(Raina)
Bahagia itu hanya sebatas sesapan bibir tipismu
Pada salah satu sisi cangkir teh yang selalu aku hidangkan
Di dekat tempat berbaringmu...
“Benarkah?”
Aku menatap kedua matamu sekali lagi. Ingin memastikan bahwa ucapanmu barusan hanyalah sebuah guyonan. Tapi, hingga debar dalam dadaku semakin bergemuruh, wajahmu justru semakin serius meminta persetujuan.
“Apa Mas serius?” Suaraku terdengar serak. Kepala tiba-tiba saja terasa pening. Tidakkah aku sudah salah dengar, apakah benar kamu meminta izin untuk menikah lagi?
Kepalaku semakin berat, mata berkunang. Wajahmu seolah bayangan yang berputar semakin cepat. Membuat pandanganku kabur. Kemudian, hanya gerakan tubuh limbung dan kerasnya hantaman lantai yang menyentuh kepala yang pada akhirnya menidurkanku begitu lama.
***
Dia adalah tetangga dekat. Bangunan rumahnya berdiri tepat di depan rumahku. Namanya mas Bagas. Sore ini, dengan terburu-buru sekali, dia datang menemui ayahku. Wajahnya terlihat gugup. Berkali-kali kulihat kedua tangannya mengepal. Dia, setengah tersenyum saat melihatku mengantarkan secangkir teh manis di ruang tamu.
Tanpa menyapa, dia kembali menekuri kedua kakinya yang saling bersinggungan. Menahan gelisah yang menyergapnya tiba-tiba saat mulai mengetuk pintu rumahku.
Mas Bagas, dia tetangga baru. Enam bulan yang lalu baru pindah dari Surabaya. Penampilannya rapi dan sikapnya santun serta ramah. Aku mulai mengenal mas Bagas ketika tanpa sengaja bang Rio mengenalkannya padaku.
Rupanya dia adalah teman satu kampus bang Rio. Mahasiswa kedokteran yang terlihat tampan dengan kaca mata minus yang berada di atas hidung mancungnya.
Mas Bagas bahkan tak pernah sekalipun menyapa atau meminta nomor handphone. Sesekali saja kadang dia menitipkan salam lewat bang Rio. Aku pikir, itu hanyalah perkenalan biasa, salam tanpa rasa apalagi cinta. Insya Allah, aku mengenalnya sebagai pribadi yang shaleh. Tak banyak bertingkah bahkan cenderung pendiam ketika berhadapan dengan perempuan. Setidaknya seperti itulah yang sering bang Rio ceritakan akhir-akhir ini.
Hingga detik ini, tanpa basa basi dia datang dan berniat melamarku. Lelaki bertubuh tinggi itu datang dengan kemeja berwarna biru cerah serta selop berwarna abu-abu. Penampilannya sederhana, tapi selalu menyenangkan setiap kali bertemu atau tanpa sengaja bertatap muka dengannya.
Aku mengintip dari balik tirai. Menyibaknya sedikit, lalu tampaklah wajahnya yang bersih sedang bicara terbata, mengungkapkan isi hati dan keinginan segera menikahiku. Ayah tampak terkejut, namun tak lama kemudian segera memanggilku ke ruang tamu.
Sungguh sulit dibayangkan, bagaimana aku bisa menikah dengan laki-laki yang baru saja kukenal. Tidakkah bisa kita berteman sebulan atau dua bulan saja. Saling bertanya tentang kesukaan atau sesuatu yang barangkali harus saling diketahui sebelum akhirnya memutuskan untuk segera menikah.
Aku duduk dengan wajah bersemu merah. Tidak kalah gugup, bahkan kedua tanganku terasa sedingin es.
Ayah menjelaskan padaku tentang maksud kedatangan mas Bagas ke rumah. Lelaki itu, mengangkat wajahnya, melemparkan senyum ramah. Aku bingung harus balas tersenyum atau mendiamkan. Sebab, jantung masih melompat dan menghempas begitu dahsyat. Membuat debar tak karuan sejak pertama kali mendengarnya mengatakan ingin segera menikahiku.
Mas Bagas, menaikkan kedua alisnya, memohon persetujuan, supaya bisa segera menikahiku. Lelaki itu entah terlalu serius sehingga begitu cepat bertandang ke rumah atau justru terlalu terburu-buru?
Dan jujur saja aku tidak begitu suka dikejutkan dengan hal-hal seperti ini. Kejadian sore ini seperti mimpi yang bahkan malu mendatangi tidurku di malam hari. Sebab terlihat begitu mustahil. Hm, tapi aku harus percaya bahwa tidak ada sesuatu yang mustahil di sisi Allah. Pertemuan ini bukan sebuah kebetulan.
Aku bahkan tak tahu harus menjawab apa. Usiaku sudah menginjak 23 tahun. Sudah lulus kuliah, pengangguran dan tidak ada alasan untuk menolak sebuah pernikahan. Aku juga punya impian menikah, tapi rasanya ini terlalu cepat. Oh, Allah…
Belum lagi bang Rio yang tanpa henti selalu berniat menjodohkanku dengan teman-teman seprofesinya. Bang Rio kira aku ini gadis yang tidak laku. Padahal jodoh pasti bertandang meski tanpa diundang. Bukan begitu?
Oh, ya. Jangan-jangan mas Bagas datang ke rumah karena permintaan bang Rio. Kalau sampai itu benar, alangkah malunya aku. Seperti perawan tua saja. Ditawarkan ke sana kemari seperti permen. Aku berjanji akan memarahi bang Rio jika saja setelah ini dia segera muncul di hadapanku.
Tapi ini bukan hanya tentang bang Rio. Ini tentang lelaki tampan yang sedang berdebar menunggu jawabanku. Iya, apakah aku siap mendampingi masa sulit serta bahagianya ataukah aku menolak bersanding dengannya?
Sama seperti dirinya, hatiku pun melompat-lompat tak karuan. Keringat dingin mengucur meski kipas angin menyala bahkan menghadap wajahku.
Dengan gugup, berkali-kali kupilin ujung jilbab berwarna pastel. Bismillah…
***
Ketika membayangkan pelaminan dan siapa pasanganku kelak, aku sedikit takut dan mengusir pikiran itu jauh-jauh. Buru-buru mengatakan pada diri sendiri bahwa usia 23 tahun masih terlalu dini untuk memikirkan pernikahan.
Mungkin lebih baik mencari pekerjaan ketimbang segera menikah. Lagipula, teman-teman sebayaku juga masih single dan bahagia saja menjadi jomblo. Tapi, apakah aku juga bahagia menjadi jomblo dari zaman SD sampai kuliah bubar? Tentu saja kujawab lantang, “Aku adalah jomblo bahagia yang bermartabat!”
Bang Rio sering menertawakanku. Katanya jomblo sepertiku selalu saja kesepian setiap malam minggu. Seumur hidup, belum pernah dia melihat ada lelaki datang apel ke rumah. Jangan-jangan semua pemuda itu takut pada gadis galak sepertiku. Ah, bang Rio selalu saja berlebihan ketika bergurau, sehingga tak jarang kami selalu bertengkar. Tapi, kami juga tidak betah saling mendiamkan. Paling lama dua jam saja, setelah itu kami kembali akur dan parahnya bertengkar kembali.
Bang Rio memang keterlaluan. Padahal faktanya, bang Rio juga tidak pernah membawa gandengan ke rumah. Aku yakin sekali dia pun masih memilih fokus menyelesaikan kuliah S2 ketimbang pacaran yang tidak jelas ujungnya.
Tapi, rupanya ketika mas Bagas datang ke rumah dan berniat serius membina hubungan denganku, hati ini tersentuh dan jujur saja haru. Perasaan yang awalnya biasa menjadi spesial. Ini bukan hal baik. Tentu saja aku harus berhati-hati dengan perasaan. Sebab nyatanya kami masih berstatus sebagai tetangga bukan pasangan yang dihalalkan untuk saling jatuh hati. Jangan sampai hati ini salah melabuhkan cinta.
“Jadi kamu terima lamaran Bagas atau?” Tiba-tiba saja suara bang Rio mengagetkan. Setelah mengetuk pintu, tanpa permisi dia segera menyambar guling dan duduk manis di depanku.
Wajahku manyun seketika. Saudara laki-lakiku satu-satunya ini benar-benar tidak tahu diri. Masuk tanpa permisi dan tiba-tiba saja memberondongku dengan pertanyaan tentang mas Bagas.
“Kamu tahu nggak? Bagas itu nggak pernah dekat dengan cewek. Dia anak paling alim di antara teman-teman bang Rio. Udah pinter, pendiam pula. Kalau kamu tolak, bang Rio jamin kamu bakalan nyesel seumur hidup!” Tanpa titik, tanpa koma, bang Rio terus saja bicara.
Aku menarik napas, “Jadi, bang Rio sebaliknya? Kerjanya jalan melulu, nggak alim dan punya IQ rata-rata pula. Betul, Bang?” Aku tertawa. Lalu tanpa rasa iba bang Rio menjitak kepalaku keras.
“Sakiiit!”
*Bersambung
saya selalu salut dengan penulis fiksi, apalagi cerbung seperti mbaa..keren ceritanya..ditunggu kelanjutannya
ReplyDeleteNggak sabar nunggu besok..Baca sambungan cerbungnya...#eh pakai kata sambungan benar nggak ya :D
ReplyDeleteKereeen!
Makasih mbak...insya Allah nanti dilanjutken...^^
ReplyDeleteHihi, asal bukan ditambal aja mbak :D
ReplyDeleteDitunggu ya mbak, lanjutannya
ReplyDeleteLanjuut mbak.. ^^
ReplyDeletebaru mau mulai mengikuti, salam kenal
ReplyDeleteSalam kenal, terima kasih
ReplyDelete