“Kayaknya dalemnya nggak mateng, ya?”
“Kalau nggak suka jangan dimakan!” Sahutku ketus. Buru-buru kubawa piring ke dapur. Menaruhnya di atas meja. Lalu menutupnya. Memaksa melupakan kejadian barusan. Berharap ingatanku menguap seketika. Ah, sulit! Aku justru berbalik menatapnya. Mengambil sepotong donat dengan garis putih di tengahnya. Permukaannya lembut saat kupegang. Walaupun sudah mulai kering. Mungkin karena sudah dingin, pikirku.
Aku pun menyobeknya. Lalu tampaklah adonan basah di tengah. Donatnya memang mentah. Tidak matang sempurna.
Ah, mas Aji memang benar. Donat ini tak layak dimakan. Tapi, harusnya mas Aji menghargai kerja kerasku. Bisa saja dia berpura-pura memakannya. Rasanya tak terlalu buruk. Apalagi jika dimakan bersama butter cream dan taburan mesis. Lidahku masih menerima. Sekali lagi aku mendengus kesal.
Susah payah bangun pagi. Selesai qiyamul lail langsung menimbang terigu di dapur. Memasukkan ragi dan beberapa bahan lainnya. Mengaduknya dengan tangan hingga pegal. Aku ingin mas Aji makan masakanku. Walaupun tak selalu sempurna, tapi aku tak pernah berhenti mencoba.
Aku mengintip ke ruang tengah. Lelaki kesayanganku sedang tertawa menyaksikan sebuah tayangan komedi di televisi. Sedangkan aku justru sedang menahan isak. Memaksa berdiri dengan menopang tubuh pada meja makan. Aku tak ingin dia mendengar tangisku. Kuharap mas Aji mengerti tanpa harus kuberi tahu.
Mas Aji memang pemilih soal makan. Sejak menikah, aku bahkan tak begitu hafal makanan kesukaannya. Bayangkan saja, dia bisa dengan lahap makan cumi-cumi bersantan yang dimasak oleh ibu. Dan menolak mentah-mentah ketika aku membuatnya. Sungguh menyakitkan!
Dia pun susah sekali makan sayuran. Terlebih yang berwarna hijau. Jika aku membuat sayur sop, wortel dan beberapa sayuran pelengkapnya akan tersisa di piring. Seringkali aku jadi enggan memasak. Capek-capek tapi tak pernah dihargai. Kadang hanya dilihat lalu diendus sekilas. Lantas ditinggal pergi. Itu bukan hanya terasa menyayat hati, namun berserakan sudah perasaanku.
Aku juga mengeluhkan soal kebiasaannya minum yang manis. Dia tak suka air putih. Padahal, aku mengkhawatirkan kesehatannya. Kakak iparku mengidap diabetes. Itu sebabnya aku berusaha memberikan air putih lebih banyak. Namun, hasilnya nihil. Dia hanya menyeruput sedikit. Jadi, terpaksa selalu kubuatkan teh manis atau kopi susu favoritnya.
“Aji, kamu kok tambah kurus aja?” Celetuk salah satu saudara kami suatu hari ketika berkunjung ke rumah.
Sungguh aku malu ketika ada orang menyindir tubuh mas Aji yang ramping. Mereka seolah menyebutku sebagai istri yang tak pandai melayani suami. Lihat saja, kebanyakan orang akan naik berat badannya hingga sulit direm saat sudah menikah. Sedangkan mas Aji, justru semakin terlihat kurus. Hanya tersisa kulit yang membungkus tulang.
Napasku berat. Mata berkabut. Aku menyuap sepotong donat dengan paksa ke mulut. Mengunyah cepat. Separuhnya lagi kuremat. Permukaannya basah terkena air mata.
Aku ingin menyalahkan mas Aji. Namun, aku sendiri rupanya memang tak pandai memasak. Semakin geram rasanya mengingat saat dia melempar sisa donatnya pagi ini. Padahal dia tahu, aku bekerja keras demi itu.
Tiba-tiba terngiang ucapan teman dekatku. Ketika dia membuat kue brownis coklat sebagai kado ulang tahun suaminya. Kue berwarna gelap itu pun sukses dibuat. Namun sayang, hasilnya bantat. Lalu aku begitu heran dengan kalimat yang dia ucapkan selanjutnya.
“Alhamdulillah punya suami neriman. Suamiku bilang dia akan menghabiskannya walaupun kuenya gagal,” dia tertawa tanpa beban.
Ah, andai itu mas Ajiku. Tentu aku tak akan sesakit ini.
***
“Hari ini kamu masak apa, Nad?” tanya mas Aji sambil mengintip ke dapur. Aku tersenyum hambar. Mengaduk sayur bayam. Lantas memasukkan potongan tomat ke dalamnya.
“Tumben nggak bikin kue?”
Aku menggeleng. Walaupun sangat ingin, aku akan memikirkannya seribu kali. Lelahnya memang tak seberapa. Namun, sakitnya akibat dihina itu sulit sekali disembuhkan. Memang akhir-akhir ini aku jadi malas ke dapur. Mas Aji mungkin merasakan itu. Aku hanya memasak menu sederhana. Itu pun makanan yang jelas-jelas akan mas Aji terima. Seperti sambal dan pindang goreng. Untuk kali ini aku enggan mencoba resep rumit. Salah sedikit bisa fatal akibatnya bagi perasaan.
Tiba-tiba saja mas Aji menyodorkan mangkuk kosong padaku, “Aku lapar, Nad.”
“Mas mau sayur bening?” tanyaku heran sambil menebak lekuk indah di wajahnya.
Dia mengangguk. Mengambil satu piring kosong dan mengisinya dengan nasi panas. Entah harus tersenyum senang atau bahkan menangis. Perasaanku campur aduk melihat mas Aji makan dengan lahap. Lauk sederhana. Tempe goreng, sambal terasi serta sayur bening yang biasa dia tolak. Kali ini dihabiskan.
Mas Aji tak suka memuji. Dia juga tak banyak bicara ketika bersamaku. Terkadang sikap diamnya bagiku adalah sebuah pujian. Jika suaranya keluar, pastilah hanya protes tajam yang menyentuh gendang telinga. Aku lebih suka dia diam. Itu lebih menenangkan.
Sorenya aku memberanikan diri membuat roti. Kubayangkan aroma butter yang menyebar ketika roti baru keluar dari oven. Panas-panas aku bisa mencobanya. Mas Aji pasti senang jika aku bisa menyajikannya sore ini sebagai teman minum teh.
Terigu kutimbang hati-hati. Begitu juga dengan ragi, gula pasir serta butter. Roti ini kubuat dengan senang hati. Penuh senyum dan berdzikir tiada henti. Berharap tak ada masalah lagi.
Tiga kali proofing. Roti mengembang cantik. Sambil menunggu dioven, aku pun mengerjakan pekerjaan lain yang belum sempat kuselesaikan. Menjemur baju. Aku pun terburu-buru saat menuruni anak tangga. Gawat! Rotiku belum kutengok sejak tadi.
“Yah, gosong!” Celetuk mas Aji yang ikut nimbrung di belakangku. Rotinya memang mengembang cantik. Namun sayang over bake. Belum lagi permukaannya yang sedikit menghitam. Ah, mas Aji pasti akan menghabisiku setelah ini.
“Rotinya agak pahit-pahit gitu, Nad.” Ucapnya sambil mengambil sepotong. Lalu mengembalikannya lagi.
Benarkan? Aku sudah bilang. Bahkan beribu kali kuingatkan pada diri sendiri. Mestinya tak perlu capek-capek membuat roti. Biarkan saja mas Aji beli di supermarket dekat rumah jika mau. Kalau sudah begini, bagaimana aku bisa menyatukan hati yang berserak? Detik itu juga aku menangis dan menghambur dalam pelukannya. Aku sungguh tak tahan. Sekian lama memberikan kode supaya mas Aji lebih berhati-hati saat bicara padaku. Hasilnya tak pernah menggembirakan. Dia hanya bicara tentang apa yang ada di kepalanya. Mengabaikan soal hati. Membuang jauh rasa peka yang harusnya dia miliki.
Mas Aji tertawa, “Ada apa, Nadia? Apa aku salah bicara?” tanyanya sambil melingkarkan kedua lengan pada tubuh mungilku.
Tentu saja mas Aji salah bicara. Kenapa bicara terlalu banyak? Satu kalimat saja sudah menikam apalagi dua. Aku berteriak dalam hati.
“Nad?” tiba-tiba lelaki tiga puluh tahun itu menarik daguku menghadap wajahnya. Aku melihat pelangi dalam hangat tatapnya. Dia tersenyum. Menyuruhku berhenti menangis. Tapi, perasaanku menentang.
Aku memilih pergi. Berlari meninggalkan dapur yang masih berantakan. Sendiri dan menangis di dalam kamar. Mas Aji tak berusaha mengejar. Harusnya dia datang padaku dan meminta maaf. Itu yang aku butuhkan saat ini. Namun, sepertinya sinyal di rumahku cukup lemah. Sehingga membuat mas Aji tak pernah memahami apa yang sebenarnya aku inginkan. Seperti inikah rasanya disakiti?
***
Langit masih gelap ketika mas Aji menyalakan motor dan bergegas ke kantor. Sebelumnya dia mencium keningku. Berpamitan lantas mengusap kepalaku pelan. Aku hanya bergeming. Masih terbawa rasa sendu kemarin sore.
“Mas berangkat ya, Nad.”
Aku menggangguk. Mengantarnya sampai pintu pagar dan membalas salamnya lirih.
Kemarin memang mas Aji melakukan kesalahan. Ya, setidaknya aku merasa dia tak cukup peka untuk menerka perasaan dan sakit hatiku. Tapi, pagi ini justru sebaliknya. Mas Aji pergi bekerja tanpa sempat sarapan atau pun minum teh.
Tiba-tiba air mataku meleleh. Karena terlalu banyak menangis, aku pun kesulitan memejamkan mata. Hingga larut malam aku masih terjaga. Imbasnya, aku bangun kesiangan dan mas Aji, seperti biasa tak pernah merasa ingin membangunkanku.
Pukul lima tiga puluh aku menemukan mas Aji sudah berdiri rapi di depan cermin. Aku yang baru saja bangun dengan masih mengenakan mukena terlonjak kaget. Rupanya aku tertidur usai shalat fajar.
“Kok aku nggak dibangunin?”
“Aku nggak tega bangunin kamu, Nad. Kayaknya kamu capek banget.” Meleleh sudah semua kebekuan semalam. Tanpa protes apalagi marah. Kalimat yang datar tanpa sakit hati. Aku telah melakukan kesalahan besar dengan menyakiti suamiku sendiri.
Kemarin aku menyalahkannya untuk banyak hal. Tentang sikapnya yang kurang peka. Tentang ucapannya yang menyakitkan. Bahkan tentang banyak hal yang sampai sekarang justru tak kulihat di mana letak kesalahannya.
Sekelebat bayangan berhamburan di pelupuk mata. Isakku berlarian. Gemuruh di dada semakin membuat sesak. Aku melihat mas Aji tak pernah naik pitam ketika aku marah. Dia lebih banyak diam sehingga pertengkaran kecil di rumah selalu berakhir cepat. Aku membayangkan dia yang tak pernah memprotesku soal sarapan pagi yang sering terlewatkan. Padahal dia harus menempuh jarak puluhan kilo meter demi sampai ke tempat kerja. Mas Ajiku yang neriman. Tak meminta ganti menu ketika masakanku tak sesuai dengan keinginannya. Dia memilih menahan lapar. Tak makan hingga keesokan harinya.
Kejadian itu bermunculan bagaikan slide-slide yang sedang menampar keras wajahku. Segera kuambil handphone yang tergeletak di meja kamar. Mengetik pesan singkat.
“Maafkan aku, Mas…”
***
Comments