“Namanya Kinanthi. Orang-orang biasa menyebutnya Kinan. Tapi, ibu memanggilnya dengan sebutan berbeda,
‘anak durhaka’.”
Kinanthi punya paras ayu. Senyumnya bahkan lebih manis dari gula jawa. Setiap pagi, dia berangkat mengajar di salah satu Sekolah Dasar yang terletak tidak jauh dari kampungnya. Secantik namanya, Kinanthi juga gadis yang tau tatakrama. Setiap lewat di depan tetangga, dia turun dari sepeda demi menunjukkan rasa hormat serta menyapa sekadar basa basi.
Hampir semua orang menyukainya. Tak terkecuali Ridho, teman sesama pengajar di sekolah yang sama. Ridho, sebenarnya sudah sejak lama ingin meminang Kinan. Sayangnya, Kinan hanya tersenyum sambil menggeleng, menganggap Ridho terlalu berlebihan. Padahal, cinta telah bersemi sejak lama. Bahkan saat mereka sama-sama duduk di bangku SMP.
Diam-diam Ridho berjanji dalam hati, akan memperjuangkan cintanya sampai mati. Sedangkan Kinan, hanya sekadar guyon setiap kali lelaki berwajah tampan itu menanyakan hal yang sama hampir setiap hari.
“Kapan mas boleh datang menemui bapak?” tanya Ridho dengan wajah penasaran.
“Kapan saja. Mas Ridho silakan saja main ke rumah. Kalau cuma main, memangnya siapa mau melarang?”
“Tapi, maksud mas bukan itu, Nan.” Ridho mulai salah tingkah. Sepatu hitam sebelah kiri mengentak lantai berkali-kali. Gadis manis ini sulit sekali diterka hatinya. Bahkan ketika Ridho telah memintanya dengan kalimat yang sama hampir setiap hari, dia masih juga tak bisa menangkap maksud hati Ridho. Atau jangan-jangan itu adalah sebuah penolakan yang dilakukannya secara halus supaya tidak menyinggung perasaan Ridho?
“Tadi dapat salah dari Dewi,” sahut Kinan buru-buru. Kemudian segera berlalu meninggalkan detak tak karuan pada jantung lelaki yang sudah lama memendam rindu.
Dewi? Entah siapa saja gadis di desa itu yang sudah berkali-kali menitipkan salam pada Kinan untuk Ridho. Kemarin Hesti, kemudian Yanti. Dua hari yang lalu bahkan Ridho dapat titipan kue dari Ana, tetangga sebelah Kinan. Gadis-gadis itu mungkin juga menjadi salah satu alasan kenapa Kinan tidak juga mau menerima cintanya. Apakah Kinan Malu atau takut kalau gadis-gadis yang sudah lama menyukai Ridho tiba-tiba tak terima?
Ridho mengangkat bahu. Sulitnya mendapatkan cinta.
***
Ibu sudah mantap akan menjodohkan Kinan dengan kerabat jauh dari kota. Ibu bilang, lelaki itu sudah punya pekerjaan mapan. Bahkan dia juga bukan orang sembarangan, anak tajir dan berpendidikan.
Kinan, meski sebenarnya ingin sekali menolaknya, tapi kalimat yang tiba-tiba muncul dari mulutnya hanyalah sebuah persetujuan. Ada wajah lain yang telah dia selipkan. Bukan lelaki yang ibu maksud. Tapi, lelaki yang hampir setiap hari menanyakan kapan dia bisa berkunjung ke rumahnya untuk segera melamar.
Sayangnya, Kinan terlalu pengecut untuk menjawab. Setiap berhadapan dengan lelaki berhidung mancung itu, hatinya melompat tak karuan. Antara gembira dan gugup. Ingin sekali mengatakan bahwa sebenarnya dia juga memiliki perasaan yang sama. Sayangnya, sejak awal ibu sudah mengatakan bahwa beliau tidak pernah suka dengan Ridho. Katanya dia terlalu ramah pada gadis-gadis. Kalau sudah menikah, bisa makan hati setiap hari.
Tapi, siapa juga yang bisa merubah Ridho menjadi seperti yang ibu mau. Kenyataannya, Ridho memang murah senyum kepada semua orang, tak terkecuali kepada bapak. Tapi, ibu tetap tidak menyukainya. Bagi ibu, dia seperti lelaki gampangan.
Kinan menarik napas. Kedua tangannya tengah asyik memotong pepaya muda yang dipetiknya dari pekarangan belakang rumah. Kinan menekuri setiap gerakan tangannya sendiri. Bagaimana jika dia menikah dengan orang lain yang tidak pernah dia sukai sebelumnya? Apakah cinta bisa tumbuh dengan mudahnya saat sudah dalam ikatan pernikahan?
Rasanya sulit dibayangkan. Tiba-tiba Kinan beranjak dan menghampiri ibu yang tengah sibuk menyalakan tungku api. Entah dari mana keberanian itu datang. Tapi, Kinan juga tidak bisa menolak keinginan hatinya.
“Sepertinya Kinan tidak bisa meneruskan acara pernikahan ini. Kinan suka sama orang lain, Bu.”
Ibu terbeliak. Menjatuhkan daun kelapa kering di tangannya.
“Dia sudah dalam perjalanan dan kamu bilang nggak bisa?”
Kinan merasa keberaniannya menciut. Melihat ibu sangat marah, dia hanya bisa menunduk. Kalau tak ingat putrinya, mungkin ibu sudah menelannya hidup-hidup.
“Tapi, pernikahan tanpa cinta apa bisa bahagia, Bu?” Kinan memohon. Kedua matanya sudah panas.
Ibu diam. Tapi hatinya merutuk, kesal. Bukan karena Kinan yang menolak keinginannya, tapi keputusan yang tiba-tiba tentu bisa merugikan banyak pihak, termasuk merusak hubungan baik kedua keluarga yang sebelumnya baik-baik saja.
Membayangkan rombongan datang, mengatakan penolakan atas keputusan Kinan, apa yang akan mereka katakan? Tiba-tiba jantung ibu terasa berhenti berdetak. Kepalanya pusing dan berputar. Bahkan bayangan Kinan seperti bergerak sangat cepat. Semakin lama semakin samar.
Ibu jatuh pingsan di antara teriakan serta tangisan Kinan. Tak ada yang bisa menolak takdir. Ibu siuman dengan perasaaan benci tak tertahan.
Sejak saat itulah, ibu menamainya dengan sebutan lain. Bukan Kinanthi, bukan juga Kinan seperti yang sering disebut oleh orang-orang di kampungnya.
***
Ibu merasa sangat malu atas keputusan Kinan yang terkesan tiba-tiba. Tapi, bukan ibu jika dia harus memaksa putrinya menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Pihak calon suami Kinan akhirnya pulang dengan rasa geram.
Mereka menyebut ibu munafik, pembohong bahkan sumpah serapah yang sulit dicerna oleh hati. Kinan hanya menangis di ujung ranjang kamar tidurnya. Sedangkan ibu mendiamkannya hingga berhari-hari.
Orang kampung serta tetangga dekat mulai membicarakan Kinan dan keluarganya. Fitnah dan tuduhan dilemparkan. Membuat ibu semakin malu dan sakit hati. Jika bukan karena Kinan, ibu tak akan semalu ini.
Tapi, yang lebih menyakitkan bagi ibu, tuduhan orang-orang seolah tak punya hati. Terbiasa menilai sesuatu dari satu sisi saja. Tidak mencoba mencari tahu dari sisi lainnya. Benci rasanya mendengarkan tuduhan tak karuan dari orang-orang sekitar. Mulai dari menganggap Kinan mempermainkan calon suami hingga menyebutnya hamil di luar nikah.
Ibu menelan ludah. Menatap tajam ke arah Kinan yang sudah meminta maaf berkali-kali. Gadis itu mengusap kedua matanya dengan ujung jilbab. Keberanian yang dipupuknya sejak berhari-hari sebelumnya. Ibu mungkin akan menyebutkan tak tahu diri. Tapi, dia harus meminta maaf.
“Jika bukan karena kamu, anak durhaka, ibu tak akan semalu ini!”
Kinan mengangkat wajah demi menatap wajah ibu ketika mengucapkan kalimat menyakitkan itu. Istighfar berkali-kali bergema di hati. Anak durhaka? Kinan menyelami kesungguhan dari ucapan ibunya. Benarkah ibu bersungguh-sungguh mengucapkannya?
Kinan diam. Dadanya sesak. Ibu pun bergeming. Tak ada yang berubah meski sumpah serapah serta fitnah tersebar di mana-mana. Menusuk hati serta telinga.
Kinan menyeka kedua matanya yang basah. Kali ini, dia sudah lupa tentang cinta yang sejak lama disembunyikannya dalam hati. Dia lupa seperti apa bahagianya ketika bertemu Ridho. Dia lupa banyak hal termasuk mimpi menikah dengan orang yang dicintainya sejak ibu menyebutnya durhaka.
***
Ibu, meski kesal sebenarnya tak pernah berniat menyakiti putrinya. Tuduhan orang-orang tanpa bukti itulah yang membuatnya begitu murka hingga dia harus menyalahkan Kinan atas semuanya.
Belakangan orang-orang tahu, Kinan tak lagi disebut Kinanthi oleh sang ibu. Melainkan anak durhaka. Dan mereka semakin ramai membicarakannya. Tak henti-henti bahkan semakin menjadi-jadi.
Sayangnya, baik Kinan serta ibu mustahil menyumpal mulut orang-orang yang sok tahu itu. Tapi, mereka bisa memperbaiki semuanya dengan tidak mendengarkannya.
Andai mereka tahu, seberapa sakitnya diperlakukan seperti itu, mungkin mereka akan menahan luapan kalimat yang nyatanya menyakitkan bagi orang lain.
Ibu dan Kinan tak ingin mati dalam rasa sakit hati. Karenanya, mereka memaafkan semua fitnah yang dituduhkan pada Kinan serta ibu. Kemudian, memulai kehidupan yang jauh lebih baik. Tanpa membawa omongan orang ke dalam rumah mereka.
Kinan, sama seperti ibu, tidak pernah saling membenci meski kejadian beberapa hari lalu sempat membuat Kinan tak layak meneruskan hidup. Tapi, Kinan tahu ibu tak benar-benar mengucapkannya.
"Maafkan, Nak."
Kinan mengangguk. Merengkuh ibunya lama sekali.
***
Wah ending yang manis mbak...
ReplyDeleteSemarah-marahnya seorang ibui biasanya akan luluh juga pada akhirnya ya mbak. yang penting anaknya bahagia ;)
ReplyDeleteaku jg seorang ibu terkadang kesal bkn main ketika anak tak menuruti apa kataku namun marahku hanya sesaat krn aku tau marah tak kan bisa merubah kembali keadaan xixixi makasi postnya mba 👍
ReplyDeleteRidho Allah ada pada ridho orang tua, murka Allah ada pada murka orang tua juga.. ngomongin ridho, jadi Mas Ridhonya jadi nikah sm siapa mbak? he.he
ReplyDeleteTerima kasih mbak, :)
ReplyDeleteIya mbak, setuju.. :)
ReplyDeleteSama2 mbak, meski marah harus jaga ucapan juga ya mbak...
ReplyDeleteHihi, kayaknya belum ngirim undangan si Ridhonya, :D
ReplyDeleteAwal2 sedih bacanya.. Tp pas baca bagian ibu memaafkan kinanthi, lgs ikutan lega :D. Bagus mba ceritanya.. Aku sampe kebawa perasaan :D
ReplyDeleteTerima kasih mbak sudah berkenan membaca... :)
ReplyDeleteIya, kalau nggak happy ending suka kebawa baper kalau saya..hehe
ReplyDelete