“Kenapa buru-buru?”
Raina memalingkan wajah, tak mengacuhkan pertanyaan dari orang yang amat dikenalnya.
“Aku antar?”
Raina bergeming. Sepasang bola matanya menyapu jalan. Belum ada taksi lewat. Dia harus bergegas. Waktunya hanya sedikit. Ajakan lelaki berkemeja rapi di sebelahnya adalah sebuah jawaban. Namun, wanita dua puluh tujuh tahun itu enggan mengiyakan. Ada sesak yang mengganjal. Dia tak mungkin menerima tawarannya.
“Raina, aku akan antar,” sekali lagi suara itu tampak lebih tulus terdengar. Raina bahkan tak menitipkan seulas senyum sebagai jawaban. Tak ada gelengan kepala atas sebuah penolakan. Wanita dengan long cardigan abu-abu itu justru lebih serius menatap smartphone sambil memesan sebuah taksi online.
“Rai, kamu masih marah?”
Lelaki itu memaksa menguak sebuah luka lama. Luka yang sebenarnya masih belum kering sempurna. Bagaimana bisa dia bertanya sedangkan sejak awal Raina tak pernah memaafkan? Sudah lupakah bagaimana dia dengan amat menyakitkan memperlakukan wanita berperawakan tinggi itu? Sudah hilangkah bayangan penuh hujan yang kemarin bergetar dan memohon sebuah keputusan? Dan lelaki dengan dasi merah marunnya tiba-tiba bertanya tentang perasaan yang telah sengaja dikoyak. Bagaimana rasanya?
Tentu saja Raina tak merasa perlu memedulikan apalagi menjawab semua pertanyaan itu. Dia amat mengenalnya. Namun tak pernah disangka, sakit hati justru datang dari lelaki itu. Kenapa dia tega?
“Rai, aku minta maaf,” kali ini terdengar memaksa. Tangan kukuhnya menarik pergelangan Raina. Dengan keterkejutan luar biasa, sontak wanita berparas ayu itu menghempas dengan mata terbeliak.
“Di antara kita tak ada hubungan apa pun. Jadi tak pantas bicara berdua seperti ini.”
Lelaki di sebelahnya menyesal. Menangkupkan kedua tangan dan meminta maaf berkali-kali. Dia seolah mengemis belas kasih, tapi Raina tetap tak ingin mengangguk apalagi mengiyakan. Luka itu bahkan terasa lebih perih sekarang.
***
Ibu masih terlelap. Tekanan darahnya berangsur normal. Raina tergugu. Wanita enam puluh tahun itu kini dipenuhi guratan usia. Kelopak mata dan keningnya tampak lebih keriput. Lelah dan beban pikiran terasa amat menyiksa. Raina memang sudah berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran, sebuah cita dan asa orangtua serta keinginannya yang melambung sejak usia dini. Namun, nyatanya hidup senantiasa menghadirkan kisi-kisi lain. Selalu ada bahagia di antara duka. Begitu pun sebaliknya.
Ketika keberhasilannya menjadi dokter teramat memikat, maka pernikahan dan menjadi seorang istri adalah impian berikutnya. Dan Tuhan telah menurunkan kebahagiaan beruntun, lelaki dengan wajah tampan yang sejak lama menjadi teman kuliah, memutuskan melamar meski keduanya tak pernah menjalin hubungan istimewa.
Diam-diam lelaki berkacamata minus itu menyukai Raina meski tak sekalipun mengungkapkan. Dia menunggu meski nyatanya tak selalu mudah. Berhadapan dengan wanita behidung mancung itu membuatnya selalu gugup. Dia bertingkah aneh demi menutupi resah yang selalu datang tanpa diminta.
Satu, dua, hingga tiga tahun berikutnya, rasa itu tak berkurang, justru semakin sempurna. Cinta yang bagi sebagian orang terasa lebih indah, kini justru menyiksa. Pada akhirnya, Faris memberanikan diri melamar Raina. Datang ke rumah wanita cantik itu dengan kedua orangtua. Menyatakan cinta serta berharap bisa menikahinya.
Raina yang baru saja menyulam bahagia, tiba-tiba berbunga. Faris muncul sebagai seorang teman yang selalu siap membantu. Baginya itu istimewa meski tak pernah berharap lebih. Nyatanya, lelaki itu menyimpan rasa. Raina menerimanya penuh haru. Faris tertunduk sambil mengusap keningnya yang basah.
Lamaran dilaksanakan sebulan setelahnya. Pertemuan kedua keluarga. Hanya dihadiri orang-orang terdekat. Penetapan tanggal pernikahan dan tak ada lagi selain senyum menyembul dari kedua orang yang sedang jatuh cinta.
Sepertinya Tuhan sedang menghujani mereka dengan kebahagiaan. Tapi badai dan petir itu tiba-tiba saja datang tanpa diundang. Pernikahan yang tinggal beberapa pekan, undangan yang disebar ramai berubah jadi malapetaka.
Raina mengusap kedua sudut matanya yang basah. Ibu menarik selimut. Membuyarkan lamunannya. Cepat-cepat Raina membantu. Wanita yang rambutnya mulai beruban itu kembali terlelap. Tak menyadari sejak tadi ada Raina di sampingnya.
Pukul sembilan malam, Raina beranjak. Masuk ke kamar dengan perasaan kalut. Pertemuan sore tadi dengan Faris membuatnya terpaksa mengingat kelamnya masa lalu. Cinta yang masih tersisa namun harus segera pupus sebab takdir tak menghendaki keduanya bersama. Bagi Raina, keadaan saat itu amat menyakitkan. Perlakuan Faris yang tak sesuai harapan membuatnya sulit memaafkan. Jika memang tak bisa memperjuangkan, lantas kenapa dengan antusias menyatakan cinta?
Telepon berdering. Sebuah panggilan dari orang yang baru saja menyelinap dalam pikirannya. Sudah tiga tahun, Faris seolah menghilang. Pernikahan serta resepsi megah yang dibatalkan dengan tiba-tiba membuat keduanya menjaga jarak.
Raina ragu. Mengambil handphone dan menaruhnya lagi. Dering ketiga, Raina mulai tak mampu. Dia meringkuk di ujung tempat tidur. Menangis. Suara dering telepon tak mau berhenti. Entah apa yang ada di dalam pikiran Faris. Seharusnya cukup sakit dan luka kemarin, tak perlu menambah apalagi menabur harapan baru yang mustahil diwujudkan.
Raina mengusap kedua matanya yang basah. Lelaki itu masih berusaha dan enggan berhenti. Raina mengumpulkan sisa keberanian, mengangkat telepon, dan suara itu memecah hening.
“Raina, aku ingin bicara.”
“Tentang apa?” Raina duduk di depan meja rias. Tubuhnya lemas seketika.
“Tentang kita,” Faris terdengar menarik napas dalam.
Apa yang akan dibicarakan lagi? Rasa malu atas pernikahan yang gagal digelar? Atau tentang rasa yang berubah semburat penuh luka? Raina mengerutkan kening.
“Aku tak punya banyak waktu.”
“Raina, aku minta maaf karena dengan tiba-tiba membatalkan pernikahan. Bukan aku yang mau. Ibu tiba-tiba saja menolak dan ingin menikahkanku dengan sepupu yang baru datang dari Malaysia. Sejak lama ibu mengharapkan dia menjadi menantu…”
Raina termangu. Kalimat-kalimat itu seolah dusta. Sejak kapan ada seorang ibu yang rela merusak bahagia putranya? Apakah Faris sebodoh itu hingga tak mampu menolak? Lantas, bagaimana dengan udangan yang disebar dan pernikahan yang hanya sebentar lagi digelar? Apakah Faris sudah berbohong? Tapi, lelaki yang selalu tersenyum ramah itu hampir tak pernah melakukannya. Sejak kedatangannya terakhir ke rumah Raina, dia tak lagi muncul dan tak pernah memberikan alasan. Seolah dialah orang paling bertanggung jawab atas batalnya pernikahan mereka.
Sekarang, tiba-tiba saja Faris muncul dan membuat kejutan luar biasa. Ada apa ini? Raina menghapus resah. Tiba-tiba saja kepalanya pening.
Faris percaya ini akan sia-sia. Dua hari yang lalu, dia baru kembali ke tanah air. Sekian lama menghilang demi menghindari perjodohan yang tak pernah diinginkan. Sekuat tenaga mencari alasan supaya sang ibu tak terluka. Berniat melanjutkan kuliah spesialis di luar negeri. Berjanji akan kembali dan menyembuhkan luka orang terkasihnya.
Pertemuan tanpa sengaja di kafe sore tadi membuat semua rencana Faris berantakan. Awalnya, dia hanya berniat bertemu sahabat lama. Tak disangka, di sana ada Raina yang ternyata masih menyimpan luka atas kejadian bertahun silam.
Faris menyesal dan segera menyusul ketika Raina tiba-tiba beranjak tanpa menyentuh segelas cappucino yang sudah dipesannya.
Raina mengaku kecewa telah datang sore itu. Bukan hanya karena pertemuan tanpa diduga dengan mantan tunangannya, tapi lebih berat meninggalkan ibu dengan kondisi yang sedang memburuk. Sebuah pesan singkat dari adik bungsu membuatnya segera beranjak. Beberapa pasang mata yang melihat merasa ikut bersalah karena sudah mengajak keduanya hadir. Pertemuan penuh luka.
Usia ibu memang tak lagi muda. Namun sakit itu muncul sejak pernikahan putri sulungnya yang batal dilaksanakan. Raina merasa amat bersalah, kenapa harus menerima pinangan Faris. Sesal yang selalu datang di akhir.
“Rai,” tiba-tiba suara Faris mengejutkannya.
“Iya,” Raina mencoba berdamai. Tak baik menyimpan sakit hati terlalu lama. Itu hanya akan menghambat bahagia.
“Aku ingin kita menikah.”
Terasa disayat sembilu. Lelaki itu dengan mudahnya mengucap kalimat yang sama berulang kali.
“Faris, aku harus segera tidur.”
Raina memutus telepon sebelum lelaki itu sempat menolak. Dia bergegas merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bergelung dalam selimut. Menangis sejadinya. Gemuruh dalam dada yang membuncah, rindu dan sakit yang berjejalan. Ada apa ini? Kenapa rasanya begitu sakit?
Raina menarik napas dalam. Satu jam kemudian tak juga mampu memejamkan mata. Sementara lelaki di seberang sana merasakan kekalutan serupa. Raina beranjak, mengambil wudhu dan menggelar sujud panjang. Ribuan duri yang menusuk dilepaskannya pelan.
Tanpa disadari, lelaki yang dulu amat dicintai sedang melakukan hal serupa. Sujud serta doa mereka menghentak ketenangan langit. Tangis keduanya menghadirkan ribuan cahaya. Malam yang semakin beranjak, hati yang mulai luluh dan ikhlas. Raina mencoba memaafkan meski terlalu sakit. Faris mencoba mengikhlaskan walau kenyataannya, perasaan itu tak berkurang meski hanya sejengkal saja.
***
Raina terhenyak mendapati seorang perempuan paruh baya sedang berdiri di depan pintu. Dia begitu mengenalnya. Tiba-tiba saja wanita itu merengkuhnya dengan suara isak yang terdengar putus-putus. Dengan ragu, Raina membalas pelukannya. Mencoba menerka apa yang akan disampaikan.
“Maafkan ibu. Selama ini ibu egois. Ibu sudah melukai kamu dan keluargamu.”
Raina tergugu. Rasanya seperti mimpi. Wanita yang dulu menolak pernikahannya kini datang dan meminta maaf. Faris membuktikan ucapannya, kalimatnya semalam bukan dusta.
Tiba-tiba saja Raina ingin menangis mengingat bagaimana ibunya jatuh sakit dan dirawat hingga berkali-kali sejak batalnya pernikahan itu. Ada banyak luka yang tak akan sembuh hanya dengan kata maaf. Ada banyak kejadian menyakitkan yang tak bisa dihapus hanya dengan kalimat sederhana itu. Tapi hati yang ikhlas tentu tak mengharapkan semua luka itu menguap. Raina selalu percaya, tak ada kejadian tanpa kehendak Tuhan.
“Ibu ingin kalian menikah. Ibu tak akan menghalanginya lagi.”
Raina termangu. Kedua bola matanya membulat. Kristal bening bergulir. Raina menemukan lelaki berkamata minus itu sedang tersenyum di hadapannya sebelum sempat dia menghapus tangis. Faris kembali, menunaikan janji yang sudah terpatri di dalam hati. Menikahi bidadarinya, menyembuhkan lukanya.
Comments