengangguk pasti. Dia menyerahkan selembar undangan. Dan nggak tahu kenapa, Alia nggak ngajak Shela ketemuan di tempat yang sama. Ini aneh buat gue.
Dan detik yang sama, dada gue tiba-tiba bergemuruh, ada yang salah dengan undangan itu. Ya, selembar undangan dengan warna cokelat muda, ada hiasan berupa pita senada dan ukiran nama. Nama yang sangat gue kenal selain Alia.
“Loe mau nikah sama Doni?”
Gue nggak bisa menebak semerah apa wajah gue ketika menanyakan hal itu kepada Alia.
Dia mengangguk. Bukan karena malu, tetapi karena takut ada yang kecewa dan patah hati. Ya, tentu saja itu gue!
“Maaf ya, Fen. Gue juga nggak nyangka bakalan menikah dengan orang yang pernah jadi masa lalu loe selama ini. Gue nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Loe sahabat karib gue, mana mungkin gue menikam loe dari belakang.”
Gue nggak perlu menjawab lebih panjang. Hanya tersenyum dan sebutir embun bergulir tanpa gue minta.
“Semoga loe bahagia, ya. Gue ikut bahagia,” dan embun itu sudah berubah gerimis yang semakin deras. Alia memegang jemari gue, meminta maaf berkali-kali. Gue nggak bisa bilang kalau itu bukan salah dia. Karena tangis gue menjadi.
Entah kenapa, sampai saat ini gue belum siap melupakan Doni meskipun sejak awal gue sendiri yang memutuskan berpisah. Dan rahasia ini selalu gue simpan rapat-rapat, termasuk dari Alia dan bi Surti.
Mungkin kalian bertanya, kenapa bisa kami berpisah padahal nggak butuh waktu lama buat menikah?
Alasannya simpel dan sederhana. Karena saat itu gue melihat Doni belum sebaik yang gue mau. Meskipun dia sudah cukup berusaha, tetapi gue masih ngerasa ‘hijrah’ yang dia tempuh belumlah maksimal. Kayaknya gue merasa jadi sok pinter ketika memutuskan menolaknya dan akhirnya kami batal menikah.
Alasan yang nggak masuk akal. Sebuah kecerobohan yang membuat gue tiba-tiba menyesal. Alia gadis yang baik. Tentu saja dia pantas bersanding dengan Doni yang nggak lama gue tahu sudah hafal setengah dari Alquran.
Dan gue, masih berada pada tempat yang nggak jauh berbeda dari sebelum hijrah dulu. Kadang, ketika loe merasa berada di atas, jangan sekali-kali meremehkan orang lain yang sedang berproses. Belum tentu loe bakal sebaik dia pada akhirnya. Dan kenyataan itu kini menusuk bagaikan sembilu. Gue ingat, nggak satu orang pun boleh menyombongkan diri kecuali Allah. Dan gue, udah bersikap layaknya Firaun yang berlagak seperti Tuhan. Padahal, buat menerima kenyataan saja rasanya sulit.
"Kita tetap sahabat, kan?" Alia menunggu dengan cemas.
Gue mengangguk, dan mengusap tangis terakhir di sore itu.
Nggak kebayang, kan, gimana, sih, rasanya meninggalkan orang yang loe sayang dalam keadaan tiba-tiba. Belum lagi alasan yang loe anggap benar ternyata hanya sebuah pembenaran akibat ego yang loe besar-besarkan.
*****
Nama gue Feni. Gue lahir tepat ketika langit mendung sempurna. Malam di mana hujan gerimis menjadi guyuran deras dan menyembulkan kilat-kilat yang berlesatan.
Gue lahir beberapa detik sebelum nyokap pergi untuk selamanya. Melahirkan itu butuh pengorbanan. Dan nyokap gue benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi mengenalkan gue ke dunia.
Jadi piatu rasanya gimana? Loe tanya sama diri loe sendiri, bagaimana rasanya punya separuh hati yang benar-benar loe sayangi, dan sebagian lagi harus berupa serpihan yang wajah serta suaranya aja nggak bisa loe ingat sebab terlalu cepat dia pergi.
Nggak enak hidup kesepian hanya bersama bokap. Belum lagi kesibukannya yang cukup padat membuat gue benar-benar merasa sendiri. Setiap hari hanya bicara sama asisten rumah tangga yang sudah bertahun-tahun kerja sama almarhumah nyokap. Nggak kebayang, memori gue justru penuh dengan timangan dan nyanyian dari dia.
Namanya bi Surti. Nggak muda dan nggak tua banget buat seumuran dia. Orangnya baik dan tentu saja dia bukan tipe asisten rumah tangga yang galak dan suka nge-bully anak majikannya. Dia sayang banget sama gue, terlebih ketika dia tahu, nyokap udah nggak ada lagi.
Bisa dibilang, bi Surtilah tempat curhat gue selama ini. Ya, mulai dari gimana rindunya gue sama sosok almarhumah nyokap sampai dengan percekcokan kecil dengan bokap yang kadang bikin kepala gue mau pecah!
Gue besar tanpa kasih sayang seorang ibu. Jika selama ini gue nggak berbeda sama berandalan, gue anggap itu wajar terutama jika melihat bokap jarang banget ngasih perhatian. Kalau gue mau cerita, bokap sibuk banget dengan telepon dan berkas-berkasnya. Kalau gue kangen, bokap sibuk keliling ke luar kota. Nggak kebayang, kan, giamana, sih, rasanya jadi orang kayak gue ini?
Bersyukurnya, gue nggak terlalu lama berada dalam masa gelap dan suram itu. Ya, sejak kuliah, gue kenal sama teman-teman yang bukan hanya mau nerima gue apa adanya, tetapi juga membawa gue pada jalan 'kebenaran'. Jika awalnya gue merasa nggak penting banget menutup aurat, maka sejak mengenal mereka_yang awalnya gue anggap aneh_gue jadi peduli dan merasa harus berubah.
Hidup bukan hanya sekarang. Ada hari nanti di mana kita bakal dibangkitkan. Meskipun selama ini shalat gue bolong sana sini, tetapi dalam hati kecil gue percaya banget kalau kehidupan akhirat itu benar-benar ada. Serius, gue masih takut dosa, lho. Meskipun dulu sempat hidup nggak jelas dan nggak keruan.
Teman-teman yang mau deketin gue sejak kuliah nggak cukup banyak. Jika beberapa mahasiswi lain yang berhijab rapat enggan dekat-dekat, sobat karib gue ini beda lagi. Mereka justru sok kenal sok dekat meskipun awalnya gue benar-benar risih sama mereka.
Bayangin aja, gue yang suka berpakaian minim, tiba-tiba diajak ngobrol sama manusia dari planet lain yang berhijab lebar, rasanya gimana coba? Kayak bumi dan langit, kan? Tapi, lama-lama mereka membuat gue betah. Bukan karena mereka yang melulu ngejar-ngejar, tetapi karena mereka menghargai siapa gue apa adanya.
Mereka adalah Alia dan Shela.
Alia yang suka memakai hijab berwarna pastel dengan terusan berwarna senada. Dia berkacamata dan manis banget. Siapa pun suka berteman dengannya termasuk gue.
Shela, meskipun tomboy, tetapi dia tahu batasan. Gayannya berkemeja, tetapi jilbabnya nggak bakalan naik di atas pinggang. Dan gue? Jangan tanya siapa gue sekarang, bahkan dosen dan senior saja nggak ngenalin ketika pertama kali gue kuliah dan memakai hijab.
“Woi!” gue suka mengagetkan teman-teman, termasuk Alia dan Shela. Dan seperti yang gue duga, mereka terkejut dan hampir jantungan.
“Ucapin salam dulu kali, Fen,” Alia membenahi kacamatanya yang tiba-tiba melorot. Nggak kebayang jantungnya pindah ke mana, ya? Hehe.
“Lagian udah secantik bidadari masih aja kelakuan…” Shela berhenti, menutup mulutnya dengan kedua tangan dan buru-buru meminta maaf.
“Gue maafin, loe dan loe!” sahut gue sambil berkacak pinggang.
Keributan kecil memang cukup jadi kenangan manis buat kami bertiga. Selama masa kuliah, kami bagaikan perangko, lengket dan nggak pernah mau jauh. Nggak tahu kenapa, mungkin kami tahu apa yang bisa membuat persahabatan kami sebaik ini.
Dan seperti yang kalian duga, kami tetap berteman bahkan sampai kami bekerja. Itu tahun-tahun di mana gue dan teman-teman sudah bisa memimpikan yang namanya pernikahan. Yup! Kami sudah bisa bercerita gimana sih konsep pernikahan kami nanti. Sayangnya, masalah kami sama, jomlo!
Satu hingga dua tahun bukan masalah berarti. Hingga salah satu dari kami benar-benar telah siap menuju jenjang pernikahan, bahkan udah ngasih undangan!
“Serius, loe bakalan nikah, Li?” Gue hampir nggak percaya. Kita masih dua puluh lima tahun, masih layak, kok, jadi jomlo bahagia…he.
Tetapi, Alia mengangguk pasti. Dia menyerahkan selembar undangan. Dan nggak tahu kenapa, Alia nggak ngajak Shela ketemuan di tempat yang sama. Ini aneh buat gue.
Dan detik yang sama, dada gue tiba-tiba bergemuruh, ada yang salah dengan undangan itu. Ya, selembar undangan dengan warna cokelat muda, ada hiasan berupa pita senada dan ukiran nama. Nama yang sangat gue kenal selain Alia.
“Loe mau nikah sama Doni?”
Gue nggak bisa menebak semerah apa wajah gue ketika menanyakan hal itu kepada Alia.
Dia mengangguk. Bukan karena malu, tetapi karena takut ada yang kecewa dan patah hati. Ya, tentu saja itu gue!
“Maaf ya, Fen. Gue juga nggak nyangka bakalan menikah dengan orang yang pernah jadi masa lalu loe selama ini. Gue nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Loe sahabat karib gue, mana mungkin gue menikam loe dari belakang.”
Gue nggak perlu menjawab lebih panjang. Hanya tersenyum dan sebutir embun bergulir tanpa gue minta.
“Semoga loe bahagia, ya. Gue ikut bahagia,” dan embun itu sudah berubah gerimis yang semakin deras. Alia memegang jemari gue, meminta maaf berkali-kali. Gue nggak bisa bilang kalau itu bukan salah dia. Karena tangis gue menjadi.
Entah kenapa, sampai saat ini gue belum siap melupakan Doni meskipun sejak awal gue sendiri yang memutuskan berpisah. Dan rahasia ini selalu gue simpan rapat-rapat, termasuk dari Alia dan bi Surti.
Mungkin kalian bertanya, kenapa bisa kami berpisah padahal nggak butuh waktu lama buat menikah?
Alasannya simpel dan sederhana. Karena saat itu gue melihat Doni belum sebaik yang gue mau. Meskipun dia sudah cukup berusaha, tetapi gue masih ngerasa ‘hijrah’ yang dia tempuh belumlah maksimal. Kayaknya gue merasa jadi sok pinter ketika memutuskan menolaknya dan akhirnya kami batal menikah.
Alasan yang nggak masuk akal. Sebuah kecerobohan yang membuat gue tiba-tiba menyesal. Alia gadis yang baik. Tentu saja dia pantas bersanding dengan Doni yang nggak lama gue tahu sudah hafal setengah dari Alquran.
Dan gue, masih berada pada tempat yang nggak jauh berbeda dari sebelum hijrah dulu. Kadang, ketika loe merasa berada di atas, jangan sekali-kali meremehkan orang lain yang sedang berproses. Belum tentu loe bakal sebaik dia pada akhirnya. Dan kenyataan itu kini menusuk bagaikan sembilu. Gue ingat, nggak satu orang pun boleh menyombongkan diri kecuali Allah. Dan gue, udah bersikap layaknya Firaun yang berlagak seperti Tuhan. Padahal, buat menerima kenyataan saja rasanya sulit.
"Kita tetap sahabat, kan?" Alia menunggu dengan cemas.
Gue mengangguk, dan mengusap tangis terakhir di sore itu.
Salam hangat,
Featured image: Photo by Shohib Tri on Pexels
Huaaa...Saya suka gaya bahasanya, ceritanya juga pastinya..
ReplyDeleteAlia teganya..teganya...!!
ah, begitulah jodoh itu kita gak bisa nentuin ya, saat kita jatuh cinta tp trenyata dia milik orang lain yang ternyata sahabat sendiri
ReplyDeleteJadi maksudnya lo nolak si doni dulu tuh karena doi belom hafal Al-Quran?? Ya pantes aja lw nyesel.. (Pake logat gaul jaman now)
ReplyDeleteAku menikmati banget cerita awalnya, mbak muyyas...berasa terkenang saat masa kuliah. Patah hatinya?? Aku sudah move on dari kisah patah hati, jadi biasa saja, xixi...jodoh di tangan Tuhan 😁😁 pokoke aku suka ceritamu, mbak 😍😍😍
ReplyDeleteMba lucu banget sih kisahnya. Aku jadi inget kisahku sendiri... Jodoh memang rahasia Allah
ReplyDeleteklu boleh tahu...tulisan diatas cerpen atau kisah nyata ? mohon maaf bkn maksd untuk bnyk tanya, Tpi tulisanya alami bngtzz.... itu yg bikin saya jd pnazaran... :)
ReplyDeletejodoh mmg misteri ya mb
ReplyDeletesubhanallah dunia persahabatan itu penuh warna ya. aku kagum dengan isi ceritanya mudah dicerna..
ReplyDeleteSabar ya Feni, move on dan ikhlaskan aja. Kalau sahabat bahagia kita sebaiknya ikut berbahagia, jangan memberatkan perasaan alia yang udah menuju ke pelaminan, hloh?! Jadi kebawa....Maaf kirain cerita pengalaman pribadi, tapi semakin dibaca, oooh ternyata fiksi :)
ReplyDeleteHihi, terima kasih, Mbak...iya, nih, Alia!
ReplyDeleteBenar sekali, Mbak..
ReplyDeleteHehe, ini juga belajar menlis bahasa begini berasa aneh saya, Mbak :D
ReplyDeleteHihi, terima kasih, Mbak sudah membaca..patah hati, No! :D
ReplyDeleteSaya kalau buat cerita kadang jalan ceritanya baru terpikir di tengah, Mbak..spontan aja ini jadinya begini, lumayan belajar bahasa gaul :D. Ciee yang terciduk masa lalu *eh hehe
ReplyDeleteHehe, bukan, ini fiksi banget, kok.. Terima kasih sudah berkenan membaca :)
ReplyDeleteBetul sekali, Mbak.. :)
ReplyDeleteTerima kasih, Mbak.. :)
ReplyDeleteHehe, iya, Mbak..fiksi, kok.. :D
ReplyDeleteTerima kasih, ya sudah membaca :)
Walau hanya fiksi tapi bener2 bikin melongo saya
ReplyDeletedan gak berpaling baca sampai habis
jago banget mbak muyas kalo bikin cerita baper gini
Mbak muyas buat novel aja, bagus tulisanya..
ReplyDeleteMasya Allah, saya juga masih belajar. Terima kasih ya, sudah membaca cerpen saya :)
ReplyDeleteMasya Allah, terima kasih. Masih mikir mau nulis novel apa ya,takut ketuker sama resep..hehe
ReplyDeleteMancap mbaa simple tapi ngena semoga Si Feni ketemu cowok lain ya biar bisa sebahagia Alia heheh
ReplyDelete