(Bagas)
Sejatinya setiap lelaki memiliki pasangan
Yang tak akan tertukar apalagi tersesat
Yang dengan mudah terpikat meski sama sekali
Tak dekat
Allah, ternyata gadis berlesung pipit itu belum juga memercayai apa yang telah saya lakukan. Sebab terlalu terburu-buru, keseriusan itu pun berubah mencurigakan bagi sebagian orang termasuk Raina. Padahal, saya hanya ingin membuktikan saja. Seharusnya saya menyampaikannya terlebih dulu dan mengajak Raina taaruf ketimbang langsung melamarnya.
Tapi semua sudah terlanjur terjadi. Gadis itu terlanjur bimbang namun saya tangkap masih ada harapan. Saya tidak benar-benar ditolak. Gadis itu memberikan waktu supaya saya bisa menunjukkan bukti atas keseriusan saya ini.
Kalimat Rio tadi benar-benar mengentak-entak perasaan. Bagaimana tidak, Raina ternyata bertanya tentang keseriusan saya padanya. Insya Allah, minggu depan saya akan menjemput orang tua dan membawanya ke rumah Raina. Menjelaskan bukan hanya tentang keinginan dan perasaan saya, namun juga tentang masa lalu saya yang harus Raina tahu sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menerima atau menolak pinangan saya nantinya.
Saya membuka pintu balkon. Tampaklah langit malam menjelma hamparan permadani berhias gemintang yang berkilauan. Seperti biasa, saya duduk dan menikmati malam dengan membaca buku. Salah satu kegiatan saya hampir setiap hari sebelum akhirnya beranjak tidur.
Tidak banyak yang tahu jika saya sangat suka membaca dan menggilai kegiatan satu ini. Rumah sudah serupa perpustakaan umum. Penuh dengan buku dan rak yang memenuhi ruang tengah serta ruang tamu. Ketika melihat Raina di Pulo Gadung tadi siang, saya merasa takjub luar biasa ketika gadis itu dengan lincah membacakan dongeng untuk anak-anak. Mimiknya lucu dan kalimatnya mengalir penuh antusias.
Tidak heran jika anak-anak sangat suka mendengar Raina bercerita. Termasuk saya pun dibuatnya terkesima. Raina, selain galak dan pandai mendongeng, apalagi yang belum saya ketahui tentangnya?
***
(Raina)
“Rai, jangan ngambek, dong! Abang minta maaf, nih.”
Aku mengambil bantal dan memukul bang Rio tanpa ampun. Rasanya ingin sekali meremat wajahnya yang oval dengan kulit kecoklatan itu. Geram sekali dengan perbuatannya tadi siang saat kami pulang dari Pulo Gadung. Abangku itu sudah sangat keterlaluan. Aku kesal!
“Abangkan hanya mau bantuin aja, Rai. Katanya kamu mau tahu seperti apa keseriusan Bagas sama kamu. Cara terbaiknya dengan bertanya langsung padanya.” Bang Rio menarik guling dan balas menimpuk wajahku.
“Tapi bukan dengan cara seperti itu, Bang! Raina jadi malu sama mas Bagas.” Kataku jengkel.
Bang Rio menatap usil, “Bukannya kamu senang kalau Bagas tahu yang sebenarnya?” Matanya mengerling jenaka. Membuatku tak bisa lagi menahan tawa.
“Memangnya yang sebenarnya apa, sih?” Tiba-tiba Ibu masuk dan bergabung dengan kami berdua.
Aku jadi semakin kesal sama bang Rio. Cara bicaranya yang slengekan itu telah mengacaukan banyak hal. Pertama, mas Bagas jadi tahu kalau aku sebenarnya mulai peduli dengannya. Dan kedua, Ibu jadi ikutan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan-jangan setelah ini mereka akan kompak meledekku habis-habisan. Aku menutup wajah dengan bantal. Menyembunyikan wajahku yang bersemu merah.
“Ini lho, Bu. Raina kayaknya mulai jatuh hati sama tetangga baru kita.” Bang Rio mencubit lenganku.
“O, ya? Sama Bagas? bagus, dong! Sebentar lagi Ibu bakalan nimang cucu.” Ibu tertawa dan membuat aku terbelalak seketika.
Aku punya anak? Membanyangkan menikah saja sudah sangat menakutkan lalu bagaimana jika aku hamil dan melahirkan?
“Tapi bang Rio katanya mau nikah duluan, Bu.” Aku menimpali sambil tersenyum sinis pada bang Rio.
“O, ya? Sama siapa Rio? Kok Ibu nggak pernah dikenalin sama calon menantu Ibu itu?”
Aku semakin cekikikan. Dan jelas saja bang Rio jadi gondok dibuatnya.
“Sama angin, Bu. Udah ah, Rio ngantuk kalau bahas beginian.” Katanya sambil berlalu dan meninggalkan kami berdua.
Ah, Ibu. Rasa-rasanya baru kemarin aku di pangkuannya. Kini usiaku sudah sedewasa ini bahkan akan segera menikah. Bagaimana aku bisa meninggalkan Ibu dan menetap bersama suamiku kelak?
“Bagas itu kayaknya nggak main-main, Rai. Apa kamu benar-benar suka sama dia?” Ibu mendekatiku dan menatap serius.
“Raina tak mengerti, Bu. Sepertinya Raina suka tapi jujur saja Raina takut jika saja mas Bagas…”
“Bohong?” Ibu bertanya lalu tertawa setelah melihatku menganggukkan kepala.
“Lelaki sebaik itu apa bisa berbohong, Rai? Rio bahkan sangat mengenalnya melebihi kamu. Tak pernah abangmu menceritakan sesuatu yang buruk tentang Bagas. Bismillah, Nak. Kalau memang jodoh, semoga bisa segera menikah. Ibu tidak mau lho terlalu lama menunggu.” Ibu menggamit daguku sambil tersenyum.
Ibu sangat memahamiku. Sejak dulu, hanya Ibu yang selalu jadi teman curhat. Bukan Ayah apalagi bang Rio. Ibu itu bukan hanya orang tua, tapi juga sudah jadi sahabat yang mengerti dan selalu memaafkan ketika aku salah. Dari Ibulah aku belajar tentang apa itu cinta.
Selama puluhan tahun menikah dengan Ayah, tak pernah terlontar kalimat mengeluh darinya apalagi menjelekkan Ayah. Padahal aku tahu, tidak sekali dua kali mereka bertikai. Katanya itu wajar. Namanya juga rumah tangga.
Dalam batin aku berkata, tak ingin berumah tangga dalam luka dan nestapa. Jika memang cinta, tentunya tak akan sanggup menyakiti pasangan meskipun hanya dengan sedikit kalimat sinis yang menyinggung perasaan.
Tapi baik Ayah ataupun Ibu, kutahu sama-sama menjaga. Tidak ingin sampai masalah keluar dari mereka berdua. Jika terpaksa kami tahu, maka dengan besar hati Ayah akan minta maaf di depan kami. Dan Ibu, selalu saja tanpa berat hati memilih memaafkan Ayah.
“Raina ingin sekali menerima mas Bagas. Tapi, Raina belum yakin seratus persen pada lelaki itu, Bu. Raina takut jika terburu-buru justru ada sesuatu yang disembunyikannya dari Raina.”
Ibu menaikkan kedua alisnya, “Apa yang Bagas sembunyikan selain ketampanan dan keshalehannya?” Ibu mengangkat bahu dan tertawa.
Aku tersenyum hambar, entahlah. Yang jelas meski sedikit demi sedikit aku mulai suka ketika bertemu mas Bagas, tapi ada sesuatu yang membuatku bimbang dan menunda untuk menerima pinangannya.
Allah, sungguh bukan hal mudah ketika aku memutuskan untuk jatuh hati tapi di lain sisi aku belum berani menerima segala konsekuensinya. Aku ingin menikah, tapi tidak ketika hatiku belum lega sepenuhnya.
***
Ketika akan menikah, aku tak pernah membayangkan betapa beratnya mengayuh sepeda berdua denganmu. Perjalanan yang tak sehalus tepung, kerikil serta batu-batuan yang justru berkali-kali menggoyahkan perjalanan kita, justru menjadi penguat dalam sebuah hubungan pernikahan.
Mustahil hidup tanpa ujian sebab semua itu sejatinya akan menguatkan. Maka dengan penuh keyakinan kutadahkan tangan mengharap Allah mengabulkan, semoga langkah kita dikuatkan meski cobaan membebani dengan begitu beratnya. Semoga Allah tetap menyatukan, meski nyatanya cinta kadang surut dan pasang.
Dalam kebimbangan yang merajai hati, kupanjangkan sujud memohon petunjuk. Sungguh debar hati tidak lagi bisa berbohong. Perasaan yang sungguh mengganggu dan menjadi alasan untukku memutuskan, menerima atau membuang wajahmu jauh-jauh dari pandanganku.
Dan jatuh hati pada orang yang tepat adalah sebuah anugerah. Dan anugerah dalam hidupku adalah kamu. Iya, kamu yang telah datang dengan gagah dan berniat meminangku.
***
(Bagas)
“Ayah!”
Gadis kecil berkuncir kuda itu segera menghampiri saya tepat di halaman rumah ketika saya bersiap pergi dan bertugas di rumah sakit. Saya memicingkan kedua mata, memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan penglihatan ini.
Gadis kecil berusia enam tahunan itu berlari dan memeluk saya. Masih dengan perasaan kaget tak terkira, seorang perempuan bertubuh tinggi keluar dari sebuah taksi. Rambutnya tergerai panjang hingga bahu. Sebelum saya sempat mengenali, suaranya yang khas tiba-tiba menyapa.
“Mas Permadi,” katanya sambil tersenyum.
Saya yang masih diliputi rasa kaget segera melepaskan pelukan gadis kecil itu. Memori masa lalu berputar begitu cepat. Mengingatkan pada kisah lama, tentang masa lalu dokter Bagas Permadi. Masa lalu saya yang dipenuhi oleh kebohongan dan luka.
“Apa ini?” Saya masih tak percaya dengan Sherly yang tiba-tiba saja muncul dalam kehidupan saya yang baru.
“Maafkan aku, Mas.” Katanya memelas. Membuat saya tiba-tiba saja merasa jengah dan mual dibuatnya.
“O ya, kenalkan ini Rara. Dia adalah…”
Kalimatnya tersekat di tenggorokan. Saya menatap Sherly sekali lagi, tidak percaya tapi binar di mata gadis manis itu menampakkan rasa rindu yang dalam kepada lelaki yang belum pernah disebutnya ayah.
“Siapa dia?” Tanya saya lagi. Masih menunggu dengan debar jantung yang tak karuan.
“Dia anakmu.”
“Anak?” Tanya saya sambil mengempas jemari kecil gadis bekuncir kuda menjauh.
DEG!!
Sebelum Sherly sempat mengangguk, Raina melintas dan menatap nanar ke arah saya. Oh, Allah, sejak kapan gadis berlesung pipit itu ada di sini dan mendengarkan percakapan kami?
***
Rara?
ReplyDeleteSherly..?Siapa lagi ini///
OOOhhhhh
Tinggal nunggu serigalanya :D
ReplyDelete