Bagas mengetuk pintu rumah. Lengang. Tidak ada suara ribut anaknya. Begitu pun canda tawa Raina. Sejak kejadian kemarin, mereka berdua belum sempat membicarakan apa pun, termasuk keputusan Bagas untuk menikahi Sherly. Tapi, diamnya Bagas bukan karena dia tak ingin menyelesaikan masalah, dia hanya takut jika istrinya lebih terpuruk lagi mendengar apa pun tentang Sherly. Meskipun itu soal keputusan Bagas untuk tidak akan pernah menikahi wanita itu.
Masalah dalam rumah tangga, semakin berlarut, semakin berat. Dan itulah kenyataan yang harus dia jalani saat ini. Pagi tadi, Raina tak bicara sepatah kata pun. Bahkan mengatakan kecewa saja enggan. Menangis pun tak lagi dilakukannya. Gadisnya membisu. Seperti patung. Menatapnya dengan tatapan kosong. Bagas merasa ini bahkan terasa lebih menyakitkan ketimbang harus mendengar Raina memakinya.
Raina menyiapkan kemeja Bagas, menggantungnya di pintu lemari. Lalu meninggalkannya begitu saja. Padahal, biasanya gadis berlesung pipit itu selalu membantunya memasang kancing, bahkan tidak beranjak hingga dipastikannya penampilan Bagas sempurna. Dan pagi tadi, Bagas kehilangan semuanya.
Secangkir teh panas tersaji di meja makan, tidak ada yang berbeda. Tapi, wanita itu beranjak setelah mengoles satu sisi roti tawar dengan selai kesukaan Bagas. Bagas ingin sekali menarik pergelangan tangan istrinya dan memaksanya duduk di meja makan, bersama, seperti biasa, selama bertahun-tahun tanpa jeda. Nyatanya, dia bahkan tak mampu untuk sekadar mencegah Raina pergi. Pengecut!
Meskipun berkali-kali Bagas mengatakan tidak akan menikahi Sherly, tapi Raina tetaplah membisu. Perempuan yang belakangan terlihat lebih kurus itu tak menjawab ataupun membantah. Dia memperlakukan Bagas seolah tak ada. Dan itu jauh lebih menyakitkan baginya.
Bagas terpaku. Sesaat suara pintu berderit ketika Raina membukanya. Bagas berharap, istrinya sudah jauh lebih baik malam ini. Nyatanya, setelah mengambil tas milik Bagas, Raina pun segera berlalu meninggalkannya sendiri. Bagas menarik napas. Tidak ada yang mudah.
Bagas mulai lelah. Pikirannya kalut. Dia menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Berpikir keras, bagaimana cara melelehkan hati Raina. Dulu, dia pernah berusaha keras untuk mendapatkannya. Kini, wanita itu justru telah membangun benteng baru yang lebih tinggi. Hingga Bagas pun sulit sekali melewatinya. Harusnya, dia bisa menyelesaikan masalah ini. Harusnya begitu.
Bagas beranjak, masalah tidak selesai dengan diam. Dia bergegas menuju kamar, mencari Raina. Dia harus segera bicara. Menyelesaikan persoalan yang sebenarnya tidak akan sulit jika Raina mau mendengarkannya.
Sayangnya, ketika pintu kamar dibuka, Bagas tak menemukan siapa pun di sana. Hanya ranjang dengan bantal serta selimut yang tertata rapi. Di mana Raina? Bagas mengepalkan sebelah tangan dan melemparkannya ke udara. Kesal! Seharusnya perempuan itu mau mendengarkan, jangan terlalu sibuk larut dalam kesedihan yang sebenarnya bahkan belum terjadi. Sekarang, apalagi yang harus dilakukannya? Diam tak menyelesaikan masalah. Kalimat itu terngiang cukup keras, berkali-kali menyentuh gendang telinganya.
***
Pagi ini, Raina bangun seperti biasa. Menyiapkan kemeja Bagas dan menggantungnya di lemari. Tapi, saat masuk kamar, lelaki yang biasanya masih tertidur pulas itu justru tak ada di sana. Raina terhenyak. Ingin berteriak dan memanggil, sayangnya rasa sakit kemarin belum mengering. Raina mengurungkan niat, Bagas telah melukainya bahkan tidak memedulikan perasaannya. Lalu kenapa dia harus peduli? Suaminya bukan anak kecil, dia bisa mengurus dirinya sendiri. Ah, Raina ingin sekali mengatakan bahwa kejadian kemarin hanya mimpi. Perasaannya tak karuan. Tiba-tiba dia mual. Segera berlari ke kamar mandi. Menuntaskan rasa sakit di hati, dan melenyapkan segala himpitan perasaan yang tiba-tiba semakin menyakitkan saat perutnya tiba-tiba nyeri.
“Kamu sakit?”
Raina terperanjat ketika tiba-tiba Bagas telah muncul di balik pintu kamar mandi. Lekas-lekas Raina menggeleng. Dia baik-baik saja. Atau lebih tepatnya, dia harus terlihat baik-baik saja di depan suaminya. Raina tidak mau mengatakan apa pun. Sebab kemarin, yang membuatnya sakit juga Bagas sendiri. Begitu egoisnya lelaki behidung mancung itu hingga tak memedulikan perasaannya. Wanita mana yang mau berbagi cinta suaminya dengan wanita lain? Bahkan meski itu hanya sebuah permainan, Raina tak pernah rela melakukannya. Biarlah, Raina bisa mencari pintu surga lainnya, tidak harus dengan menjadi istri pertama.
“Masuk angin? Mau ke dokter?”
Ah, Bagas menepuk keningnya. Biasanya dia sendiri yang memeriksa istrinya, lalu kenapa dia menawarkan pergi ke dokter? Bodohnya!
Tapi Raina bergeming. Dia terlihat sibuk mengambil kemeja di dalam lemari, menggantungnya, seperti biasa.
“Istirahatlah, mas bisa melakukannya sendiri.”
Tapi, Raina tidak peduli. Dia tetap mempersiapkan keperluan Bagas seperti biasa. Seperti tak mendengar kalimat yang dilontarkan Bagas barusan. Bukan masalah, Bagas hanya perlu bersabar. Dia bahkan masih bersyukur, sebab Raina masih tetap di rumah. Bukan pergi ke rumah orang tuanya atau lebih buruknya meminta cerai. Tidak, kalimat itu semoga saja hanya mimpi yang mustahil terjadi dalam rumah tangga mereka.
Ah, rasanya bodoh sekali, kenapa Bagas bisa-bisanya melalukan perbuatan seburuk itu pada Raina. Meski istrinya penurut dan selalu baik, bukan berarti dia akan setuju ketika mendengar Bagas akan menikah lagi, apalagi jika wanita itu adalah Sherly.
“Rai!” Bagas memaksa Raina mendengarkannya, sebentar saja.
Raina mematung. Melihat kedua mata Bagas dengan tatapan tajam, penuh luka dan sakit hati. Raina tidak menangis, tapi kedua kelopak matanya tampak bengkak. Tidak menangis detik ini, tapi semalam dan kemarin, dia menghabiskan seluruh air matanya. Dan yang lebih menyesakkan, gadis itu menangis hanya karena kebodohan suaminya sendiri.
“Rai, mas minta maaf. Kita harus selesaikan semua ini. Tidak boleh berlarut-larut,” ucap Bagas memelas.
“Raka sudah bangun. Raina harus memandikannya.”
Raina berlalu. Bagas ingin mengejar, tapi takut masalah mereka terlihat oleh Raka, putra mereka. Mungkin bukan kabar baik hari ini, tapi Raina sudah mau bicara padanya meski nyatanya itu juga merupakan sebuah penolakan.
Bagas mengambil kemeja, mengenakannya sendiri. Dan detik itu, dia merasa semakin kehilangan sosok istrinya.
***
Suka ceritanya. Mbak Muyass masyaallaah, multi talenta nih. Jadi kepo pingin baca eps 1. 😁
ReplyDeleteYa begitulah wanita, diamnya itu lo sungguh misteri. Walaupun sudah menjadi istrinyapun, tetap misteri. Ah lelaki yang kadang hanya ingin menang sendiri, ingin tambah dan tambah. :)
ReplyDeleteSaya bru slesai baca bagian 2 hehehe
ReplyDeleteJd ngikutin gra2 baca yg bg 11 kmren
CERITANYA SERUUU BANGEETT. Gaya penulisannya juga ringan. Hihi.
ReplyDeleteBtw, salam kenal ya mba. Jgn lupa singgah di blog ku🙆🙆
Barakallah, terima kasih mbak... :)
ReplyDeleteKayakny ada yang mau nambah yaa... :D
ReplyDeleteHihi...terima kasih mas... :)
ReplyDeleteOke..siaap :D
ReplyDelete