(Ketika aku mulai memintal mimpi, kamu gagak yang meremukkannya lekas.)
“Aku minta maaf,” sambil menahan sesak, sepotong kalimat tanpa hati kulontarkan pelan. Sayup-sayup namun mampu membuatnya beralih menatap wajah sembabku.
“Aku hampir saja berpikir akan menceraikanmu,” katanya dengan tatapan tajam menghunjam. Akhirnya dia ucapkan kalimat itu.
Tanganku merengkuh perut yang mulai membesar. Tangis semakin menjadi. Menahan hanya membuat letupan isak yang melompat-lompat tanpa aturan. Aku hampir kehilangan napas. Berusaha menenangkan diri dan tak terpancing dengan keributan kecil barusan.
Dia, lelaki yang menikahiku atas nama cinta, kini sedang berdiri dan mencengkeram pergelangan tangan kananku. Sekuat tenaga ingin kuhempas, namun sekuat itu pula dia menarik dan meremat penuh kebencian. Aku hampir tak percaya jika dia adalah orang yang sama dengan lelaki yang berlutut di hadapanku, membawa setangkai mawar merah dengan sebuah cincin tergantung manis di tangkainya.
Mas Rio, dia memintaku menjadi pendamping hidupnya, menghabiskan masa senja dengan penuh kehangatan dan cinta. Janji-janji manis itu pada akhirnya meluluhkan hati seorang perempuan sepertiku. Mengangguk dan mengiyakan. Tanpa tahu, ternyata ada seorang perempuan yang selalu resah menunggunya pulang.
Pernikahan tanpa pesta, hanya undangan beberapa, dan sejak saat itu aku resmi masuk dalam kubangan penuh kepedihan.
Lelaki selalu bermulut manis, pembuktian tak jarang berakhir pahit. Jika saja sejak awal aku menunda, mungkin tak sepilu ini kejadiannya. Sebulan paska pernikahan, aku bahagia penuh haru, menggamit lengan mas Rio dan dengan tatapan berbinar, kusampaikan kabar bahagia itu.
“Aku hamil, Mas!” Sahutku sambil menunjukkan testpack dengan dua garis merah.
Mas Rio tersenyum sinis, lantas buru-buru melepaskan tanganku.
“Harusnya kamu tunda dulu kehamilanmu! Bukankah dari awal aku menyuruhmu minum pil. Mas belum siap punya anak.”
Aku salah. Dia tak berbahagia atas janin yang sedang meringkuk di dalam rahimku. Pernikahan tanpa seorang anak bukankah terlalu hambar? Setiap pasangan akan merasa kesepian ketika di rumah tak tedengar lengkingan tangis bayi. Rumah seolah gersang tanpa rinai tawa anak-anak yang berlarian. Apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan, Mas? Bukankah pernikahan kita diawali sebuah harap dan janji kebahagiaan? Lantas apa yang sekarang aku dapat?
“Gugurkan saja!”
“Apa?” Tanyaku tak percaya, “aku tak mau!” Balasku cepat.
“Kenapa tidak? Usianya baru beberapa minggu. Apa susahnya?”
Aku beralih menatapnya, “Aku ibunya, tentu aku berhak atas janin dalam rahimku!”
“Ah, kamu hanya merepotkan saja!” Pekiknya sambil berlalu dan meninggalkan ngilu.
Setelahnya, hanya keributan dan tangis yang memenuhi rumah kecil kami. Mas Rio yang sejak awal selalu uring-uringan, kini semakin buruk saat aku mulai mengandung. Aku tak memahami, kenapa mas Rio selalu menertawakan mimpi yang susah payah aku sulam.
Dia, lelaki yang menikahiku atas nama cinta, kini sedang berdiri dan mencengkeram pergelangan tangan kananku. Sekuat tenaga ingin kuhempas, namun sekuat itu pula dia menarik dan meremat penuh kebencian. Aku hampir tak percaya jika dia adalah orang yang sama dengan lelaki yang berlutut di hadapanku, membawa setangkai mawar merah dengan sebuah cincin tergantung manis di tangkainya.
Mas Rio, dia memintaku menjadi pendamping hidupnya, menghabiskan masa senja dengan penuh kehangatan dan cinta. Janji-janji manis itu pada akhirnya meluluhkan hati seorang perempuan sepertiku. Mengangguk dan mengiyakan. Tanpa tahu, ternyata ada seorang perempuan yang selalu resah menunggunya pulang.
Pernikahan tanpa pesta, hanya undangan beberapa, dan sejak saat itu aku resmi masuk dalam kubangan penuh kepedihan.
Lelaki selalu bermulut manis, pembuktian tak jarang berakhir pahit. Jika saja sejak awal aku menunda, mungkin tak sepilu ini kejadiannya. Sebulan paska pernikahan, aku bahagia penuh haru, menggamit lengan mas Rio dan dengan tatapan berbinar, kusampaikan kabar bahagia itu.
“Aku hamil, Mas!” Sahutku sambil menunjukkan testpack dengan dua garis merah.
Mas Rio tersenyum sinis, lantas buru-buru melepaskan tanganku.
“Harusnya kamu tunda dulu kehamilanmu! Bukankah dari awal aku menyuruhmu minum pil. Mas belum siap punya anak.”
Aku salah. Dia tak berbahagia atas janin yang sedang meringkuk di dalam rahimku. Pernikahan tanpa seorang anak bukankah terlalu hambar? Setiap pasangan akan merasa kesepian ketika di rumah tak tedengar lengkingan tangis bayi. Rumah seolah gersang tanpa rinai tawa anak-anak yang berlarian. Apa sebenarnya yang sedang kamu pikirkan, Mas? Bukankah pernikahan kita diawali sebuah harap dan janji kebahagiaan? Lantas apa yang sekarang aku dapat?
“Gugurkan saja!”
“Apa?” Tanyaku tak percaya, “aku tak mau!” Balasku cepat.
“Kenapa tidak? Usianya baru beberapa minggu. Apa susahnya?”
Aku beralih menatapnya, “Aku ibunya, tentu aku berhak atas janin dalam rahimku!”
“Ah, kamu hanya merepotkan saja!” Pekiknya sambil berlalu dan meninggalkan ngilu.
Setelahnya, hanya keributan dan tangis yang memenuhi rumah kecil kami. Mas Rio yang sejak awal selalu uring-uringan, kini semakin buruk saat aku mulai mengandung. Aku tak memahami, kenapa mas Rio selalu menertawakan mimpi yang susah payah aku sulam.
Menjadi seorang ibu adalah hal sempurna yang dirasakan seorang perempuan sepertiku. Lantas laki-laki dengan wajah sinis itu mematahkannya begitu cepat. Ah, menyesal memang selalu di akhir. Dulu, ibulah yang paling keukeuh menolak pernikahan kami. Katanya mas Rio terlalu terburu-buru, pembuktian dan jati dirinya belum jelas dan sulit sekali ditebak. Sedangkan pernikahan butuh seorang lelaki yang bertanggung jawab, bukan hanya mengobral janji dan rayu.
Namun, keinginanku jauh lebih kuat, hingga akhirnya ibu pun luluh. Mas rio resmi mempersuntingku. Lelaki yang muncul sebagai rekan kerja di perusahaan tempatku bekerja akhirnya menjadi partner dalam kehidupanku. Tapi, secuil mimpi dan harap itu pun berkeping. Hancur dan menyisakan sesak setiap malam.
Sejak hamil, aku memutuskan untuk resign dari kantor. Dan saat itu pula, mas Rio seolah menghilang dari pandangan. Hampir bisa dihitung berapa malam dia menginap di rumah. Selebihnya memilih lembur di kantor. Aku hampir tak percaya sebab sebelumnya, lelaki itu selalu pulang tepat waktu. Pekerjaan yang dia sebut sebagai alasan bagiku tak masuk akal. Namun, mengeluh hanya membuatnya semakin geram dan naik pitam. Aku menyerah. Lebih banyak diam dan mengajak janinku bicara.
*****
Keributan kecil hari ini terjadi tanpa disengaja. Mas Rio yang jarang pulang, tiba-tiba menggedor pintu pagi-pagi sekali. Aku terhenyak dan segera menatap lunglai wajahnya. Dia memaki, menghentak ketenangan. Seharusnya aku yang marah, kenapa dia tak lagi memedulikan keadaanku. Kondisi kehamilan yang semakin besar, butuh perhatian dan kasih, dia abaikan begitu saja. Aku menahan emosi, sekuat tenaga menarik kemarahan yang sebenarnya sudah di ubun-ubun.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau Arka datang ke sini?!” Pertanyaan bernada ancaman.
“Aku pikir kamu sudah tahu, Mas.”
Dan setelahnya, tak terelakkan perlakuan kasar serta makian dia tujukan padaku. Siapalah aku, Mas. Hanya bisa diam sambil memegangi perut. Khawatir bayi kita menangis dan ikut merasa pedih di dalam sana. Bagaimana aku bisa bicara sedangkan hati tak lagi utuh?
Sore itu, seorang remaja tujuh belas tahun muncul di depan pagar rumah. Wajahnya pasi ketika meminta izin masuk dan ingin membicarakan sesuatu. Aku tak bisa menebak siapa dan dengan maksud apa dia bertandang. Hanya saja, naluriku mengatakan harus menerima kedatangannya. Memberi kesempatan remaja bertubuh tinggi itu bicara.
Dengan hati-hati dia bertanya tentang mas Rio. Aku menjawab datar, mengiyakan jika aku adalah istri resmi mas Rio meski hanya disahkan agama. Lalu mengalirlah cerita memilukan. Tanpa sengaja aku melukai perempuan lain di sana. Perempuan yang meringkuk dan merindukan lelakinya pulang. Aku tak menyangka, hampir saja hilang kesadaran saat mendengar kalimat itu, “Aku istri kedua?”
Arka, remaja yang sedang duduk gugup di hadapanku menggangguk pelan.
Mimpi-mimpi yang sengaja aku rangkai hati-hati sejak kehadiran cabang bayi, kini sempurna berserak. Salah apa aku hingga mas Rio tega membohongi?
Arka meminta kami berpisah. Aku sedang hamil, mendengar kalimat itu seolah terjerembab ke dalam jurang dalam. Menyakitkan dan sangat menyayat.
“Aku akan memikirkannya.” Ucapku cepat sambi mempersilakannya pulang.
Dan hari ini, mas Rio datang memaki. Bukankah harusnya aku yang marah? Sebagai seorang perempuan, aku sudah terlalu lama menahan sakit. Lantas mengetahui mas Rio sebenarnya sudah menikah, membuatku kehilangan sebagian nyawa. Aku duduk dan menahan ngilu. Perutku tiba-tiba saja kontraksi.
“Aku minta maaf,” ucapku pelan. Berusaha meredam amarahnya yang meletup-letup.
Dia melengos. Tak memedulikan keadaanku yang sedang limbung karena bentakan kerasnya. “Aku bahkan berpikir akan menceraikanmu.”
DEG!
Lelaki itu sempurna membuat gemuruh hujan berjatuhan. Aku menahan sesak. Kenapa dia tak peduli dengan perasaanku? Sudah sakit karena perlakuan kasarnya, kini harus menanggung beban sebagai istri kedua. Jika bukan karena janin dalam rahim, sudah kuputuskan bercerai darinya.
Lengkingan bantingan daun pintu menyentak. Mas Rio pergi dengan kemarahan masih tersisa. Lelaki itu, bukankah dia yang dulu menawarkan mimpi indah? Lantas, kenapa dia pula yang mematahkannya?
Aku mulai merindu. Sejak menikah, belum pernah pulang dan menemui orangtua. Mas Rio selalu melarang dengan banyak alasan. Aku menurut.
Bagaimana keadaan ibu? Kemarin baru saja kudengar jika kabarnya baik, apakah hari ini juga? Bagaimana jika ibu tahu putri semata wayangnya sedang menangis sendirian di sini? Ah, aku rindu dan ingin memeluknya. Bulir bening sempurna jatuh di pipi. Aku menyekanya pelan. Tak boleh jadi perempuan cengeng. Enam bulan menempa. Harus bertahan dalam pernikahan yang jauh dari bahagia. Demi seorang bayi perempuan yang sedang terlelap di dalam rahim. Ingin rasanya melahirkan ditemani suami, lantas dialah yang menggetarkan langit dengan suara adzan. Apakah mimpi ini terlalu tinggi?
Aku membereskan sisa gelas yang berserak di lantai. Mas Rio membantingnya sebelum akhirnya mendengarkan permintaan maaf dariku.
“Auw!”
Aku meringis menahan jemari yang tergores. Pecahan beling itu menyayat jari telunjuk. Tidakkah cukup luka yang selama ini aku terima?
Bayangan perempuan lain menari-nari di kepala. Mungkin, aku sudah berdosa telah menerima pinangan suami orang. Tiba-tiba perasaan iba muncul begitu saja. Bagaimana jika perempuan itu aku?
Tanpa peduli luka berdarah, aku bergegas meninggalkan rumah. Perempuan itu harus tahu kalau aku tak pernah berniat melukai siapa pun. Dengan langkah limbung, aku berlari kecil sambil meraba jalan yang masih petang. Secarik kertas berisikan alamat rumah Arka berada di tangan. Aku berjanji akan meminta cerai setelah melahirkan, sungguh. Hanya saja, keinginan itu urung saat tidak sengaja kakiku terpeleset di pinggir jalan, tanpa kesiapan aku jatuh terpental dengan perut membentur aspal. Kepala terasa berkunang-kunang. Aku merasakan sesuatu mengalir sebelum tiba-tiba mataku sempurna terpejam.
Comments