(Raina)
Harapan itu menguap,
Menjelma mimpi,
Merenggut binar yang sempat singgah sejenak,
Dan menjadikanmu pangeran dalam kisah semalam
“Hayo, mikirin apa, sih, Rai?” pekik bang Rio sambil menepuk punggungku dari belakang.
Kalau kujawab, dia pasti akan menertawakanku lagi. Lebih baik aku menghabiskan sarapan dan segera berangkat mengajar. Anak-anak pasti sudah menunggu.
Tapi, bukan bang Rio kalau cepat menyerah. Dia memandangku lekat. Setelah menyesap teh hangat buatan ibu, bang Rio segera menyindir mataku yang sembab. Mungkin juga masih menyisakan kantung mata berwarna gelap. Kurang tidur dan menangis semalaman. Ah, menyesal rasanya karena sudah menghabiskan waktu untuk memikirkan mas Bagas.
“Kamu habis nangis, Rai?” Tiba-tiba bang Rio menunjuk kedua mataku.
Aku menggeleng. Menunduk demi menyembunyikan bengkak di kelopak mata. Kalau aku bilang, apa bang Rio akan marah? Atau justru dia jadi penasaran dan bertanya langsung pada mas Bagas? Aku jadi bingung harus apa. Lama-lama rahasia ini juga pastilah terbongkar karena mereka berdua merupakan teman satu kampus bahkan bertugas di rumah sakit yang sama.
“Jangan bohong, deh. Diapain sama Bagas?”
Bang Rio menatapku serius. Ini bukan dia yang biasanya. Bang Rio biasanya cuek dan tidak peduli. Dia suka usil dan tak punya perasaan. Tapi, kali ini kulihat bang Rio benar-benar bertanya, kenapa aku menangis?
“Apa yang dilakukan Bagas sama kamu? Ada yang nggak beres, nih!” ucap bang Rio sambil memicingkan matanya.
Ibu menyusul dari dapur sambil membawa sepiring buah yang baru dicuci. Melihat kami berdua saling diam, ibu pun jadi jauh lebih penasaran.
“Ada apa, Rio? Rai?”
Mungkin pertanyaan dalam hati ibu sudah bisa kutebak langsung. Kenapa kalian berdua tidak ribut di meja makan? Biasanya kalian tidak pernah berhenti bertengkar, bahkan saat makan pun seperti hendak saling lempar sendok dan garpu. Tidak ada habisnya.
“Rai habis nangis, Bu.”
Aku melotot. Sayangnya, sikapku barusan justru semakin menunjukkan betapa bengkaknya kelopak mataku. Aku jadi serba salah. Tidak mungkin aku ceritakan sekarang, bahkan sebenarnya aku masih ragu dengan kejadian kemarin pagi. Entahlah, aku hampir tak percaya kenapa bisa gadis setinggi foto model itu muncul di sini. Selama enam bulan bertetangga dengan mas Bagas, tidak pernah kulihat tamu selain bang Rio atau teman-teman kampusnya sesama laki-laki. Dan perempuan berwajah cantik kemarin seperti terlihat sangat mustahil berada di sana. Tapi, dia memang di sana, berhadapan dengan mas Bagas dan mengatakan sesuatu yang bisa membuat jantungku berhenti berdetak.
“Rai! Ada apa?” ibu mulai menatap dengan pandangan menyelidik.
Aku menggeleng. Segera menelan sisa roti di mulut dan meneguk susu hangat di meja.
“Rai berangkat dulu, Bu.”
“Eh, kamu mau ke mana lagi? Kami belum selesai bicara, lho!” tegur bang Rio sambil menarik tali ranselku dari belakang.
Aku kesal, segera menimpuk kepala bang Rio dengan kepalan tangan. Dia mengaduh dan segera mengusap kepalanya.
Ibu hanya tertawa, mengantarku hingga pintu depan. Sebelum pamit aku sempat mengatakan bahwa mungkin nanti atau entah kapan, aku akan bicara pada ibu tentang masalah ini. Ibu, seperti biasa mengangguk, tak pernah memaksa.
***
Aku bertemu mas Bagas. Tidak seperti biasa, dia menyusulku. Aku juga ingin bicara tapi sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Aku harus segera pergi dan menyusul teman-temanku. Mereka pasti sudah menunggu sejak tadi, begitu juga dengan anak-anak di sana.
Hampir tidak pernah kutinggalkan tugasku kecuali saat sakit dan terpaksa. Mungkin, urusan semacam ini bukan termasuk hal yang bisa dikategorikan darurat. Aku tak mau datang terlambat hanya demi mas Bagas. Dia pasti bisa menunggu. Dan aku pun bisa menunggu demi mendengar penjelasan atau bahkan kejujurannya.
Setelah menangis semalaman, aku merasa jauh lebih siap. Kenapa aku harus takut dibohongi sedangkan selama ini kami berdua memang tidak terikat apa-apa. Memang, rasanya sakit karena rahasia itu justru kuketahui dengan cara yang tidak seharusnya.
Aku berusaha memaafkan orang yang menyakitiku. Menyimpan rasa sakit hanya akan membuatku sulit bahagia menjalani hidup. Aku sulit tidur hanya karena memikirkan kejadian kemarin. Aku sulit berpikir tentang banyak hal termasuk soal anak-anak di kawasan pabrik itu hanya karena mas Bagas yang sempat melakukan sesuatu yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya.
Menjadi bagian dari luka adalah hal wajar yang terjadi di dalam hidup seseorang termasuk aku sendiri. Rasanya tidak mudah ketika mengharapkan seseorang, tapi kenyataannya justru dia sendiri yang mematahkan harapanku. Aku ingin mendengar langsung semua penjelasan dari mas Bagas. Ya, mungkin nanti saat kami punya waktu untuk bicara.
“Rai, maafkan mas. Mas ingin jelasin semuanya sama kamu.”
Aku hanya tersenyum dan berharap mas Bagas tidak melihat kelopak mataku yang bengkak akibat menangisi dia semalaman.
“Insya Allah nanti kita bicara. Rai harus segera pergi, Mas.”
Mas Bagas berhenti mengejar. Aku rasa dia mengerti. Kita akan bicara saat waktunya telah tiba. Entah kapan, atau mungkin selamanya tak akan pernah ada penjelasan berbeda seperti yang kuharapkan.
Allah, ternyata tidak mudah berdamai dengan hal semacam ini. Aku segera pamit. Berlalu meninggalkan mas Bagas. Insya Allah kita akan bertemu dalam keadaan yang jauh lebih baik.
***
(Bagas)
“Eh, Gas! Kamu apain Raina?”
Saya sempat kaget saat Rio tiba-tiba menyusul ke halaman rumah sesaat setelah Raina pergi.
“Eh, bukannya kita harus segera berangkat?” Jawab saya asal. Berharap dia tak memaksa saya bicara lebih banyak.
“Nggak, nggak. Adikku kayaknya nangis semalam. Matanya bengkak. Dan jangan bilang kalau kamu nggak tahu apa-apa soal ini?”
Saya tersenyum, sebagai seorang laki-laki saya harus jujur dan menjelaskan semuanya. Saya tahu, meski agak rame dan ribut, Rio sebenarnya adalah seorang kakak yang baik. Karena kami pun sudah berteman cukup lama, saya pun tahu lebih banyak tentang siapa Rio sebenarnya. Karenanya, saya tak ragu saat dia bertanya, dan saya akan jelaskan semuanya.
“Kita ngobrol di dalam.”
***
(Raina)
Bahagia itu hanya sebatas sesapan bibir tipismu
Pada salah satu sisi cangkir teh yang selalu aku hidangkan
Di dekat tempat berbaringmu...
“Benarkah?”
Aku menatap kedua matamu sekali lagi. Ingin memastikan bahwa ucapanmu barusan hanyalah sebuah guyonan. Tapi, hingga debar dalam dadaku semakin bergemuruh, wajahmu justru semakin serius meminta persetujuan.
“Apa Mas serius?” Suaraku terdengar serak. Kepala tiba-tiba saja terasa pening. Tidakkah aku sudah salah dengar, apakah benar kamu meminta izin untuk menikah lagi?
Kepalaku semakin berat, mata berkunang. Wajahmu seolah bayangan yang berputar semakin cepat. Membuat pandanganku kabur. Kemudian, hanya gerakan tubuh limbung dan kerasnya hantaman lantai yang menyentuh kepala yang pada akhirnya menidurkanku begitu lama.
***
Raina baru siuman setelah setengah jam dia jatuh pingsan. Bagas sempat panik meski dia seorang dokter, tidak mudah menghadapi kejadian seburuk itu tepat ketika dia meminta izin kepada istrinya untuk bisa menikah lagi.
Bagas berharap Raina tidak akan pernah salah sangka padanya. Dia tidak benar-benar mencintai Sherly, dia terpaksa melakukannya sejak tes DNA itu keluar dan gadis kecil yang sudah beranjak remaja itu ternyata benar-benar mewarisi kulit putih serta bibir tipis miliknya.
Bagas merasa menjadi lelaki paling bodoh. Hanya demi anak gadis yang tak pernah diharapkannya, dia rela menyakiti Raina. Istrinya tidak pernah mengeluhkan apa pun sejak mereka menikah. Meski Bagas lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit, wanita berlesung pipit itu tidak pernah keberatan. Belum lagi setelah memiliki anak, Raina menjadi wanita paling sibuk. Ah, rasanya Bagas teramat menyesal telah menuruti permintaan Rara.
Gadis kecilnya yang dulu, yang dia anggap bukan darah dagingnya, kemarin sekali memohon. Ya, hanya sekali. Dia meminta Bagas menikahi Sherly. Dengan tatapan dipenuhi hujan, Rara meminta Bagas menikahi ibunya. Ya, hanya sebentar saja. Setelahnya Bagas boleh melakukan apa pun termasuk meninggalkan Rara yang ternyata adalah darah dagingnya sendiri.
“Mama tidak punya waktu banyak. Dokter bilang mungkin hanya sebulan, bahkan bisa jadi kurang.”
Bagas menatap buah hatinya sekali lagi. Hampir tak percaya dengan apa yang diucapkan Rara.
“Rara mohon, menikahlah dengan mama supaya dia bahagia. Hanya sebentar saja,”
Tatapan gadis itu semakin deras. Bagas mematung. Mungkin bukan hal masuk akal, tapi mungkin dia bisa mengabulkan permintaan terakhir gadis itu. Bagas tersadar dari lamunannya, sebuah anggukan pada akhirnya menyembulkan senyum manis pada wajah Rara. Sedetik kemudian, gadis yang tak pernah disebutnya anak itu berkali-kali mencium tangannya, menangis amat dalam.
***
Makin seru aja ini...Memang ada apa dengan Sherly?
ReplyDeleteOooh...what next?
Saya juga bingung nih ngelanjutinnya mbak...hehe
ReplyDelete