(Bagas)
Aku angin,
Menerbangkanmu
Pada mimpi-mimpi masa lalu
Malam sudah larut ketika kami bertiga tiba di Surabaya. Setelah mengikuti seminar di Jakarta, saya, Sherly dan Dimas memutuskan segera pulang sesaat setelah sampai di bandara Juanda. Sayangnya Sherly terlihat sangat pucat, mungkin terlalu lelah atau entahlah. Gadis itu memang terlihat tidak fit hari itu.
Dimas sudah pulang dengan sebuah taksi menuju rumah kostnya. Sedangkan saya masih menunggu taksi berikutnya untuk Sherly. Saya tidak tega meninggalkannya sendiri. Terutama karena dia seorang perempuan dan dia sendirian. Saya akan merasa berdosa jika terjadi sesuatu yang buruk menimpanya.
Sherly sempat menolak, tapi saya memaksa mengantar. Lagi pula, jalan menuju rumahnya satu arah dengan rumah saya. Lima menit kemudian, taksi datang dan melesat cepat meninggalkan bandara, meninggalkan malam yang awalnya indah berubah kelabu.
Malam itu, entah kenapa, perasaan tidak enak mendera. Saya harus turun dari taksi dan memastikan Sherly masuk rumah dalam keadaan baik-baik saja. Saya membawakan koper kecil miliknya, namun sebelum meninggalkannya pulang, Sherly jatuh pingsan di depan rumah tepat satu langkah sebelum dia menyentuh gagang pintu.
Astgafirullah. Saya segera membopong Sherly masuk ke dalam. Rumah besar tanpa penghuni kecuali dia dan saya saat itu. Mungkin Sherly terlalu lelah atau karena sangat antusias menguruskan badan, dia jadi lupa tidak makan siang. Saya ingin tertawa karena kebodohannya tapi mengingat kami hanya berdua, saya jadi urung melakukannya. Bukan hal lucu menrtawakan orang pingsan. Tapi dia terlalu aneh akhir-akhir ini. Saya dan Dimas sempat mempertanyakan kenapa dia tiba-tiba berubah jadi gadis paling feminin di kampus? Dimas bilang, mungkin Sherly sedang mengincar salah satu dari kami. Saya terbahak mendengarnya. Kami sudah seperti saudara. Mustahil saling suka kecuali jika Dimas dan Sherly jadian, saya baru setuju. Tapi, lupakanlah. Sekarang saya harus memikirkan bagaimana caranya segera pulang sedangkan Sherly belum juga sadar.
Sebelum Sherly siuman, saya segera membayar taksi dan menyuruhnya pergi. Mustahil saya meninggalkan Sherly sendiri. Kemustahilan yang sebenarnya sempat membuat saya ragu beberapa saat. Namun, saat kembali ke rumahnya, Sherly sudah siuman duduk di sofa sambil memegang kepalanya yang mungkin berdenyut.
Syukurlah, saya menarik napas lega. Sepertinya dia hanya kurang makan atau mungkin terlalu capek.
“Untuk apa mati-matian diet kalau akhirnya kamu jatuh sakit,” saya tertawa disambut senyum tipis darinya.
Sambil menyodorkan segelas air putih, saya memutuskan segera pamit. Malam semakin larut, tidak mungkin saya berada di rumah gadis berkulit putih ini. Tapi Sherly masih menahan saya dan tidak mengizinkan saya pergi. Katanya dia masih pusing dan takut pingsan lagi. Akhirnya malam itu kami memutuskan makan malam sebentar sebelum saya memutuskan pulang.
***
Saya telah melakukan kesalahan besar, tepat di malam saat hujan lebat mengguyur kota Surabaya. Sherly menahan saya pulang. Setelah makan semangkuk mie instan buatannya, saya meneguk segelas teh panas.
Gadis manis ini terlihat baik-baik saja setelah menyantap sepiring buah. Saya kembali tersenyum. Jadi, saya merasa tidak ada alasan lagi untuk tetap tinggal meski nyatanya malam telah beranjak pagi. Orang tua saya pasti akan mencari dan panik meski sejak tadi saya telah menghubungi.
“Sebentar lagi hujan reda, tunggulah sebentar.” Ucap Sherly sambil melihat keluar.
“Saya pulang naik taksi, kenapa harus menunggu hujan reda?” tanya saya heran.
“Tapi, hujan akan membahayakanmu di jalan, Mas.”
Baiklah, tapi saya yakin tidak perlu menuruti kalimat Sherly kali ini. Saya segera pamit meski dia berkali-kali melarang. Sayangnya, entah kenapa tiba-tiba kepala saya berat. Pandangan kabur, sebelum berhasil berdiri, saya justru jatuh ambruk. Dan selanjutnya, saya tidak mengingat apa pun.
***
Comments