Photo by Dila Ningrum on Unsplash |
Senja merona. Awan-awan serupa kumpulan kapas. Berjalan beriringan. Sesekali bersenggolan ditiup angin. Aku merasa perasaanku pun tak berbeda dengan gerakan angin yang sesekali menerbangkan dedaunan kering dari ranting pohon. Meliuk mengikuti arah yang sudah digariskan. Tak memaksa melawan. Apalagi membencinya.
Ibu dan bapak pasti sudah ribut di dalam rumah. Aku bahkan tak berani masuk. Jika selangkah saja aku menunjukkan batang hidung, mereka akan bertanya dan terus bertanya hingga jawaban itu pun muncul tanpa perlu diucapkan.
Tanggal lima April kemarin, usiaku genap tiga puluh tahun. Usia yang tak bisa lagi dikatakan muda apalagi remaja. Untuk beberapa orang mungkin bukan masalah. Bahkan semakin bertambah usia, semakin matang pula mereka menempuh sebuah proses dalam hidup. Hanya saja itu tak berlaku untukku.
“Kamu udah nggak muda lagi, May. Tetangga kanan kiri sudah sewot nanyain. Mereka juga selalu membicarakanmu di belakang ibu.”
Ibu terlihat cemas. Menatapku penuh harap. Kerutan halus di sudut matanya semakin membuatku resah.
“Bu, May nggak masalah dengan omongan tetangga. Yang penting ibu sehat. May sudah senang.”
“Bagaimana kamu bisa bicara seperti itu, May? ibu tak bisa tenang kalau setiap hari mereka berbisik-bisik di belakang ibu.” Ibu membuang tatapannya ke jalan. Memandang teras rumah yang dipenuhi daun rambutan berguguran.
Aku menarik napas. Menatap wajah ibu sekali lagi. Sendu. Matanya pun terlihat sembab. Akhir-akhir ini ibu lebih suka di dalam rumah. Tak tertarik belanja di warung sayur langganannya. Jika ada tetangga lewat, ibu justru segera masuk dan menghindar. Lama-lama aku jadi semakin merasa bersalah. Selama ini aku terlalu asyik mengejar mimpi, aku pun lupa dengan cita-cita ibu dan bapak.
Orangtua ingin melihatku segera menikah. Bapak yang biasanya santai, kali ini pun tak mampu lagi menutupi kegundahannya.
“Apa kamu nggak punya teman atau kenalan?” Tanya bapak suatu kali tanpa basa basi. Seolah lelah dengan nasib yang menimpaku.
Tiga puluh tahun bagiku bukan masalah. Disibukkan dengan pekerjaan sebagai dosen di salah satu universitas ternama di kota Malang, membuatku tak sempat memikirkan hal sepele seperti cinta. Jangankan menikah, jatuh cinta pun aku sudah lupa rasanya.
Namun, lahir di tengah keluarga berdarah Madura membuat tiga puluh tahun menjadi bisul yang menyakitkan bagi ibu. Setiap saat, entah tetangga atau pun saudara selalu menanyakan kapan aku menikah dan berkeluarga. Beberapa sepupuku sudah menikah saat mereka tamat SMA. Sedangkan aku? Hingga usia setua ini belum juga menyebarkan undangan pernikahan. Jelas saja mereka menganggap aku perawan tua yang tak laku. Lebih sadisnya sudah terlewat jodohnya. Benarkah seburuk itu?
Awalnya aku menganggapnya biasa saja. Bukan masalah mereka meledek dan menyindirku. Namun, rupanya ibu jauh lebih khawatir ketimbang aku yang menjalaninya. Ah, ibu. Ucapan orang terkadang lebih tajam daripada sebilah pedang. Mereka selalu mencari-cari kesalahan kita. Sedikit cela akan nampak jelas bagi mereka. Dan setiap hari, bahkan hingga beranjak tidur pun, selalu kita yang ada dalam pikiran mereka. Orang-orang itu bahkan merasa lebih tahu ketimbang aku yang menjalaninya. Tuhan pun mereka anggap tak lebih mengerti.
Sayangnya, ibu tak sependapat denganku. Beberapa hari ini tensi ibu naik. Bukan karena terlalu banyak makan daging kambing atau berlebihan mengonsumsi garam, justru sebab ibu terlalu memikirkanku membuat kesehatannya tak stabil.
Aku pun cemas dan berusaha mengiyakan semua permintaan ibu. Termasuk menerima siapa pun yang datang ke rumah dan ingin melamarku. Aku belum bisa membayangkan, bagaimana bisa kuhabiskan sisa usia dengan orang yang tak kukenal atau bahkan lebih buruknya tak kucintai?
Hanya demi orangtua, aku rela menindih semua keinginan. Menenggelamkan mimpi yang selama ini hampir kulupakan.
Gayung pun bersambut. Seorang lelaki yang masih saudara jauh, datang dan hendak meminangku. Perkenalan singkat dan diakhiri dengan menetapkan tanggal pernikahan. Ibu pun tak lagi canggung ketika terpaksa berpapasan dengan tetangga. Ketika saudara datang berkunjung, ibu pun merasa haru menceritakan rencana pernikahanku.
Namun, percayalah. Manusia memang hanya bisa merencakan. Pada akhirnya Allah juga yang menentukan. Lelaki yang kusebut Ali itu dengan tergesa dan tanpa alasan jelas membatalkan pertunangan kami.
PLAK! Seperti ditampar petir di siang bolong. Ibu dan bapak yang sudah bergembira, pada akhirnya harus menelan kecewa. Aku yang seharusnya lebih sakit, justru merasa lebih butuh menenangkan ibu. Aku abaikan perih yang menyayat.
Sejak saat itu, ibu semakin jarang berbaur dengan tetangga. Lebih banyak di dalam rumah. Menonton siaran televisi yang hanya itu saja. Atau bahkan duduk di dipan yang terletak di ruang tengah. Beberapa kali aku sempat memergoki ibu menatap kosong ke luar jendela. Matanya dipenuhi hujan. Harusnya aku yang menangis. Namun pernahkah kamu mendengar, saat seorang anak sedang sakit, maka ibunya justru merasakan sakit yang lebih ketimbang anaknya? Dan aku merasa kalimat itu benar terjadi padaku.
Ah, ibu. Seharusnya ibu percaya bahwa jodoh itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Mereka yang sudah menyakiti kita tak pernah tahu sedikit pun tentang itu. Hanya omongan-omongan tajam yang kemudian menoreh luka di hati kita.
“Bu, jangan menangis lagi,” ucapku suatu kali ketika ibu tersedu usai sholat.
“Ibu akan selalu berdoa untukmu, May.”
Ibu tentu boleh menangis karena mendoakanku. Tapi jangan menangisi nasibku. Sebab aku sudah meluruhkan setiap rasa sakit karena ucapan tetangga ataupun sikap Ali yang tiba-tiba memilih pergi.
“Ibu tak akan memaksamu lagi, May.”
Aku berhambur ke pelukan ibu. Mengeluarkan sesak yang selama ini tertahan. Tangan ibu yang mulai keriput mengusap basah pipiku. Aku melihat ibu jauh lebih legowo. Tak banyak beban memenuhi lekukan wajahnya.
Untuk beberapa hari ini aku merasa semua berjalan lebih ringan. Jika jodoh tak lari ke mana. Tiga puluh tahun bukan berarti tak dapat jodoh. Mungkin saja jodohku masih tertunda sebab menunggu dia pantas untukku ataupun sebaliknya.
Ponselku berdering. Sebuah panggilan dari seorang teman di kampus tempatku mengajar. Abi.
Beberapa saat dia memulai pembicaraan. Basa basi lantas mulai bicara serius.
“Ada teman yang ingin menjalin hubungan serius denganmu, May.”
Aku tertawa, “Kamu nggak salah orang, kan? Maksudku, sudah beberapa orang yang mengatakan hal itu, namun akhirnya mereka pergi tanpa kepastian.” Aku menarik napas dalam.
“Aku serius, May.” Tiba-tiba saja hening.
“Kamu yang serius atau temanmu?” Aku kembali tertawa.
Terdengar suara terkekeh dari seberang telepon, “Maksudku temanku.”
Abi bukan orang asing bagiku. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang santun. Hampir setiap hari kami bertatap muka. Dari pagi ketika baru sampai di kampus hingga sore ketika kami hendak pulang. Dia mengajar hampir setiap hari. Jadi, tak heran jika kami sering bertemu.
Abi jarang bicara serius. Hampir setiap omongannya bisa dipastikan hanyalah sebuah guyonan. Lelaki yang terpaut lima tahun di atasku itu selalu menyindirku soal undangan pernikahan. Padahal, dia saja masih bujangan. Aku juga heran, kenapa lelaki sebaik dia belum juga menikah?
“Gimana, May?”
Aku menimbang keputusan. Kejadian kemarin masih terekam jelas. Pertemuan dua keluarga. Kebahagiaan ibu dan bapak yang tiba-tiba menguap. Serta rasa sakit yang kupaksa menjauh. Jika saja terulang, mungkin aku tak mampu lagi melanjutkan.
“Abi, aku tak ingin bermain-main soal pernikahan. Jadi…”
Abi menyela, “May, dia serius.”
“Siapa yang bisa menjamin sedangkan kami tak pernah saling kenal?” Sanggahku cepat.
“Aku yang jamin! Percayalah…”
Baru kali ini Abi bicara serius padaku. Dan sesaat aku bisa mempercayai ucapannya.
Empat puluh menit sudah aku berdiri di teras rumah. Sesekali membenarkan jilbab hijau pupus di kepala. Gamis menjuntai ke tanah. Membuatku kesulitan melangkah. Aku menatap langit. Senja masih merona. Langit pun belum kehilangan birunya. Aku tersenyum dan menghapus resah.
Tiba-tiba terdengar deru mobil memasuki pelataran rumah. Aku terperanjat. Lihatlah, dia sudah datang, May! Ya, pria yang berniat melamarku sudah tiba.
Ibu dan bapak segera menyusul ke teras. Kulihat lelaki seusia bapak keluar dari pintu mobil bagian depan. Seorang wanita tersenyum hangat pada ibu. Di belakangnya dua orang gadis cantik menyusul sambil menyapa ramah.
Aku belum menemukan laki-laki yang dimaksud Abi dalam teleponnya kemarin. Dia tak nampak dalam rombongan. Apa mereka membawa mobil lain? Entahlah.
Seorang wanita yang tak lebih tua dari ibu menyebut namaku. Aku mencium tangannya. Lantas balas tersenyum. Belum juga usai rasa penasaranku, tiba-tiba tanpa sengaja aku melihat Abi turun dari mobil dengan kemeja batiknya yang rapi.
Mata kami saling bertemu. Buru-buru aku menghindar dan segera masuk menyusul yang lain.
Tiga puluh tahun yang menyesakkan ini akan segera berakhir. Pikirku. Aku menunggu dan mengira-ngira lelaki mana yang akan meminangku. Apakah dia sudah kabur terlebih dahulu sebab sejak tadi tak nampak yang lain selain mereka yang sudah kutemui? Ah, May. Jangan berpikir negatif. Mungkin saja mobilnya akan menyusul di belakang.
Abi tampak santai berbincang dengan bapak. Begitu juga yang lain. Basa basi beberapa menit. Saling memperkenalkan diri. Bercerita sedikit tentang keluarga masing-masing hingga sesekali tertawa.
Lantas, lelaki yang kukira calon bapak mertua mulai bicara serius tentang pernikahan. Aku tak fokus mendengarkan sebab yang kunanti tak juga muncul. Bagaimana mereka bisa melanjutkan sedangkan aku belum tahu siapa calon suamiku?
“Kami datang ke sini untuk melamar Maysaroh. Putera kami serius ingin menikahinya.”
Aku menunduk pasrah. Bagaimana aku bisa menjelaskan pada ibu dan bapak tentang laki-laki yang sebenarnya tak ada di hadapan kami?
“Abi sudah mengenal May sejak lama. Sebenarnya dia sudah lama menceritakannya pada kami. Namun, baru hari ini Abi berani datang dan melamar.”
“Abi?” Aku menoleh ke arah Abi yang tanpa sengaja sedang mengarahkan pandangannya padaku. Aku tertegun sesaat. Lantas buru-buru kuhapus basah di sudut mata.
Allah, sungguh indah rencana-Mu.
****
Tanggal lima April kemarin, usiaku genap tiga puluh tahun. Usia yang tak bisa lagi dikatakan muda apalagi remaja. Untuk beberapa orang mungkin bukan masalah. Bahkan semakin bertambah usia, semakin matang pula mereka menempuh sebuah proses dalam hidup. Hanya saja itu tak berlaku untukku.
“Kamu udah nggak muda lagi, May. Tetangga kanan kiri sudah sewot nanyain. Mereka juga selalu membicarakanmu di belakang ibu.”
Ibu terlihat cemas. Menatapku penuh harap. Kerutan halus di sudut matanya semakin membuatku resah.
“Bu, May nggak masalah dengan omongan tetangga. Yang penting ibu sehat. May sudah senang.”
“Bagaimana kamu bisa bicara seperti itu, May? ibu tak bisa tenang kalau setiap hari mereka berbisik-bisik di belakang ibu.” Ibu membuang tatapannya ke jalan. Memandang teras rumah yang dipenuhi daun rambutan berguguran.
Aku menarik napas. Menatap wajah ibu sekali lagi. Sendu. Matanya pun terlihat sembab. Akhir-akhir ini ibu lebih suka di dalam rumah. Tak tertarik belanja di warung sayur langganannya. Jika ada tetangga lewat, ibu justru segera masuk dan menghindar. Lama-lama aku jadi semakin merasa bersalah. Selama ini aku terlalu asyik mengejar mimpi, aku pun lupa dengan cita-cita ibu dan bapak.
Orangtua ingin melihatku segera menikah. Bapak yang biasanya santai, kali ini pun tak mampu lagi menutupi kegundahannya.
“Apa kamu nggak punya teman atau kenalan?” Tanya bapak suatu kali tanpa basa basi. Seolah lelah dengan nasib yang menimpaku.
Tiga puluh tahun bagiku bukan masalah. Disibukkan dengan pekerjaan sebagai dosen di salah satu universitas ternama di kota Malang, membuatku tak sempat memikirkan hal sepele seperti cinta. Jangankan menikah, jatuh cinta pun aku sudah lupa rasanya.
Namun, lahir di tengah keluarga berdarah Madura membuat tiga puluh tahun menjadi bisul yang menyakitkan bagi ibu. Setiap saat, entah tetangga atau pun saudara selalu menanyakan kapan aku menikah dan berkeluarga. Beberapa sepupuku sudah menikah saat mereka tamat SMA. Sedangkan aku? Hingga usia setua ini belum juga menyebarkan undangan pernikahan. Jelas saja mereka menganggap aku perawan tua yang tak laku. Lebih sadisnya sudah terlewat jodohnya. Benarkah seburuk itu?
Awalnya aku menganggapnya biasa saja. Bukan masalah mereka meledek dan menyindirku. Namun, rupanya ibu jauh lebih khawatir ketimbang aku yang menjalaninya. Ah, ibu. Ucapan orang terkadang lebih tajam daripada sebilah pedang. Mereka selalu mencari-cari kesalahan kita. Sedikit cela akan nampak jelas bagi mereka. Dan setiap hari, bahkan hingga beranjak tidur pun, selalu kita yang ada dalam pikiran mereka. Orang-orang itu bahkan merasa lebih tahu ketimbang aku yang menjalaninya. Tuhan pun mereka anggap tak lebih mengerti.
Sayangnya, ibu tak sependapat denganku. Beberapa hari ini tensi ibu naik. Bukan karena terlalu banyak makan daging kambing atau berlebihan mengonsumsi garam, justru sebab ibu terlalu memikirkanku membuat kesehatannya tak stabil.
Aku pun cemas dan berusaha mengiyakan semua permintaan ibu. Termasuk menerima siapa pun yang datang ke rumah dan ingin melamarku. Aku belum bisa membayangkan, bagaimana bisa kuhabiskan sisa usia dengan orang yang tak kukenal atau bahkan lebih buruknya tak kucintai?
Hanya demi orangtua, aku rela menindih semua keinginan. Menenggelamkan mimpi yang selama ini hampir kulupakan.
Gayung pun bersambut. Seorang lelaki yang masih saudara jauh, datang dan hendak meminangku. Perkenalan singkat dan diakhiri dengan menetapkan tanggal pernikahan. Ibu pun tak lagi canggung ketika terpaksa berpapasan dengan tetangga. Ketika saudara datang berkunjung, ibu pun merasa haru menceritakan rencana pernikahanku.
Namun, percayalah. Manusia memang hanya bisa merencakan. Pada akhirnya Allah juga yang menentukan. Lelaki yang kusebut Ali itu dengan tergesa dan tanpa alasan jelas membatalkan pertunangan kami.
PLAK! Seperti ditampar petir di siang bolong. Ibu dan bapak yang sudah bergembira, pada akhirnya harus menelan kecewa. Aku yang seharusnya lebih sakit, justru merasa lebih butuh menenangkan ibu. Aku abaikan perih yang menyayat.
Sejak saat itu, ibu semakin jarang berbaur dengan tetangga. Lebih banyak di dalam rumah. Menonton siaran televisi yang hanya itu saja. Atau bahkan duduk di dipan yang terletak di ruang tengah. Beberapa kali aku sempat memergoki ibu menatap kosong ke luar jendela. Matanya dipenuhi hujan. Harusnya aku yang menangis. Namun pernahkah kamu mendengar, saat seorang anak sedang sakit, maka ibunya justru merasakan sakit yang lebih ketimbang anaknya? Dan aku merasa kalimat itu benar terjadi padaku.
Ah, ibu. Seharusnya ibu percaya bahwa jodoh itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Mereka yang sudah menyakiti kita tak pernah tahu sedikit pun tentang itu. Hanya omongan-omongan tajam yang kemudian menoreh luka di hati kita.
“Bu, jangan menangis lagi,” ucapku suatu kali ketika ibu tersedu usai sholat.
“Ibu akan selalu berdoa untukmu, May.”
Ibu tentu boleh menangis karena mendoakanku. Tapi jangan menangisi nasibku. Sebab aku sudah meluruhkan setiap rasa sakit karena ucapan tetangga ataupun sikap Ali yang tiba-tiba memilih pergi.
“Ibu tak akan memaksamu lagi, May.”
Aku berhambur ke pelukan ibu. Mengeluarkan sesak yang selama ini tertahan. Tangan ibu yang mulai keriput mengusap basah pipiku. Aku melihat ibu jauh lebih legowo. Tak banyak beban memenuhi lekukan wajahnya.
****
Untuk beberapa hari ini aku merasa semua berjalan lebih ringan. Jika jodoh tak lari ke mana. Tiga puluh tahun bukan berarti tak dapat jodoh. Mungkin saja jodohku masih tertunda sebab menunggu dia pantas untukku ataupun sebaliknya.
Ponselku berdering. Sebuah panggilan dari seorang teman di kampus tempatku mengajar. Abi.
Beberapa saat dia memulai pembicaraan. Basa basi lantas mulai bicara serius.
“Ada teman yang ingin menjalin hubungan serius denganmu, May.”
Aku tertawa, “Kamu nggak salah orang, kan? Maksudku, sudah beberapa orang yang mengatakan hal itu, namun akhirnya mereka pergi tanpa kepastian.” Aku menarik napas dalam.
“Aku serius, May.” Tiba-tiba saja hening.
“Kamu yang serius atau temanmu?” Aku kembali tertawa.
Terdengar suara terkekeh dari seberang telepon, “Maksudku temanku.”
Abi bukan orang asing bagiku. Aku mengenalnya sebagai pribadi yang santun. Hampir setiap hari kami bertatap muka. Dari pagi ketika baru sampai di kampus hingga sore ketika kami hendak pulang. Dia mengajar hampir setiap hari. Jadi, tak heran jika kami sering bertemu.
Abi jarang bicara serius. Hampir setiap omongannya bisa dipastikan hanyalah sebuah guyonan. Lelaki yang terpaut lima tahun di atasku itu selalu menyindirku soal undangan pernikahan. Padahal, dia saja masih bujangan. Aku juga heran, kenapa lelaki sebaik dia belum juga menikah?
“Gimana, May?”
Aku menimbang keputusan. Kejadian kemarin masih terekam jelas. Pertemuan dua keluarga. Kebahagiaan ibu dan bapak yang tiba-tiba menguap. Serta rasa sakit yang kupaksa menjauh. Jika saja terulang, mungkin aku tak mampu lagi melanjutkan.
“Abi, aku tak ingin bermain-main soal pernikahan. Jadi…”
Abi menyela, “May, dia serius.”
“Siapa yang bisa menjamin sedangkan kami tak pernah saling kenal?” Sanggahku cepat.
“Aku yang jamin! Percayalah…”
Baru kali ini Abi bicara serius padaku. Dan sesaat aku bisa mempercayai ucapannya.
****
Empat puluh menit sudah aku berdiri di teras rumah. Sesekali membenarkan jilbab hijau pupus di kepala. Gamis menjuntai ke tanah. Membuatku kesulitan melangkah. Aku menatap langit. Senja masih merona. Langit pun belum kehilangan birunya. Aku tersenyum dan menghapus resah.
Tiba-tiba terdengar deru mobil memasuki pelataran rumah. Aku terperanjat. Lihatlah, dia sudah datang, May! Ya, pria yang berniat melamarku sudah tiba.
Ibu dan bapak segera menyusul ke teras. Kulihat lelaki seusia bapak keluar dari pintu mobil bagian depan. Seorang wanita tersenyum hangat pada ibu. Di belakangnya dua orang gadis cantik menyusul sambil menyapa ramah.
Aku belum menemukan laki-laki yang dimaksud Abi dalam teleponnya kemarin. Dia tak nampak dalam rombongan. Apa mereka membawa mobil lain? Entahlah.
Seorang wanita yang tak lebih tua dari ibu menyebut namaku. Aku mencium tangannya. Lantas balas tersenyum. Belum juga usai rasa penasaranku, tiba-tiba tanpa sengaja aku melihat Abi turun dari mobil dengan kemeja batiknya yang rapi.
DEG!
Mata kami saling bertemu. Buru-buru aku menghindar dan segera masuk menyusul yang lain.
Tiga puluh tahun yang menyesakkan ini akan segera berakhir. Pikirku. Aku menunggu dan mengira-ngira lelaki mana yang akan meminangku. Apakah dia sudah kabur terlebih dahulu sebab sejak tadi tak nampak yang lain selain mereka yang sudah kutemui? Ah, May. Jangan berpikir negatif. Mungkin saja mobilnya akan menyusul di belakang.
Abi tampak santai berbincang dengan bapak. Begitu juga yang lain. Basa basi beberapa menit. Saling memperkenalkan diri. Bercerita sedikit tentang keluarga masing-masing hingga sesekali tertawa.
Lantas, lelaki yang kukira calon bapak mertua mulai bicara serius tentang pernikahan. Aku tak fokus mendengarkan sebab yang kunanti tak juga muncul. Bagaimana mereka bisa melanjutkan sedangkan aku belum tahu siapa calon suamiku?
“Kami datang ke sini untuk melamar Maysaroh. Putera kami serius ingin menikahinya.”
Aku menunduk pasrah. Bagaimana aku bisa menjelaskan pada ibu dan bapak tentang laki-laki yang sebenarnya tak ada di hadapan kami?
“Abi sudah mengenal May sejak lama. Sebenarnya dia sudah lama menceritakannya pada kami. Namun, baru hari ini Abi berani datang dan melamar.”
“Abi?” Aku menoleh ke arah Abi yang tanpa sengaja sedang mengarahkan pandangannya padaku. Aku tertegun sesaat. Lantas buru-buru kuhapus basah di sudut mata.
Allah, sungguh indah rencana-Mu.
bagus ceritanya mba :)
ReplyDeleteTerharuuuuu
ReplyDeleteTerharuuuuu
ReplyDeleteTerima kasih mbaa..salam kenal...^^
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih...
ReplyDelete