Raina melipat pakaian suaminya dengan air mata meleleh. Tidak sekali atau dua kali mereka bertengkar, tapi tidak pernah sesakit ini rasanya. Pernikahan mereka bukan terjadi dalam bilangan singkat, bahkan tahun demi tahun sejatinya menjadi alasan baginya untuk segera memaafkan kesalahan Bagas. Sayangnya sebab masalah satu itu, Raina enggan.
Dia ingat, betapa sulitnya dulu memercayai Bagas, terutama setelah dia melihat kedatangan Sherly dan Rara untuk pertama kali. Tanpa sengaja, Raina mendengar percakapan singkat di antara mereka. Bukan hal mudah memaafkan kesalahan masa lalu Bagas, yang sebenarnya jika diingat, lebih mirip seperti sinetron.
Tapi, sebab cinta dia memutuskan melupakan semua. Dan Bagas sudah berjanji tidak akan mengundang masa lalu masuk ke dalam pernikahan mereka. Tanpa kedatangan Sherly pun, bahtera rumah tangga sering goyah diterpa riak-riak kecil. Dan Sherly serupa badai yang siap menghantam dan mengoyak perahu mereka. Sakit.
Bagas bisa mudah mengatakan bahwa dia akan menikahi Sherly sebab kasihan, benarkah? Lalu bagaimana jika dia benar-benar menyukai wanita dalam masa lalunya itu? Dan Raina memutuskan segera menghilangkan semua pikiran buruk itu. Ingatannya kembali pada Sherly yang katanya sedang terbaring di rumah sakit sejak beberapa bulan lalu. Sakit apa dia? Bahkan Bagas tidak sempat menjelaskan.
Raina mengusap kemeja suaminya. Sepertinya beberapa hari tidak bertegur sapa dengannya, Raina merasa ada sesuatu yang hilang. Tapi rasa kesal mengalahkan semua. Raina rindu menyambut suaminya di depan pintu selepas Bagas bertugas dari rumah sakit. Belakangan bukan hanya itu, Raina memutuskan tidur di kamar Raka demi menghindari suaminya sendiri. Berdosakah dia? Tapi minta ampun dia kepada Allah, sungguh tidak mudah memaafkan kesalahan suaminya meskipun kenyataannya semua belum benar-benar terjadi.
Tapi, sampai kapan semua menjadi serenggang ini? Tidak nyaman mendiamkan Bagas, apalagi ketika laki-laki berhidung mancung itu tiba-tiba muncul di hadapannya. Sejujurnya, Raina rindu. Tapi, sungguh kecewanya belum sempurna menghilang. Maka kemarahan masih menjadi alasan kenapa dia menjaga jarak dari suaminya sendiri.
****
Bagas berlari menuju kamar mandi. Wajahnya diliputi kecemasan. Raina terlihat lebih kurus akhir-akhir ini. Lihat saja, kedua pipinya tampak lebih tirus. Bahkan kedua mata indahnya terlihat berkantung gelap. Semua tampak jelas setiap kali Bagas mencuri pandang ke arahnya.
Dan sekarang, Bagas gemetar berdiri di depan pintu kamar mandi setelah sebelumnya Raina menepis tangannya yang hendak memberikan bantuan. Raina memutuskan menahan mual yang membuatnya muntah-muntah tak wajar. Masuk anginkah istrinya? Tapi, Bagas tidak bisa menerka. Sepertinya Raina terlalu banyak pikiran sampai-sampai dia jadi sakit. Menyesallah Bagas sebab tentu saja dialah sebab utama atas terpuruknya Raina akhir-akhir ini.
“Kita ke dokter,” Bagas tegas bicara, tidak meminta persetujuan dari istrinya.
Setelah mencuci muka dan mengeringkan wajahnya dengan handuk, Raina justru segera pergi. Membiarkan Bagas semakin bingung. Bagas tahu Raina sedang kurang sehat. Jadi, dia sedikit membentak ketika mengatakannya barusan. Kadang perempuan tidak terlalu peka ketika ada seseorang yang benar-benar memerhatikan, atau mungkin Raina pura-pura tidak mengerti dengan ucapan Bagas barusan?
Bagas mengacak rambutnya. Kepalanya berdenyut. Sampai kapan badai dalam rumah tangganya berlalu? Tidakkah Raina mengerti, keadaan seperti ini amat menyita pikirannya. Bagas bahkan sulit berkonsentrasi ketika berada di rumah sakit. Dia jauh lebih murung ketimbang teman-temannya yang putus cinta. Dia jauh lebih buruk ketimbang pegawai yang dimarahi atasannya. Ini Raina, istrinya yang selama beberapa tahun menjadi belahan jiwa, kini memutuskan tidak lagi memercai dirinya sebagai suami yang baik. Mengecewakan sekali! Bagas berkali-kali merutuki nasibnya.
“Astaghfirullah,” desahnya. Sungguh lelah menghadapi kenyataan, di mana masih banyak wanita merasa begitu ketakutan ketika mendengar suaminya akan poligami, bahkan ketika dia menegaskan tidak akan pernah melakukannya. Apakah semenakutkan itu?
****
Bagas berdiri di depan cermin, menggosok giginya berulang kali. Berhenti ketika menyadari di atas gelas kaca berukuran sedang, tak lagi nampak sikat gigi berwarna merah milik Raina.
Bagas terpaku, tiba-tiba hatinya mencelos. Takut. Resah dan entahlah, dia bahkan tidak bisa menerjemahkan kata hatinya sendiri. Jika kemarin Raina tidak lagi tidur di kamar, sekarang sikat gigi milik istrinya pun sudah berpindah tempat, lalu besok apalagi yang harus ditakuti Bagas?
Tanpa merasa perlu membersihkan sisa pasta gigi di mulutnya, Bagas berlari keluar kamar, mencari Raina. Tidak, gadisnya tidak ada di kamar putra mereka. Bahkan di kamar mandi anaknya pun kosong. Raka terlihat masih pulas. Bagas segera melesat menuruni tangga. Dia benar-benar tidak punya banyak waktu. Ketakutan akan banyak hal tiba-tiba melintas dalam benaknya. Termasuk ketakutan akan perpisahan yang mungkin saja terjadi tanpa diduga.
Bagas berhenti di depan pintu dapur. Kedua kakinya masih gemetar. Napasnya tersengal, dan Raina tanpa sengaja sedang menatapnya heran, ada apa?
Belum sempat Bagas bicara, Raina sudah mendekati Bagas dan mengusap sisa pasta gigi di mulut suaminya. Hanya sepersekian detik waktu seolah berhenti ketika tatapan mereka saling beradu. Dengan langkah tergesa, Raina segera sibuk mengaduk sup panas di atas kompor yang masih menyala. sedangkan Bagas memilih diam dan bersorak dalam hati.
Coba kalian mengerti, tidak mudah menghilangkan kebiasaan yang sudah bertahun-tahun dibangun, termasuk ketika mereka saling peduli dan bicara. Dan kepedulian Raina barusan, sudah cukup mengaduk-aduk perasaan Bagas. Seperti perasaan ketika pertama kali mengetahui gadis itu menerima pinangannya. Bukan main gembiranya!
****
Kok baca ini aku langsung sedih yah.. gaya penulisannya bagus banget mba
ReplyDeletemembaca cerbung Rindu bagian ke 13 ini mata saya sampe brebesmili karena terhenyak akan kepedihannya....mirkisip cara nulisnya euy
ReplyDeleteTerima kasih..
ReplyDeleteHehe...hati-hati banjir yaa..terima kasih sudah membaca..
ReplyDeleteNah, inget yang dulu-dulu dong Bagas..kenangan akan membangkitkan rasa sayangmu..:)
ReplyDeleteSetuju mbak, sebenarnya mbak lagi nasehati Bagas atau saya sebagai penulisnya? Jadi takutkan sayanya..hehe
ReplyDeleteYa, kadang manusia itu kan penasaran dengan rasa apa yang belum dimilikinya. Dan rasa ingin memiliki itu terus menggebu. Ah mantan, yang selalu terngiang, sampai melupakan apa yang telah menjadi hak dan miliknya. Oh mantan... :)
ReplyDeleteJangan-jangan ini kisah pribadi nih :)
ReplyDeleteAda kata pepatah, jika ingin masuk surga, wanita harus siap dimadu. Jika ingin masuk neraka, lelaki harus mendua :)
Senduu..
ReplyDeleteTernyata laki2 mempunyai perasaan yang galau juga ya takut akan perpisahan yang tiba2, hiks..
Halo, salam kenal ya Mba
udah lama ga baca fiksi .. sekalinya baca fiksinua mba .. hanyut kedalam cerita .. muncul rasa kesal yg berujung penasaran sama cerita sebelumnya .. salam kenal mba ��
ReplyDeleteBagas, lihat tuh... Raina begitu teramat sayang kepadamu... dan hati itu lembut, Bagas, termasuk hati seorang wanita, jagalah dengan baik, jangan sampai membuatnya sedih, maka hidupmu akan bahagia.
ReplyDelete*) Ini saya bicara dengan Bagas lho, bukan dengan penulisnya, hehehe... (jadi teringat dulu saya pernah menyunting naskah novel judulnya Reina; nah... kalo yang di dalam kurung ini saya bicara dengan penulisnya)
Hehe, baca cerita sebelumnya biar nyambung sama sebutan mantan...hehe
ReplyDeleteSalam kenal mbak, :) Khusus lelaki satu ini dia sendu banget kayaknya..hehe
ReplyDeleteTerima kasih mbak....salam kenal :)
ReplyDeleteHehe..terima kasih ustadz. Saya malah ingat buku saya yang pernah ustadz beri endorsment. Sayangnya buku itu gagal terbit karena alasan internal dari penerbit... :(
ReplyDeletembaak... baru mampir ke sini. saya terhanyut cerita. dan merasa harus membaca episode 1-12 dulu. menyesal deh baru main ke blog mbak sekarang hiks :(
ReplyDeleteBagas bagas yg lain, sebaiknya mengingat hal hal yg selalu dilalui dan memberikan kebahagiaan, jangan egois dong
ReplyDeleteHehe, ayuk mbak dibaca..terima kasih yaa suda mampir :)
ReplyDeleteBagas-Bagas yang lain ternyata ada juga ya mbak..:D
ReplyDeleteIni udah terbit apa belum ya mba? Hehe penasaran deh
ReplyDeleteterbitnya di sini ini mbaak..hehe. Ini dulu tugas di KMO, tapi cuma sampai 25 halaman, akhirnya sayang saya terskan saja di blog karena belum berani kirim ke penerbit.. :D
ReplyDeleteBelum sempat baca yang part2 sebelumnya, rencana kalau udah kelar semuanya baru saya baca biar gak dibuat penasaran sama cerita yang bersambung. Hehe ia yaa mbak emang nggak mudah membuang kebiasaan yang udah bertahun2. Apalagi tinggal seatap bru nggak saling bicara... baca ending dari part ini jadi ingat cerita di novel Critical Eleven. Ale reaksinya juga sama dengan Bagas, perasaannya seperti diaduk2 saat istrinya Anya memberi sedikit perhatian setelah sekian lama mereka nggak saling bicara.
ReplyDeleteHehe, saya juga bingung gimana nulis akhirnya mbak, malah semakin panjang saja. Wah Bagas harus belajar dari Ale, tuh hehe..
ReplyDelete