Raina mondar mandir di depan kamar. Menghubungi sebuah nomor yang selama sebulan hampir tidak pernah dilakukannya. Wajahnya terlihat gusar. Sebelah tangannya mengepal. Kesal! Di mana dia saat Raina begitu membutuhkannya?
Raina kembali ke kamar Raka. Bocah malang itu sedang merintih sambil setengah tertidur. Wajahnya memerah sebab suhu tubuh yang begitu tinggi. Entah sakit apa dia. Sejak semalam, demamnya belum juga turun. Raina ingin segera memberitahukan kondisi putranya pada Bagas, sayangnya, lelaki itu tidak juga menjawab telepon. Bahkan pesan singkat hingga puluhan belum juga dibalas.
Raina bimbang, dia tidak bisa membiarkan putranya menahan sakit terlalu lama. Raka mulai lemas, susah minum bahkan sesekali hanya bangun dan lebih banyak tidur. Raina khawatir kondisi Raka semakin memburuk. Takut dia dehidrasi, dan itu sangat berbahaya.
Tanpa pikir panjang, Raina segera membopong Raka ke dalam mobil. Perutnya sedikit nyeri ketika menyadari, tubuh Raka sudah mulai terasa berat. Tapi, Raina tidak sempat berpikir panjang. Segera tancap gas menuju rumah sakit terdekat.
Nanti Bagas juga akan tahu. Raina sudah berusaha menghubungi, tapi dia mungkin saja terlalu sibuk mengurus pasien-pasiennya. Sampai-sampai tidak mendengar telepon berdering. Sudahlah, Raina memutuskan fokus memikirkan kondisi Raka ketimbang memikirkan Bagas yang nyatanya pastilah baik-baik saja.
Jalanan cukup lengang, hanya ada beberapa kendaraan bermotor. Hujan rintik mulai turun. Raina memandang keluar kaca jendela mobilnya sambil menunggu lampu merah berganti hijau. Entah kenapa, tiba-tiba perasaannya sunyi. Ada yang hilang namun entah apa. Baginya, rumit sekali memikirkan kejadian kemarin, saat tiba-tiba Bagas meminta izin ingin menikahi Sherly. Bukan hal mudah mendengar kabar buruk itu meski nyatanya sampai saat ini dia juga tidak pernah lagi mendengar kelanjutan cerita antara Bagas dan Sherly. Mungkin saja Bagas sudah lupa dan benar-benar menyesali ide gilanya itu.
Sesekali Raka merintih, membuyarkan lamunan Raina. Dia bergegas menuju rumah sakit. Sepuluh menit kemudian, Raka sudah masuk UGD dan ditangani oleh beberapa dokter.
Raina tidak menyadari, wajahnya tampak lebih pucat. Bahkan tubuhnya terasa menggigil. Dia bersyukur Raka segera dibawa ke dokter. Putranya benar-benar kekurangan cairan, dan itu yang membuat Raka cukup lemas sejak pagi tadi.
Raina mengangguk saja ketika dokter menyarankan putranya segera dirawat. Biasanya dia selalu meminta izin tentang apa pun kepada Bagas, kali ini dia benar-benar lupa. Sebab kepalanya yang sudah berdenyut berkali-kali sampai rasa khawatir yang berlebihan kepada putra sulungnya. Dan yang tak disadarinya, rasa mual yang mulai muncul sejak Raka masuk ruang perawatan.
Raina berkali-kali masuk kamar mandi. Dia muntah-muntah hebat. Belum lagi tadi pagi tidak sempat makan apa pun, termasuk setangkup roti yang disajikan di meja makan, sisa Bagas sebelum berangkat ke rumah sakit.
Raina menyerah, dia harus makan. Tidak baik membuat kondisi tubuhnya semakin buruk. Setelah memastikan Raka membaik dan bisa tidur, Raina segera pergi menuju kantin rumah sakit.
Mungkin dia bisa membeli teh hangat dan camilan sambil menunggu Bagas menghubunginya. Raina menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Betapa tidak mudah menghadapi semua ini hanya sendiri. Kondisinya yang sudah lemah, ditambah pertengkarannya dengan sang suami membuat semua energi dalam dirinya hilang seluruhnya. Raina mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah. Ingin sekali menukar cerita dengan yang lain, sayangnya, menyesali takdir merupakan kekufuran. Sama sekali tidak bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan.
Dia telah memiliki semuanya, kebahagiaan kemarin bahkan lebih mahal ketimbang tangisnya hari ini. Raina, bersyukurlah, bersyukur. Hanya itu yang dia ucapkan berkali-kali di dalam hati.
Pemandangan rumah sakit justru membuat hatinya semakin pahit. Selang-selang infus membelalai di mana-mana. Wajah-wajah semakin menyayat hati. Tapi tunggu, di antara beberapa bangsal yang terbuka sedikit pintunya, dia menangkap bayangan seseorang yang amat dikenalnya.
Raina menghentikan langkah. Kembali dengan rasa gugup yang membuncah. Dia mengintip dengan rasa takut yang amat sangat. Sekeping hatinya tiba-tiba patah. Terjatuh dan berantakan meninggalkan ngilu tak tertahan.
“Mas, Bagas,” desahnya.
Lelaki dengan kemeja rapi itu terlihat tertawa bersama seorang pasien yang entah siapa. Sebuah papan nama terbaca jelas oleh Raina. Pasien itu bukan hanya dia kenal, tapi juga menjadi bagian dari masa sulitnya saat ini. Raina mendekap hatinya sendiri. Terisak di lantai rumah sakit.
Entah Raina harus apa, bangun untuk berdiri saja rasanya teramat sulit. Sebelum dia berhasil berdiri dan berlari sekencang yang dia inginkan, sebuah suara menghentikan tangisnya.
“Rai, sedang apa di sini?”
Bagas tak sempat mendengar jawaban Raina. Gadis itu sudah berlari bersama seluruh kenangan manis yang kini telah luruh bersama derasnya guyuran hujan yang memekakkan telinga.
Dan, siapa nama yang tertulis jelas di papan nama itu?
ReplyDeleteAh, penasaran dakuuuu
Hayoo siapa ya? Mudah ditebak ini sebenarnya.. :D
ReplyDeletePenasaran, ditunggu lanjutannya.
ReplyDeleteTerima kasih ya mbak sudah membaca... :)
ReplyDelete